Mukaddimah
Baru-baru ini kita menyaksikan serangkaian peristiwa di Tunisia, Mesir, Libya, Bahrain, Yaman, dan Suriah. Mulai dari kaburnya Presiden Ben Ali mencari perlindungan, diikuti jatuhnya Rezim Mubarak pasca unjuk rasa besar-besaran, dan perang sengit antara Muammar Gaddafi melawan para demonstran. Dari Afrika, gelombang unjuk rasa berputar haluan menuju Bahrain, Yaman, dan Suriah. Wallahu a’lam, negara mana lagi selanjutnya yang mendapat giliran.
Korban jiwa berjatuhan. Puluhan di Tunisia, ratusan di Mesir & Yaman, dan ribuan di Libya dan Suriah. Adapun yang luka-luka, maka tak terkira jumlahnya. Pembunuhan, penjarahan, perusakan, dan pelanggaran kehormatan, nampaknya menjadi harga mati setiap revolusi.
Peristiwa ini mengingatkan penulis terhadap kerusuhan Mei 1998 yang melanda sejumlah kota di Indonesia. Di Jakarta, ribuan mahasiswa berunjuk rasa menuntut lengsernya Pak Harto yang telah berkuasa 32 tahun. Berbagai yel-yel diteriakkan oleh mereka. Mayoritas menuntut perbaikan ekonomi, sebagian menuntut kebebasan hak asasi, sebagian lagi sekedar mencari sensasi, namun sedikit sekali yang berjuang demi ridha ilahi.
Elang Mulya, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie adalah empat mahasiswa Trisakti yang terbunuh tanggal 12 Mei 1998. Nama mereka lantas diabadikan sebagai ‘Pahlawan Reformasi’.
Mirip revolusi yasmin di Tunisia, terbunuhnya keempat mahasiswa tadi memicu kerusuhan besar di Jakarta dan Solo (kota asal saya). Tanggal 14-15 Mei merupakan hari-hari paling kelabu dalam sejarah kota bengawan ini. Kelabu bukan hanya dalam arti ‘menyedihkan’, namun kelabu dalam arti yang sesungguhnya. Pembakaran terjadi di mana-mana. Pertokoan, pusat perbelanjaan, dealer kendaraan, dan sebagian rumah warga adalah sasarannya.
Penjarahan dan pengrusakan oleh massa terjadi di hampir seluruh kota. Gerombolan perusuh berambut gondrong dan bertato terlihat melempari rumah warga dengan batu dan botol. Mereka hendak meluapkan emosi dengan gaya mereka, atau mungkin sekedar iseng dan membikin huru-hara. Tumpukan ban yang dibakar semakin menambah ‘kelabu’ suasana hari itu. Sejumlah aset milik etnis tionghoa menjadi sasaran utama mereka, bahkan banyak dari wanita mereka yang konon diperkosa !
Kaum perusuh memang tak membedakan siapa kawan siapa lawan. Bagi mereka, kerusuhan adalah kesempatan emas untuk beraksi dan mencari kepuasan.
Malamnya, suasana demikian mencekam. Warga memasang barikade di mulut-mulut gang dan melakukan jaga malam. Saya sendiri termasuk yang ikut berjaga beberapa kali. Kota Solo terasa demikian sunyi karena sebagian besar warga memilih tinggal di rumah. Lagi pula, untuk apa keluar rumah? Toh kantor-kantor dan sekolah-sekolah libur total… toko-toko nyaris tak ada yang buka… dan jalan-jalan dipenuhi bangkai kendaraan yang terbakar !
Pun demikian, lengsernya Pak Harto tanggal 21 Mei 1998 tak menghentikan kerusuhan begitu saja. Enam bulan kemudian, tragedi berdarah kembali terulang di Ibukota. Dan lagi-lagi, korbannya adalah pelajar dan mahasiswa.
Agaknya, tumbangnya Pak Harto sebagai simbol rezim orba menumbangkan pula rasa takut rakyat terhadap penguasa. Presiden B.J. Habibie yang jenius ternyata tak punya wibawa… beda jauh dengan pendahulunya. Dan mulai saat itu, unjuk rasa menjadi pemandangan biasa di ibukota.
Wibawa pemerintah pun semakin menurun. Baik periode Habibie, Gus Dur, Megawati, maupun SBY; semuanya diwarnai berbagai unjuk rasa. Kita menginginkan pemimpin yang jujur, adil, dan berpihak kepada Islam. Berbagai sarana ditempuh oleh kaum muslimin untuk memegang tampuk kekuasaan. Partai-partai yang berlabel Islam bermunculan bak cendawan di musim hujan. Umat pun bingung, siapa yang harus dipilih? Semuanya mengatasnamakan Islam dan semuanya menginginkan perubahan. Namun lagi-lagi hasilnya mengecewakan.
Berbagai peristiwa tadi, baik yang terjadi di timur tengah maupun di tanah air, tentu memiliki segudang pelajaran berharga. Sebab Ahlussunnah meyakini bahwa Allah tidak mungkin menciptakan sesuatu yang bersifat kejelekan seratus persen. Akan tetapi, sejelek apa pun takdir Allah, pasti di baliknya tersimpan sejumlah hikmah dan pelajaran.
Pelajaran 1
Sebagaimana kalian, demikian pula pemimpin kalian
Mengapa kita sering membicarakan kejelekan pemerintah, namun melupakan kejelekan pribadi? Mengapa kita selalu mencela penguasa, dan tak pernah mencela berbagai penyimpangan kita? Sebenarnya, pemerintah adalah cermin rakyatnya. Ali bin Abi Thalib ط pernah ditanya oleh seseorang: “Mengapa saat Abu Bakar dan Umar menjabat sebagai khalifah kondisinya tertib, namun saat Utsman dan engkau yang menjadi khalifah kondisinya kacau? Jawab Ali: “Karena saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, mereka orang-orang seperti aku dan Utsman, namun saat Utsman dan aku yang menjadi khalifah, pendukungnya adalah kamu dan orang-orang sepertimu”[1].
Jadi, ketika penguasa seenaknya mengeruk kekayaan negara dan memenjarakan rakyat tak berdosa, penyebabnya adalah dosa rakyat yang melalaikan kewajiban dan tenggelam dalam maksiat. Demikian pula ketika rakyat memberontak dan menjatuhkan si penguasa, itupun akibat kesalahan penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, loyal kepada orang kafir, tenggelam dalam foya-foya dan menelantarkan urusan negara.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah mengatakan[2]: waliyyul amr, baik dari kalangan ulama’ maupun umara’, pasti punya banyak kesalahan. Akan tetapi, dalam sebuah atsar disebutkan kamaa takuunuu, yuwalla ‘alaikum (sebagaimana kalian, demikian pula pemimpin kalian)[3].
Cobalah perhatikan kondisi masyarakat…
Karakter pemimpin yang sesuai dengan rakyatnya adalah salah satu ketentuan Allah yang bijaksana. Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Demikianlah Kami kuasakan orang-orang yang zhalim itu satu sama lain, sebagai akibat dari perbuatan mereka (al-An’am: 129).
Demikian pula sebaliknya, Allah mengangkat pemimpin shalih bagi rakyat yang shalih. Jika kita perhatikan diri kita sebagai rakyat, ternyata kita pun sering meremehkan kewajiban, tenggelam dalam maksiat, curang dalam jual-beli, melakukan penipuan, pemalsuan, dan banyak lagi.
Siapa yang meneliti kondisi umat Islam hari ini, pasti akan menyaksikan berbagai kekurangan dan kelemahan. Umat Islam adalah umat yang jujur, menepati janji, dan amanah. Akan tetapi semua sifat ini tak lagi dimiliki sekarang, kecuali pada segelintir orang yang masih dirahmati Allah.
Kalaulah kita sendiri menyia-nyiakan amanah yang kita pikul padahal kita bukanlah penguasa besar, lantas bagaimana halnya dengan mereka yang menguasai kita? Boleh jadi lebih menyia-nyiakan lagi daripada kita. Akan tetapi, bersikaplah yang lurus, niscaya Allah menjadikan pemimpin kita bersikap lurus [..].
Ibnul Qayyim (w. 751 H) mengatakan: Cobalah perhatikan hikmah Allah yang menjadikan para penguasa sebanding dengan jenis perbuatan rakyatnya, bahkan tingkah laku rakyat menjadi cerminan penguasa mereka. Jika rakyat itu istiqamah (lurus), maka penguasanya pun lurus. Jika mereka adil, maka penguasa pun adil. Jika mereka zhalim, maka penguasa pun zhalim. Jika mereka terkenal suka menipu dan manipulasi, maka penguasanya pun seperti itu. Jika mereka menahan hak Allah terhadap harta mereka dan pelit dalam membayar zakat; maka penguasa akan menahan hak rakyatnya dan pelit terhadap mereka. Jika golongan lemah dari mereka menindas yang kuat dan mengambil yang bukan miliknya dalam bermuamalah, maka penguasa akan mengambil pula yang bukan miliknya dan mencekik mereka dengan berbagai pajak dan upeti. Semua yang mereka rampas dari pihak yang lemah, akan dirampas dari mereka oleh penguasa … jadi, para pejabat adalah potret perbuatan rakyat! Hikmah ilahi tidak punya ketentuan lain, selain menguasakan orang jahat atas sesamanya.
Berhubung generasi pertama umat Islam adalah generasi terbaik, maka pemimpin mereka pun adalah pemimpin terbaik. Ketika mereka mulai menyimpang, pemimpin mereka pun menyimpang.
Jadi, kebijaksanaan Allah tak mengizinkan kita untuk dipimpin oleh orang-orang seperti Mu’awiyah radhiyallaahu ‘anhu dan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, apalagi oleh pemimpin seperti Abu Bakar dan Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Akan tetapi, pemimpin kita adalah sesuai dengan kualitas kita. Dan pemimpin sebelum kita, juga sesuai dengan kualitas rakyatnya [..].[4]
Bersambung…
[1] Lihat: Syadzaraat Adz Dzhahab 1/51.
[2] Beliau mengatakannya dalam acara Liqa’ al-baabil maftuh. Yaitu acara pertemuan antara beliau dengan masyarakat umum untuk tanya-jawab, yang diadakan di rumah beliau. Penjelasan ini disampaikan dalam pertemuan ke-50 dari total 236 pertemuan.
[3] Ini adalah atsar Abu Ishaq As Sabi’iy, salah seorang ulama tabi’in asal Kufah yang terkenal sebagai ahli hadits dan ahli ibadah. Beliau lahir dua tahun menjelang berakhirnya kekhalifahan Utsman, dan wafat sekitar tahun 129 H. keluasan ilmu beliau di bidang hadits disejajarkan dengan Imam Ibnu Syihab Az Zuhri.
[4] Lihat: Miftaah Daaris Sa’aadah (2/168-169).