Beranda | Artikel
Fikih Hibah (Bag. 4): Syarat-Syarat Hibah
17 jam lalu

Hibah memiliki kedudukan penting, baik dalam ranah ibadah maupun muamalah, karena ia mempererat persaudaraan, menumbuhkan rasa saling cinta, serta menjaga keharmonisan keluarga dan masyarakat. Namun, agar hibah benar-benar sah dan bernilai ibadah, syariat Islam menetapkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh pemberi, penerima, barang yang dihibahkan, serta sighah akad yang mengikat keduanya.

Syarat-syarat ini tidak sekadar formalitas hukum, melainkan juga mencerminkan prinsip keadilan, kerelaan, dan keteraturan dalam muamalah Islam. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa hibah bukan hanya sekadar “memberi”, tetapi juga sebuah akad yang memiliki rukun, syarat, dan konsekuensi hukum yang jelas demi menjaga kemaslahatan semua pihak.

Secara umum pembahasan mengenai syarat hibah terbagi menjadi empat pembahasan.

Pertama, syarat-syarat yang berkaitan dengan pemberi hibah (Al-Wāhib)

[1] Kepemilikan sah: Pemberi harus memiliki barang secara sah: bukan barang curian, bukan hasil penipuan, bukan barang yang secara hukum tidak diizinkan untuk dikuasai. Jika bukan milik sendiri, hibah tidak sah.

[2] Kerelaan pemberi hibah: Pemberi adalah orang yang berakal, balig, dan bisa menjaga harta. Dan ini adalah syarat berlakunya akad pemberian. Hibah adalah pemberian sukarela, sehingga tidak sah pemberian dari anak kecil dan orang gila, karena keduanya tidak memiliki kewenangan untuk memberi secara sukarela, mengingat hal itu adalah kerugian murni.

Seorang ayah, menurut kesepakatan ulama, juga tidak mempunyai kewenangan untuk menghibahkan harta anaknya yang masih kecil tanpa mensyaratkan gantinya dari orang yang diberi, karena kekuasaan sang ayah terbatas pada hal-hal yang mendatangkan manfaat. Sedangkan hibah adalah pemberian sukarela yang mengandung kerugian murni (dari segi pelaksanaan akad, berbeda dengan akad jual beli yang seringkali tujuannya adalah kemanfaatan untuk sang anak), sehingga dia tidak boleh melakukannya dari harta anak kecil.

Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan penerima hibah (Al-Mauhūb Lahu)

[1] Penerima hibah mampu menerima hak milik dan sudah ada ketika terjadi akad: yaitu diberikan kepada orang yang sah untuk memilikinya, Hibah tidak sah diberikan kepada bayi yang masih berada dalam kandungan atau kepada hewan karena kepemilikan tidak bisa berpindah kepada mereka.

Adapun hibah  untuk anak kecil dan orang gila, maka hal tersebut juga diperbolehkan, akan tetapi penerimaan dan pengelolaannya dilakukan oleh walinya.

[2] Penerimaan dan penguasaan barang (qabdh) oleh penerima hibah atau walinya sudah terjadi saat pemberi hibah dalam kondisi masih hidup. Hibah tidak sah kecuali jika telah terjadi penerimaan (qabdh) oleh pihak penerima. Hal ini berdasarkan atsar Abu bakar radhiyallahu ‘anhu yang diceritakan oleh putrinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أنَّ أبا بكرٍ كان نَحَلَها جدادُ عشرين وسقًا من مالِهِ بالغابةِ فلمَّا حضرَتهُ الوفاةُ قالَ : يا بنيَّةُ : إني كنتُ نحلتُكِ جدادَ عشرين وسْقًا ولو كنتِ جددتيهِ وأحرزتيهِ كانَ لكِ ، وإنّما هو اليومَ مالُ الوارثِ فاقتسِموهُ على كتابِ اللَّهِ

“Bahwa Abu Bakar (Ash-Shiddiq) pernah memberikan (menghibahkan) kepadanya (Aisyah) hasil panen sebanyak dua puluh wasaq dari hartanya yang ada di (kebun) Al-Ghābah. Namun ketika ajal hendak menjemputnya, beliau berkata, ‘Wahai putriku, sesungguhnya aku dahulu telah memberikan kepadamu hasil panen dua puluh wasaq. Seandainya engkau sudah memanennya dan menguasainya, niscaya itu menjadi milikmu. Tetapi sekarang (karena belum engkau kuasai), maka itu adalah harta warisan. Maka bagilah sesuai dengan ketentuan Allah.’ (HR. Malik no. 4/1089 dan Al-Baihaqi no. 12070, disebutkan juga oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya, Irsyad Al-Faqiih, 2: 104)

Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu ingin memberi hibah kepada putrinya ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berupa hasil kebun. Akan tetapi, ‘Āisyah belum sempat menerima dan menguasainya secara penuh, sehingga belum terjadi qabdh. Oleh karenanya, hibah masih dianggap harta milik pemberi; sehingga jika pemberi wafat, maka harta itu menjadi bagian dari harta warisan dan bukan lagi dianggap hibah.

Ketiga, syarat-syarat yang berkaitan dengan sighah akad

Syarat-syarat sighah, menurut para ulama Mazhab Syafi’i sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya, Al-Fiqhu Al-Islami, adalah sebagai berikut:

[1] Bersambungnya antara qabul dengan ijab tanpa adanya pemisah yang secara syariat dianggap berpengaruh terhadap keabsahan ijab qabul tersebut.

[2] Tidak adanya pengaitan dengan syarat tertentu. Karena hibah adalah pemberian kepemilikan, dan pemberian kepemilikan tidak bisa dikaitkan dengan sesuatu yang kemungkinan akan terjadi atau kemungkinan tidak akan terjadi.

[3] Tidak ada pengaitan dengan waktu, seperti satu bulan atau satu tahun. Karena hibah merupakan pemberian kepemilikan terhadap benda secara mutlak yang terus-menerus, seperti jual beli.

Berikut juga syarat paten yang harus ada dalam sighah akad pada umumnya; adanya ijab dan qabul yang jelas.

Ijab adalah pernyataan dari pemberi, misalnya: “Aku hibahkan rumah ini kepadamu.” Sedangkan qabul adalah jawaban penerima: “Aku terima hibah ini.”

Tanpa ijab qabul yang jelas, hibah hanya sebatas niat, belum dianggap sah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam transaksi pada umumnya,

إنَّما البيعُ عَن تراضٍ

“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan saling rida.” (HR. Ibnu Mājah no. 4987, dinyatakan sahih oleh Syekh Al-Albānī)

Para ulama qiyaskan ke hibah, bahwa rida harus tampak melalui sighah ijab-qabul.

Keempat, syarat-syarat yang berkaitan dengan sesuatu  yang dihibahkan (Al-Mauhuub)

Disyaratkan beberapa hal berikut ini untuk sesuatu yang dihibahkan.

Benda tersebut ada ketika dihibahkan

Tidak sah menghibahkan sesuatu yang tidak ada ketika akad hibah, seperti menghibahkan buah kurmanya yang akan muncul pada tahun ini dan menghibahkan anak-anak ternak kambingnya yang akan lahir pada tahun ini. Hibah ini tidak sah, karena ia merupakan pemberian kepemilikan pada suatu benda yang tidak ada kepada orang lain, sehingga akadnya tidak sah.

Juga seperti menghibahkan sesuatu yang masih di dalam perut seekor kambing dan memberikan kewenangan untuk mengambilnya ketika dilahirkan. Akad hibah ini tidak sah karena terdapat dua kemungkinan pada janin itu, yaitu ada atau tidak. Hal ini mengingat bisa jadi buncitnya perut kambing itu memang karena kehamilan atau karena penyakit yang ada di dalam perut.

Adapun menghibahkan susu yang masih di dalam ambingnya, bulu yang masih ada di tubuh domba, tanaman dan pohon kurma yang belum dicabut, dan buah kurma yang masih di pohon, maka semua itu seperti hibah benda-benda yang tidak diketahui kadarnya sehingga hukumnya tidak sah. Maka seandainya pemilik memisahkan benda-benda tersebut dari tempatnya, lalu menyerahkannya kepada orang yang diberi, maka itu dibolehkan. Karena, ketika itu benda yang dihibahkan ada dan dimiliki oleh orang yang mendapat hibah saat itu juga. Sedangkan ketika benda yang dihibahkan itu belum dipisahkan dari tempat asalnya, maka hibah itu belum terlaksana karena adanya penghalang. Penghalang tersebut adalah masih terkaitnya benda yang dihibahkan itu dengan kepemilikan orang lain. Oleh karena itu, jika dia dikeluarkan dari kepemilikan pemilik aslinya, berarti penghalangnya hilang. Dengan demikian, maka hibah terhadapnya dibolehkan dan akadnya pun sah.

Benda tersebut adalah benda yang bernilai

Tidak sah menghibahkan sesuatu yang pada dasarnya bukan harta benda, seperti orang merdeka, bangkai, darah, binatang buruan di tanah haram, binatang buruan orang yang berihram, dan yang lainnya. Juga tidak boleh menghibahkan sesuatu yang tidak bernilai, seperti minuman keras.

Benda tersebut dapat dimiliki secara perorangan

Tidak sah hibah terhadap benda milik umum.

Benda tersebut milik pemberi

Tidak sah hibah harta benda milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, karena tidak mungkin seseorang memberikan kepemilikan atas suatu benda yang bukan miliknya kepada orang lain.

Benda tersebut ditentukan

Hibah hanya sah bila barang yang dihibahkan jelas wujudnya, jenisnya, dan batasannya. Kalau berupa barang tertentu, maka harus ditunjukkan, misalnya, “Saya hibahkan rumah yang di Jalan Mawar no. 5 ini kepadamu.”

Kalau berupa sebagian harta, maka harus jelas juga kadarnya, misalnya, “Saya hibahkan 2 hektar dari tanah saya yang luasnya 10 hektar di Desa X.”

Tidak sah jika bendanya samar (majhūl), misalnya, “Saya hibahkan salah satu rumah saya,” atau “Saya hibahkan sebagian tanah saya,” tanpa penjelasan yang mana atau berapa.

Terdapat sebuah permasalahan dalam hal ini, yaitu tentang hukum hibah musya’.

Hukum hibah musyaa’

Hibatul musyaa’ itu sendiri adalah ketika salah seorang dari dua orang yang berserikat menghibahkan bagiannya dari harta bersama, atau ketika seseorang menghibahkan suatu bagian tertentu kepada dua orang atau lebih.

Jumhur ulama: Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah, juga pendapat sebagian salaf mengatakan bolehnya memberikan hibah terhadap harta musyā‘, baik yang memungkinkan untuk dibagi maupun yang tidak memungkinkan untuk dibagi.

Adapun benda-benda yang memungkinkan untuk dibagi, contohnya seperti tanah, barang takaran, barang timbangan, barang hitungan, dan barang ukuran. Sedangkan benda yang tidak bisa dibagi, contohnya seperti pedang, mutiara, dan pakaian.

Dalilnya adalah hadis dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata,

كُنَّا عندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذ أتَتْه وَفْدُ هَوازِنَ، فقالوا: يا مُحمَّدُ، إنَّا أصْلٌ وعَشيرةٌ، وقدْ نَزَل بنا مِن البَلاءِ ما لا يَخفَى عليك، فامنُنْ علينا مَنَّ اللهُ عليك، فقال: اختَارُوا مِن أموالِكُم، أو مِن نِسائكُم وأبنائِكُم، فقالُوا: قد خيَّرْتَنا بيْن أحْسابِنا وأموالِنا، بلْ نَختارُ نِساءَنا وأبناءَنا، فقالَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أمَّا ما كان لي ولبَنِي عبدِ المُطَّلِبِ فهو لَكُم

“Kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah delegasi dari Hawāzin. Mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami ini adalah keluarga besar dan kerabat dekatmu. Telah menimpa kami musibah yang tidak samar bagimu. Maka berilah kami keringanan sebagaimana Allah telah memberi keringanan kepadamu.’ Maka Nabi bersabda, ‘Pilihlah, apakah kalian ingin (aku kembalikan) harta kalian, atau istri-istri dan anak-anak kalian.’ Mereka berkata, ‘Engkau telah memberikan pilihan kepada kami antara kehormatan kami dan harta kami. Maka kami memilih istri-istri dan anak-anak kami.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Adapun apa yang menjadi milikku dan milik Bani ‘Abdul Muththalib, itu adalah untuk kalian…’” (HR. An-Nasa’i no. 3688 dan Ahmad no. 6729)

Sisi pendalilannya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Adapun apa yang menjadi milikku dan milik Bani Abdul Muththalib, itu adalah untuk kalian”; merupakan contoh hibah terhadap harta musyā‘. Wallahu a’lam bisshawaab.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 3

***

Penulis: Muhammad Idris

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/109143-fikih-hibah-bag-4.html