Setelah menjelaskan berbagai keistimewaan kalimat tahmid, tiba saatnya kita mempelajari kapan saja kita diperintahkan mengucapkan kalimat mulia ini. Atau dengan kata lain, momen-momen pengucapan Alhamdulillah.
Sebenarnya, setiap muslim dianjurkan untuk senantiasa memuji Allah kapanpun juga. Sebab di seluruh waktunya, pasti ia berada dalam curahan nikmat Allah ta’ala. Entah itu berupa nikmat duniawi maupun ukhrawi. Baik itu berupa kebaikan yang didapatkan atau marabahaya yang terhindarkan.
Alasan lain mengapa kita perlu untuk senantiasa memuji Allah, adalah sebab Dia adalah dzat yang pantas untuk selalu dipuji; dikarenakan kesempurnaan sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Masing-masing dari nama dan sifat-Nya mendorong kita untuk memuji-Nya, bagaimana bila seluruh nama dan sifat tersebut terkumpul dalam satu dzat, yakni Allah ta’ala?
Namun, ada beberapa kondisi yang mendapat penekanan khusus dari agama, agar seorang hamba mengucapkan kalimat tahmid pada saat itu. Di antaranya:
1. Setelah selesai makan dan minum
Hal ini berlandaskan firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Baqarah (2): 172, juga sabda Rasul shallallahu ‘alaihiwasallam, “Sesungguhnya Allah akan meridhai hamba-Nya manakala selesai makan atau minum ia memuji-Nya”. HR. Muslim dari Anas bin Malik.
Redaksi hamdalah atau pujian pada Allah setelah selesai makan ada beberapa macam. Antara lain:
“Alhamdulillâhi hamdan katsîron thoyyiban mubârokan fîhi, ghoiro makfiyyin, wa lâ muwadda’in, wa lâ mustaghnâ ‘anhu robbunâ”.
Artinya: “Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan diberkahi. Pujian yang tidak tertolak, tidak ditinggalkan dan tidak dibuang (bahkan dibutuhkan). (Dialah) Rabb kami”. HR. Bukhari.
“Alhamdulillâhilladzî ath’amanî hâdzâ wa rozaqonîhi min ghoiri haulin minnî wa lâ quwwatin”.
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, tanpa adanya daya dan kekuatan dariku”. HR. Abu Dawud dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim. Adapun Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini hasan[1].
Catatan:
Masih ada redaksi hamdalah sesudah makan lainnya yang berlandaskan hadits sahih. Banyak di antaranya telah disebutkan oleh Imam an-Nawawy dalam kitabnya al-Adzkâr[2]. Adapun redaksi yang masyhur di kalangan banyak kaum muslimin yang berbunyi: “Alhamdulillahilladzî ath’amanâ wa saqônâ wa ja’alanâ minal muslimîn”, redaksi ini disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan yang lainnya. Hanya saja hadits ini dinilai lemah oleh Imam adz-Dzahaby[3] dan Syaikh al-Albany[4]; dikarenakan sanadnya bermasalah[5].
Bersambung insyaAllah…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 23 Rabi’uts Tsani 1435 / 24 Februari 2014
* Diringkas dan diterjemahkan dengan bebas oleh Abdullah Zaen, Lc., MA dari kitab Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (I/234-236), dengan berbagai tambahan.
[1] Lihat: Irwâ’ al-Ghalîl (VII/48 no. 1989).
[2] (hal. 339-342).
[3] Dalam kitabnya; Mîzân al-I’tidâl (I/228) beliau berkomentar bahwa hadits ini “gharîb munkar” (ganjil dan mungkar).
[4] Lihat catatan kaki beliau atas kitab Misykât al-Mashâbîh karya at-Tibrîzy (II/1216 no. 4204).
[5] Lihat: Nail al-Authâr bi Takhrîj Ahâdîts Kitâb al-Adzkâr karya Syaikh Salim al-Hilaly (I/527).