Beranda | Artikel
Fikih Hibah (Bag. 7): Catatan Seputar Hibah Kepada Ahli Waris
18 jam lalu

Dalam praktik muamalah umat Islam, hibah menjadi salah satu instrumen penting dalam membagikan harta secara sukarela ketika seseorang masih hidup. Ketika hibah diarahkan kepada ahli waris, maka persoalan menjadi lebih kompleks. Sebab, di satu sisi, Islam membolehkan seseorang meng-hibahkan hartanya semasa hidup; tetapi di sisi lain, syariat juga mengatur pembagian warisan (faraidh) secara ketat setelah seseorang wafat.

Pertanyaan pun muncul: Apakah hibah kepada ahli waris diperbolehkan secara mutlak? Apa batasannya? Bagaimana jika hibah itu menimbulkan ketidakadilan di antara para ahli waris? Berikut adalah beberapa catatan seputar hibah kepada ahli waris yang dapat kami paparkan.

Kebolehan memberi hibah kepada ahli waris

Para ulama sepakat bahwa asal hukum hibah adalah boleh, baik kepada non-ahli waris maupun kepada ahli waris, selama hibah dilakukan saat pemberi masih hidup dan dengan kerelaan penuh. Allah Ta’ala berfirman,

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, dan (juga) kepada orang miskin serta orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mengharap rida Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ar-Rūm: 38)

Ayat ini menunjukkan anjuran berbuat baik dalam hal apapun, termasuk yang berkaitan dengan harta kepada kerabat (ahli waris), selama hal itu dilakukan dengan niat baik dan tanpa menzalimi pihak lain.

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,

يقول تعالى آمرا بإعطاء ذي القربى حقه أي من البر والصلة

“Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi hak-hak kerabat, baik itu dengan berbuat baik (termasuk darinya dengan pemberian) dan juga menyambung silaturahmi.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, 6: 286)

Adil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?

Tidak ada perbedaan di antara jumhur ulama bahwa orang tua disunahkan untuk menyamakan dan adil dalam pemberian kepada anak-anaknya. Dan dimakruhkan membedakan pemberian kepada mereka ketika semua anaknya dalam kondisi sehat, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan maksud penyamaan pemberian yang disunahkan itu.

Dalam hal ini, Abu Yusuf dari kalangan ulama mazhab Hanafi, para ulama mazhab Maliki, dan para ulama mazhab Syafi’i -dan ini merupakan pendapat jumhur- menyatakan bahwa disunahkan bagi orang tua untuk menyamakan bagian pemberiannya kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Orang tua hendaknya memberi sesuatu kepada anak perempuannya sebagaimana dia memberi sesuatu kepada anak laki-laki.

Dalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا

“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”

Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ

“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)

Di samping itu, sikap adil dalam pembagian dan muamalah merupakan hal yang dianjurkan. Jumhur ulama menafsirkan perintah dalam hadis di atas sebagai perintah sunah.

Sedangkan para ulama dari mazhab Hanbali dan Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa orangtua hendaknya membagi pemberian kepada anak-anaknya sesuai dengan kadar pembagian Allah Ta’ala dalam warisan, yaitu memberi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Syekh Ibnu Baz, dan Syekh Ibnu Utsaimin, dan dengannya Lajnah Daimah berfatwa.

Pendapat ini juga yang insyaAllah lebih kuat, karena Allah Ta’ala telah membagi pemberian untuk mereka dengan kadar tersebut, dan yang paling utama untuk diikuti adalah pembagian Allah. Di samping itu, pemberian ketika pemberi masih hidup dikiaskan seperti kondisi pemberian setelah meninggal dunia berupa pembagian warisan. Karena seringkali pemberian ketika hidup merupakan penyegeraan bagi pemberian yang akan dilakukan setelah meninggal dunia (penyegeraan waris), maka hendaknya dilakukan sesuai dengannya.

Hukum adil dalam pemberian kepada anak

Jumhur ulama mengatakan bahwa tidak wajib bagi orang tua untuk menyamakan pemberian kepada anak-anaknya, namun hal itu disunahkan saja. Jika orang tua melebihkan pemberiannya untuk sebagian ahli warisnya, maka itu adalah sah, namun dimakruhkan. Hal ini karena manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap hartanya, baik untuk diberikan kepada ahli warisnya maupun yang lainnya.

Di sisi lain, sejumlah ulama-yaitu Ahmad, ats-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan yang lainnya dengan tegas mengatakan bahwa orang tua wajib menyamakan pemberiannya atau hibahnya kepada anak-anaknya.

Pemberiannya kepada mereka tidak sah jika tidak sama. Hal ini sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit dari perintah di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yang berkonsekuensi pada kewajiban. Seperti sabda beliau,

اعدِلوا بيْنَ أولادِكم في النُّحْلِ كما تُحِبُّون أنْ يعدِلوا بينَكم في البِرِّ واللُّطْفِ

Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.(HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 71: 21, no. 69).

Begitu pula sikap Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam yang tidak mau menjadi saksi adanya akad hibah kecuali setelah terwujud keadilan dalam pemberian kepada anak-anak pada hadis An-Nu’man bin Basyir yang telah kita sebutkan sebelumnya.

Diriwayatkan juga dari Ahmad bahwa orang tua boleh membedakan pemberiannya kepada anak-anaknya jika terdapat sebab. Misalnya, salah seorang anak membutuhkannya karena menderita sakit yang berkepanjangan, buta, untuk membantu melunasi utangnya, mempunyai anak banyak, sibuk dengan menuntut ilmu, atau sejenisnya.

Lembaga Fatwa Al-Azhar sebagaimana tercantum dalam Majalah Al-Azhar, vol. III, tahun ke-14 memberikan fatwa bagi pertanyaan seputar kebolehan membedakan pemberian kepada para ahli waris. Fatwa tersebut mencakup beberapa hal berikut ini:

Pertama: kedua orang tua wajib menyamakan pemberian, hadiah, dan infak kepada anak-anak mereka jika mereka mampu melakukannya. Mereka tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena alasan yang akan disebutkan. Hal ini sebagai pengamalan dari hadis-hadis yang telah disebutkan yang memerintahkan orang tua untuk menyamaratakan pemberian kepada anak-anak mereka.

Kedua: jika salah satu dari kedua orang tua memberikan nafkah yang berharga kepada anaknya, yaitu menikahkannya dan membayarkan maharnya, atau membiayai pendidikannya yang mengantarkannya memperoleh pekerjaan yang mencukupi kehidupannya, atau memberikan perlengkapan kehidupan rumah tangga untuk salah satu anak perempuannya, maka dia harus memberikan kepada anak-anaknya yang lain kadar yang sama dengan yang dia berikan kepada anaknya tersebut.

Ketiga: dibolehkan untuk melebihkan pemberian kepada sebagian anak karena alasan yang dibenarkan syariat. Di antara alasan yang dibenarkan syariat adalah anak itu menderita penyakit yang membuatnya tidak mampu untuk mencari nafkah, seperti penyakit menahun, buta yang menghalanginya untuk mencari nafkah, dan lumpuh, iuga karena ketidakmampuan untuk mencari nafkah dan sibuk menuntut ilmu agama.

Hibah yang diberikan menjelang kematian

Para ulama membedakan hibah biasa dengan hibah orang yang sedang sakit keras menjelang wafatnya.

Jika seseorang menghibahkan hartanya ketika sakit keras menjelang wafat, maka hukumnya seperti wasiat, dan berlaku padanya dua poin berikut:

Pertama: Tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta waris, jika diberikan kepada selain ahli waris.

Kedua: Tidak boleh diberikan atau dibagikan kepada ahli waris, kecuali disetujui oleh ahli waris lainnya setelah membagi terlebih dahulu dengan cara yang disyariatkan Islam, dan masing-masing ahli waris telah mengetahui bagian aslinya dari harta warisan.

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud no. 2870 dan Ibnu Majah no. 2713)

Artinya, karena hibah pada saat sakit keras berpotensi menjadi pengganti wasiat, maka ia tidak boleh menzalimi hak ahli waris lain.

Pemberian untuk kedua orang tua

Disunahkan untuk menyamakan pemberian kepada kedua orang tua. Juga dibolehkan sewaktu-waktu untuk melebihkan pemberian kepada ibu serta mengkhususkannya dengan pemberian dan penghormatan yang lebih.

Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang mengisahkan tentang seorang lelaki yang mendatangi Rasulullah seraya bertanya,

يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ

Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 3, sanadnya hasan)

Pemberian untuk saudara laki-laki dan perempuan

Disunahkan juga menyamakan pemberian hibah dan hadiah kepada para saudara laki-laki dan perempuan dalam momen-momen tertentu, atau momen apa pun, jika kebutuhan mereka adalah sama.

Adapun pendapat yang mengatakan bolehnya seseorang untuk mengkhususkan saudara yang lebih tua dengan suatu pemberian melebihi saudara lainnya, maka ini adalah pendapat yang lemah. Mereka berdalil dengan hadis lemah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,

حقُّ كبيرِ الإخوةِ على صغيرِهم : حقُّ الوالدِ على ولدِهِ

“Hak para saudara yang lebih tua atas saudaranya yang lebih muda adalah seperti hak seorang ayah atas anaknya.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Sa’id ibnu Al-Ash dalam kitabnya Syuab Al-Iman no. 7929, Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwaat mengatakan bahwa sanad hadis ini lemah.

Dalam hal ini, maka kita kembalikan kepada hukum asalnya, yaitu bersikap adil dalam pemberiaan kepada saudara dan saudari kita selayaknya kita berbuat adil dalam hal lainnya.

Wallahu a’lam bisshowaab.

[Selesai]

Kembali ke bagian 6 Mulai dari bagian 1

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/109615-fikih-hibah-bag-7.html