Beranda | Artikel
Tidak Menunda-Nunda Kebaikan: Hikmah dari Dua Ayat Terakhir Surah Al-Insyirah
20 jam lalu

Hidup ini hanyalah rangkaian detik yang terus berjalan tanpa pernah kembali. Betapa sering kita menunda untuk berbuat baik dengan alasan, “Nanti saja kalau ada waktu, nanti kalau sudah siap, nanti kalau sudah sempat.” Namun, siapa yang bisa menjamin “nanti” itu akan datang? Bisa jadi kesempatan itu hilang, umur kita berakhir, atau hati kita berubah.

Setiap manusia memang memiliki kecenderungan untuk menunda, terutama ketika dihadapkan pada sesuatu yang dianggap tidak mendesak. Padahal, Islam sebagai agama yang sempurna, telah memberikan panduan untuk senantiasa bergerak cepat dalam amal saleh. Salah satu pelajaran penting tentang hal ini bisa kita temukan dalam dua ayat terakhir surah Al-Insyirah,

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ • وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ

“Maka apabila engkau telah selesai (dari satu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7–8)

Dua ayat terakhir dari surah Al-Insyirah mengandung pelajaran luar biasa tentang etos kerja, semangat berkelanjutan, dan keteguhan dalam amal kebaikan. Allah tidak memerintahkan kita untuk berhenti setelah menyelesaikan satu kebaikan, melainkan mendorong agar segera berpindah ke amal lainnya.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa, فَرَغْتَ artinya, “Maka apabila engkau telah selesai dengan urusan duniamu” dan فَانصَبْ artinya, “Tetaplah semangat dan konsentrasi untuk urusan akhirat.” Dan, “Hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”, maknanya tidak boleh berharap kepada selain-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 8: 518)

Allah Ta’ala memuji Nabi Yahya beserta keluarganya yang senantiasa bersegera dan tidak menunda-nunda kebaikan,

فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَوَهَبْنَا لَهُۥ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُۥ زَوْجَهُۥٓ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ

“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

Mengapa kebaikan tidak boleh ditunda?

Pertama, waktu adalah amanah

Waktu adalah salah satu nikmat terbesar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam hadis disebutkan bahwa dua nikmat yang sering dilalaikan manusia adalah kesehatan dan waktu luang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari)

Maka, menunda kebaikan berarti menyia-nyiakan amanah dari Allah.

Kedua, kesempatan tidak datang dua kali

Setiap hari membawa peluang yang berbeda. Kebaikan yang bisa kita lakukan hari ini, belum tentu bisa kita ulangi esok hari. Bisa jadi karena kondisi yang berubah, kesempatan yang hilang, atau bahkan usia yang tidak lagi diberikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ

“Bersegeralah melakukan amalan saleh sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap.” (HR. Muslim)

Ketiga, hati mudah berubah

Jika kita tidak segera mengerjakan kebaikan saat niat itu hadir, hati bisa berubah. Niat yang hari ini terasa kuat bisa saja menguap besok karena godaan syahwat atau bisikan setan. Maka, cepat-cepatlah bergerak sebelum niat itu luntur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّما سُمِّيَ القلبَ من تَقَلُّبِه ، إِنَّما مَثلُ القلبِ مَثَلُ رِيشَةٍ بالفلاةِ ، تَعَلَّقَتْ في أصْلِ شجرةٍ ، يُقَلِّبُها الرّيحُ ظَهْرًا لِبَطْنٍ

“Sesungguhnya hati dinamai ‘al-Qalb’ karena mudah berbolak-balik. Dan sesungguhnya perumpamaan hati itu seperti bulu yang berada di tanah lapang, menempel di batang pohon, yang dibolak-balikkan oleh angin.” (HR. Ahmad no. 18830. Lihat Shahihul Jami’ no. 2365)

Keempat, menunda berarti mengundang penyesalan

Banyak orang yang menyesal bukan karena gagal melakukan kebaikan, tetapi karena menundanya. Padahal Allah telah memberikan waktu, tenaga, dan peluang, namun tidak dimanfaatkan. Allah Ta’ala berfirman,

وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ ۚ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنسَانُ وَأَنَّىٰ لَهُ الذِّكْرَىٰ، يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam. Pada hari itu manusia sadar, namun apa gunanya kesadaran itu baginya? Dia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.`” (QS. Al-Fajr: 23-24)

Penyesalan datang ketika semuanya sudah terlambat, karena ia menunda-nunda amal untuk kehidupan akhiratnya.

Menggangur bukan jalan hidup seorang muslim

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

إني لأرى الرجل فيعجبني، فأقول: له حرفة؟ فإن قالوا: لا؛ سقط من عيني

“Sungguh kadang aku melihat seorang lelaki yang membuatku terkagum. Lalu aku tanyakan, ‘Apa pekerjaannya?’ Jika mereka menjawab, ‘Pengangguran.’ Orang itu langsung jatuh wibawanya di hadapanku.” (Kanzul Ummal, no. 9858)

Demikian pula yang disampaikan sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,

إني لأمقت أن أرى الرجل فارغا لا في عمل دنيا ولا آخرة

“Sungguh aku marah kepada orang yang nganggur. Tidak melakukan amal dunia maupun amal akhirat.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, 9: 102)

Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan,

من أعظم الأشياء ضرراً على العبد بطالته وفراغه، فإن النفس لا تقعد فارغة، بل إن لم يشغلها بما ينفعها شغلته بما يضره ولا بد

“Bahaya terbesar yang dialami seorang hamba, adalah adanya waktu nganggur dan waktu luang. Karena jiwa tidak akan pernah diam. Ketika dia tidak disibukkan dengan sesuatu yang bermanfaat, pasti dia akan sibuk dengan hal yang membahayakannya.” (Thariq al-Hijratain, hal. 413)

Ibnu Rajab rahimahullah juga berkata, “Orang saleh terdahulu tidak senang jika harinya berlalu tanpa adanya tambahan amal kebaikan dan mereka merasa malu kehilangan waktu tanpa manfaat dan menganggurnya sebagai kerugian.” (Latha’if al-Ma’arif, hal. 321)

Saudaraku, kebaikan tidak pernah menunggu kita siap. Ia hadir sebagai kesempatan yang harus segera diraih. Jangan biarkan bisikan, “besok saja, nanti saja”, menghalangi langkah kita, sebab esok belum tentu menjadi milik kita. Karena kebaikan yang kecil namun dilakukan segera, lebih berharga daripada kebaikan besar yang hanya menjadi sebuah wacana.

Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi taufik untuk mengisi hidup dengan kebaikan tanpa penundaan, hingga waktu terakhir kita di dunia pun menjadi sebuah keberkahan.

Baca juga: Kandungan Hadis: Keutamaan Menunjukkan Kebaikan

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.


Artikel asli: https://muslim.or.id/109599-tidak-menunda-nunda-kebaikan-hikmah-dari-dua-ayat-terakhir-surah-al-insyirah.html