Beranda | Artikel
Fikih Utang Piutang (Bag. 12): Adab-Adab dalam Utang Piutang
19 jam lalu

Sebagai penghujung dari pembahasan dari Fikih Utang Piutang, seorang muslim sebaiknya mengetahui bagaimana muamalah bersama manusia lainnya, khususnya dalam masalah utang piutang. Dalam urusan utang piutang, terkadang teman bisa menjadi lawan, keluarga bisa menjadi musuh, dan tetangga yang semula rukun dan damai, berubah menjadi acuh tak acuh.

Barangkali hal tersebut terjadi karena tidak mengetahui adab-adab dalam utang piutang. Sehingga tidak sedikit perselisihan terjadi disebabkan karena ketidaktahuan terhadap adab-adab tersebut.

Kaidah penting dalam bermuamalah dengan manusia

Terdapat kaidah yang harus diketahui dalam bermuamalah dengan manusia,

حُقوقُ اللهِ تَعالى مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُسَامَحَةِ، وَحُقوقُ العِبَادِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُشَاحَّةِ، لِاسْتِغْنَاءِ اللهِ وَحَاجَةِ النَّاسِ

“Hak-hak Allah Ta’ala dibangun di atas dasar toleransi (pemaafan), sedangkan hak-hak hamba (manusia) dibangun di atas dasar tuntutan (sifat pelit), karena Allah tidak membutuhkan apapun, sedangkan manusia saling membutuhkan.”

Yakni, Allah Ta’ala yang Maha Mengampuni hamba-hamba-Nya jika hamba-hamba-Nya lalai dalam memenuhi hak-hak Allah. Adapun manusia, hak-hak mereka dibangun di atas rasa pelit. Artinya, manusia tidak ingin haknya itu diambil, dirampas, atau tidak dibayarkan utangnya. Demikianlah hukum asal dari muamalah dengan manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ

“Dan pada diri manusia telah dihadirkan sifat kikir (pelit).” (QS. An-Nisa: 128)

Sehingga ketika posisi Anda sebagai pengutang, jangan beralasan Anda tidak mau membayar utang Anda karena pemberi utang adalah orang yang kaya. Hak tetaplah hak; seberapapun kayanya orang yang memberikan Anda utang, hak dia tetaplah harus ditunaikan. Jika tidak, maka hal tersebut termasuk perbuatan zalim yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانتْ عِنْدَه مَظْلمَةٌ لأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيتَحَلَّلْه ِمِنْه الْيَوْمَ قَبْلَ أَلَّا يكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمتِهِ، وإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سيِّئَاتِ صاحِبِهِ، فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barang siapa memiliki kezaliman terhadap saudaranya —baik mengenai kehormatannya atau sesuatu yang lain— maka hendaklah ia meminta halal (kerelaan) darinya hari ini, sebelum datang hari (kiamat) yang tidak ada dinar dan dirham di dalamnya. Jika ia memiliki amal saleh, maka akan diambil darinya sesuai kadar kezalimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan, maka diambil dari dosa-dosa saudaranya (yang dizalimi), lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)

Telah jelas pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang memiliki kekayaan, kemudian ia menunda-nunda untuk membayar utang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ، فإذا أُتْبِعَ أحَدُكُمْ علَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ

“Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian dialihkan (piutangnya) kepada orang yang kaya, hendaklah ia menerima pengalihan itu.” (HR. Bukhari)

Artinya, orang yang mampu membayar utang tetapi menunda-nunda dengan sengaja, maka ia zalim, karena menahan hak orang lain tanpa alasan syar’i. Kemudian jika pihak pengutang mengalihkan utangnya kepada orang yang kaya, maka hendaknya pemberi utang menerimanya dan tidak mempersulitnya. Hal ini dikenal dengan fikih hiwalah.

Adab pengutang

Hendaknya pengutang meminjam hanya karena kebutuhan yang mendesak

Tidak menjadikan utang sebagai kebiasaan hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam salatnya sering sekali berlindung dari utang. Ummul Mukminin ‘Aisyah radiyallahu ‘anha mengatakan,

وكان يقولُ في صلاتِهِ كثيرًا : اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بكَ مِن المَأثمِ والمَغرمِ الدَّينِ فقيلَ لهُ : إنَّكَ تستعيذُ مِن المَغرمِ كثيرًا يا رسولَ اللهِ ؟ فقال : إنَّ الرَّجلَ إذا غرِمَ استدانَ حدَّثَ فكذَبَ وَوعدَ فأخلفَ

“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa dalam salatnya, ’Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari dosa dan lilitan utang.’ Lalu dikatakan kepada beliau, ’Wahai Rasulullah, engkau sering sekali memohon perlindungan dari utang.’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya apabila seseorang telah berutang, ia akan berbicara lalu berdusta, dan berjanji lalu mengingkari.” (Muttafaqun ‘alaih)

Berniat untuk melunasi utangnya

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَن أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa yang mengambil harta manusia (berutang) dengan berniat ingin melunasinya, maka Allah akan membantu untuk melunasinya. Dan barang siapa yang mengambil harta manusia dengan berniat ingin merusaknya (tidak melunasinya), maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari)

Niat yang baik merupakan sebab kuat untuk mendapatkan rezeki dan Allah berikan kemampuan untuk melunasi utang-utang. Sebaliknya, niat yang buruk justru akan menjadi penyebab Allah binasakan harta seseorang.

Mencatat utang dengan jelas

Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 282, dan telah berlalu pembahasannya.

Segera melunasi ketika mampu

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ

“Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman.” (HR. Bukhari)

Mengembalikan dengan yang setara atau lebih baik (tanpa syarat di awal akad)

Adab pemberi utang

Memberi pinjaman dengan niat membantu dan mengharap pahala dari Allah Ta’ala

Tidak mempersulit orang yang berutang

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu, itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya).” (QS. Al-Baqarah: 280)

Tidak mengambil manfaat dari utang (riba terselubung)

Seperti mensyaratkan adanya hadiah, tambahan, atau jasa sebagai imbalan atas pinjaman yang diberikan. Ini semua termasuk dari riba.

Mencatat dan menghadirkan saksi

Sebagaimana perintah Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 282, baik itu utangnya besar atau kecil. Hal ini tentunya agar tidak timbul sengketa di kemudian hari.

Demikianlah di antara hal-hal yang harus diketahui sebelum Anda berutang atau mengutangi seseorang. Yang paling penting, janganlah berutang kecuali dalam kondisi terdesak. Tidak perlu berutang jika memang tidak mampu untuk membayarnya. Jangan letakkan penyesalan di kemudian hari setelah sebelumnya menghalau penyesalan itu adalah suatu kemampuan.

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang tidak bermudah-mudahan dalam berutang; menjadikan kita orang-orang yang jika memiliki utang, maka Allah mudahkan untuk melunaskanya. Dan semoga Allah memudahkan urusan kaum muslimin yang memiliki utang, agar Allah melunaskan utang-utang mereka dan meringankan urusan mereka.

Sampai di sini serial tulisan kami terkait dengan Fikih Utang Piutang, semoga yang kami tuliskan ini bermanfaat bagi diri pribadi dan juga para pembaca. Wallahu a’lam.

[Selesai]

Kembali ke bagian 11 Mulai dari bagian 1

***

Depok, 26 Rabi’ul akhir 1447/ 19 Oktober 2025

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/109951-fikih-utang-piutang-bag-12.html