Kaidah Fikih: Asal-Usul dan Perkembangan Ilmu Kaidah Fikih
Mengetahui tentang asal-usul sekaligus perkembangan suatu ilmu, menjadi poin penting dalam mempelajari salah satu cabang ilmu. Berangkat dari hal tersebut, tentunya dapat membantu seseorang untuk memahami tujuan-tujuan dalam mempelajari ilmu itu.
Asal-usul ilmu kaidah fikih
Munculnya ilmu kaidah fikih dapat dibagi dalam dua marhalah (fase),
Fase pertama: Muncul dan meluasnya ilmu kaidah fikih
Bisa dikatakan, ilmu kaidah fikih pada fase awal keberadaannya erat hubungannya dengan dalil syar’i, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, seperti halnya dengan ilmu-ilmu syar’i yang lainnya. Karena sebab itulah, ilmu kaidah fikih ini menjadi erat pula kaitannya dengan perkembangan ilmu “fikih” itu sendiri, baik dalam permasalahan furu’ (cabang) dan kematangan dalam membahas ilmu fikih itu sendiri.
Sehingga menjadi hal yang relevan jika dikatakan asal-usul munculnya ilmu kaidah fikih sangat erat kaitannya dengan masa-masa ijtihad dalam masalah fikih yang fokusnya adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sejatinya, munculnya ilmu kaidah fikih ini ada di fase awal-awal bahkan sebelum dituliskannya ilmu fikih itu sendiri. Fase yang mana para sahabat dan para tabi’in masih hidup. Bahkan didapati dari perkataan-perkataan mereka pada masa itu, sebagian kaidah-kaidah yang dapat dijadikan contoh dalam kaidah fikih. Di antaranya,
- Perkataan ‘Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu,
مَقَاطِعُ الحُقُوْقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا
“Batas-batas hak sesuai dengan syarat-syaratnya.”
Artinya, hak-hak seseorang dibatasi dan ditentukan oleh syarat-syarat yang telah disepakati atau ditetapkan bersama.
- Perkataan ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu,
لَيْسَ عَلَى صَاحِبِ العَارِيَةِ ضَمَانٌ
“Tidak ada tanggungan (kewajiban ganti rugi) bagi orang yang meminjam barang pinjaman.”
Artinya, orang yang meminjam barang pada asalnya tidak mengganti barang pinjamannya selama tidak menyalahgunakannya dan melampaui batas penggunaannya.
- Perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu:
لاَ إِيْلَاءَ إِلاَّ بِحَلِفٍ
“Tidak ada ilaa kecuali dengan sumpah.”
Ilaa adalah suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam jangka waktu tertentu. Ilaa tidak sah kecuali dengan adanya lafal sumpah.
Inilah di antara perkataan-perkataan para sahabat yang sejatinya menjadi contoh untuk kaidah-kaidah fikih. Kemudian setelah penulisan ilmu fikih dimulai, semakin bermunculan dan berkembanglah kaidah-kaidah fikih yang lain, terutama ketika para ulama memaparkan permasalahan-permasalahan fikih. Biasanya para ulama menyebutkan kaidah-kaidah fikih bertujuan untuk menjelaskan atau berdalil terhadap permasalahan-permasalahan fikih, dan bukan dalam rangka penyusunan ilmu kaidah fikih.
Di antara contohnya adalah perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullah,
كُلُّ مَا لَا يُفْسِدُ الثَّوْبَ فَلَا يُفْسِدُ الْمَاءَ
“Segala yang tidak merusak pakaian, maka tidak pula merusak (kesucian) air.”
Artinya, sesuatu yang menempel namun bersifat ringan seperti debu, kotoran halus, dan lain sebagainya, maka tidak menjadikan air itu rusak atau tidak suci. Hal ini sebagai bentuk perumpamaan kalau saja suatu hal seperti noda, kotoran, atau yang sejenisnya tidak merusak pakaian, maka menurut Imam Malik rahimahullah, hal-hal itu tidak pula merusak kesucian air.
Begitupun ucapan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
الأَرْضُ عَلَى الطَّهَارَةِ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ النَّجَاسَة
“(Hukum asal) tanah adalah suci, sampai diyakini terdapat najis.”
Kedua kaidah di atas disebutkan oleh Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i bukan dalam rangka membuat kitab khusus dalam bidang ilmu kaidah fikih. Namun, mereka berdua menyebutkan kaidah tersebut untuk menjelaskan permasalahan fikih.
Inilah fase pertama dari munculnya ilmu kaidah fikih.
Fase kedua: Pengumpulan dan penulisan
Bisa dikatakan awal mula pengumpulan dan penulisan ilmu kaidah fikih ini dimulai pada abad keempat hijriyah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kitab yang ditulis pada waktu tersebut. Ditulis oleh Abul Hasan Al-Karakhi, salah seorang ulama dari mazhab Hanafi. Kitabnya dikenal dengan nama “Ushul Al-Karakhi”. Inilah kitab tentang kaidah fikih yang ditulis dan dikumpulkan pertama kali.
Mungkin timbul pertanyaan mendasar, mengapa pengumpulan dan penulisan kaidah fikih ini baru ditulis pada abad keempat hijriyah? Dari pertanyaan ini setidaknya ada dua jawaban,
Pertama, dikarenakan terdapat kaitan yang sangat kuat antara kaidah-kaidah fikih dengan hukum-hukum dan cabang-cabang fikih. Saat itu, belum ada kebutuhan yang mendesak untuk mengumpulkan dan menulis ilmu kaidah fikih secara tersendiri kecuali setelah selesainya penulisan ilmu fikih itu sendiri.
Setelah beberapa kitab fikih selesai ditulis oleh para ulama, barulah muncul pengumpulan dan penulisan ilmu kaidah fikih (secara tersendiri) untuk membantu para penuntut ilmu yang belajar kepada para imam atau gurunya. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk menguatkan permasalahan-permasalahan fikih dan menyatukan pendapat yang sebelumnya berbeda-beda.
Kedua, sibuknya para ulama dari menulis ilmu tentang kaidah fikih. Terutama para ulama yang dikenal dengan semangat mereka dalam meletakkan sebuah cabang ilmu kala itu. Contohnya, Imam Asy-Syafi’i, disebutkan bahwasanya beliau lah yang pertama kali menuliskan ilmu ushul fikih. Namun bersamaan dengan itu, beliau belum sempat untuk mengumpulkan ilmu kaidah fikih sebagai salah satu dari cabang ilmu. Hal ini disebabkan beliau disibukan dengan ilmu fikih, ushul fikih, dan yang berkaitan dengan keduanya, yang notabennya menjadi permasalahan-permasalahan yang dilontarkan untuk dialog pemikiran pada zaman beliau rahimahullah.
Setelah fase ini, maka menyebarlah kitab-kitab yang ditulis berkaitan dengan ilmu kaidah fikih. Sampai pada saat ini, ilmu yang berkaitan dengan kaidah fikih pun meluas seiring dengan berkembangnya zaman. Dari mengetahui asal-usul perkembangan ilmu ini, dapat diketahui bagaimana semangat para ulama untuk memudahkan kaum muslimin dalam mempelajari agamanya, yakni agama Islam.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Baca juga: Mengenal Definisi “Kaidah Fikih”
***
Depok, 16 Rabi’ul awal 1447/ 8 September 2025
Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Disarikan dari kitab Al-Mumti’ fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary.
Artikel asli: https://muslim.or.id/109037-asal-usul-dan-perkembangan-ilmu-kaidah-fikih.html