Beranda | Artikel
Fikih Utang Piutang (Bag. 5)
17 jam lalu

Kaidah objek utang piutang

Telah diketahui bahwasanya dalam utang piutang, segala jenis harta atau barang yang bisa diperjualbelikan, maka sah untuk dijadikan sebagai objek utang piutang. Karena terdapat suatu kaidah yang mesti difahami dalam hal ini,

فَكُلُّ مَا صَحَّ بَيْعُهُ صَحَّ قَرْضُهُ، وَكُلُّ مَا لَا يَصِحُّ بَيْعُهُ لَا يَصِحُّ قَرْضُهُ

“Segala yang sah (digunakan sebagai objek) dalam jual beli, maka sah (digunakan sebagai objek) dalam utang piutang; dan segala yang tidak sah (digunakan sebagai objek) dalam jual beli, maka tidak sah (digunakan sebagai objek) dalam utang piutang.” [1]

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Dari kaidah di atas dapat diketahui, bahwasanya anjing tidak sah untuk dijadikan objek utang piutang karena anjing tidak sah diperjualbelikan. Begitupun dengan bangkai, tidak sah dijadikan objek utang piutang karena bangkai tidak sah diperjualbelikan. Begitupun dengan barang yang digadaikan, tidak sah dijadikan objek utang piutang, karena tidak sah diperjualbelikan. Dan sama halnya dengan barang yang diwakafkan, tidak sah dijadikan objek utang piutang karena tidak sah untuk diperjualbelikan, dan lain sebagainya.” [2]

Sehingga yang menjadi patokan boleh atau tidaknya suatu barang dijadikan sebagai objek utang piutang adalah dilihat dari boleh atau tidaknya barang tersebut diperjualbelikan. Intinya, yang dijadikan objek utang piutang adalah barang yang bernilai (nominal) dan bisa diganti dengan nominal yang serupa. Lalu bagaimana dengan emas? Apakah diganti dengan yang semisal? Atau bisa diganti dengan nominal?

Utang emas [3]

Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwasanya para ulama bersepakat bahwa utang emas hukumnya boleh. Dengan catatan, dikembalikan dalam bentuk yang semisal atau yang senominal. Jika pengutang ingin mengembalikan dengan emas yang lebih bagus atau dengan nominal yang lebih, maka hal ini diperbolehkan ketika tidak ada persyaratan atau kesepakatan di awal akad. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ خَيْرَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً

“Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)

Begitupula pemberi utang boleh memberikan syarat kepada pengutang, agar emas yang dipinjam dikembalikan dalam bentuk yang semisal (sama). Jika memang bentuk emasnya banyak beredar di pasar dan mudah untuk dibuat.

Contoh: Pengutang ingin meminjam emas berupa cincin seberat tiga gram, dua puluh empat karat, spesifiknya cincin tersebut bermata tiga. Jika hal tersebut disepakati oleh pengutang dan pengutang bisa mengembalikan cincin dengan spesifikasi yang serupa, maka itu yang terbaik. Kalau tidak bisa dikembalikan dalam bentuk emas yang serupa, maka dikembalikan nominalnya sesuai dengan harga ketika ingin melunasi utang dan tanpa ada perjanjian ketika akad ingin diganti dengan nominal.

Kaidahnya sebagaimana yang dikatakan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah,

فَإِنْ لَمْ يُوْجَدْ مِثْلُهُ ردّ قِيْمَتهُ وَقْتَ القَرْضِ أَنَّ المِثْلِيّ يُرَدُّ فِي القَرْضِ بِمِثْلِهِ

“Barang yang ada padanannya (mitsli) dalam pinjaman, hendaknya dikembalikan dengan yang sepadan (sejenis). Kalau tidak ada yang sejenis, maka dikembalikan dalam bentuk nominal waktu berutang.”

Para fuqaha (ahli fikih) menganggap barang-barang yang ditakar dan ditimbang sebagai mitsli (memiliki padanan/kembaran), kecuali jika dimasuki unsur kerajinan tangan yang dibolehkan, maka ia menjadi qimi (memiliki nilai/harga). Hal ini tentunya hanya berlaku pada masa mereka, karena sulitnya membuat kerajinan dengan bentuk dan rupa yang sama. Adapun pada masa sekarang, kita bisa membuat ribuan salinan dengan rupa dan bentuk yang sama.

Dalam hal ini, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah tidak sependapat dengan penulis kitab yang beliau syarah, yaitu Zaadul Mustaqni’ karya Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjawi rahimahullah. Perbedaan tersebut terletak dalam penggunaan makna mitsli, karena penulis kitab Zaadul Mustaqni’ memaknai mitsli hanya sebatas barang-barang yang bisa ditakar dan ditimbang saja.

Adapun Syekh Al-Utsaimin sedikit lebih luas cakupannya dalam penggunaan kata “mitsli”. Tidak hanya barang-barang yang bisa ditakar dan ditimbang saja, namun barang-barang yang sifatnya dibuat dengan tangan, itupun bisa dikategorikan dengan mitsli (sepadan).

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

والصحيح أن المثلي ما كان له مثيل ، مطابق أو مقارب تقاربا كثيرا، ويدل لهذا أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لزوجته التي كسرت الإناء، وأفسدت الطعام: إناء بإناء، وطعام بطعام ولم يضمنها بالقيمة، ثم إننا نقول: الصناعة الآن تتقدم، ومن المعلوم أن الفناجيل ـ مثلا ـ من الزجاج مصنوعة، وهي مثلية قطعا، فمماثلة الفنجال للفنجال أشد من مماثلة صاع البر لصاع البر، وهذا أمر معلوم، والحلي ـ مثلا ـ والأقلام، والساعات، كل هذه مثلية، وهي على حد الفقهاء ليست مثلية

“Yang benar, mitsli adalah sesuatu yang memiliki padanan, sama persis, atau sangat mirip. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istrinya yang memecahkan bejana dan merusak makanan, (beliau bersabda), ‘Bejana (diganti) dengan bejana, dan makanan (diganti) dengan makanan.’ Beliau tidak menggantinya dengan nilai (harga). Kemudian kita katakan, ‘Saat ini kerajinan tangan sudah maju. Dan sudah diketahui bahwa cangkir-cangkir, misalnya, yang terbuat dari kaca, jelas merupakan barang mitsli karena kesamaan satu cangkir dengan cangkir lainnya lebih kuat daripada kesamaan satu sha’ gandum dengan sha’ gandum lainnya.’ Ini adalah hal yang sudah jelas. Dan perhiasan, misalnya, pena, dan jam tangan, semuanya adalah mitsli. Sedangkan menurut definisi para fuqaha (terdahulu) itu bukanlah mitsli.”

Dalam hal inilah Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dan penulis kitab Zaadul Mustaqni’ berbeda. Adapun dalam hal konsekuensi dalam mengembalikan utang, maka tidak ada perbedaan. Yaitu, mengembalikan dengan bentuk barang yang dipinjam. Jika emas, maka kembalikan dengan emas yang serupa.

Kalau memang tidak mampu untuk mengembalikan dengan yang serupa, maka dikembalikan dengan nominal sesuai dengan harga pada saat pelunasan utang. Kapan dianggap tidak mampu mengembalikan barang yang sepadan?

  • Jika barang sulit dicari, tidak dijual di mana-mana. Di pasar, di online shop, atau yang lainnya.
  • Kenaikan harga yang sangat tinggi. [4]

Catatan:

Perlu diketahui, terdapat perbedaan antara akad meminjam emas dan meminjam uang karena menjual emas.

  • Jika seseorang meminjam emas sebagai pinjaman, lalu orang yang berutang emas tersebut menjual emas untuk dirinya sendiri, maka orang yang berutang menanggung utang emas, bukan uang.
  • Jika pemberi pinjaman mengatakan, “Ambil emas saya ini, kemudian engkau jual di pasar, hasil penjualannya silahkan gunakan untuk pinjaman.” Maka ini utang dalam bentuk uang, bukan emas. Sehingga peminjam atau pengutang mengembalikan sejumlah nominal uang yang dipinjamnya ketika ia menjual emas. [5]

Kesimpulan

Sehingga utang piutang berbentuk emas memiliki beberapa kesimpulan,

  • Utang emas hukumnya boleh.
  • Hukum asal dalam mengembalikan emas adalah dikembalikan dengan jenis yang sama. Bahkan boleh bagi pemberi utang memberikan syarat di awal agar dikembalikan dengan emas yang semisal atau sejenis.
  • Pengutang diperbolehkan mengembalikan emas dalam jumlah yang lebih, dengan syarat tidak adanya perjanjian dengan pemberi utang di awal akad.
  • Jika pengutang tidak bisa mengembalikan emas dalam bentuk yang serupa, maka boleh mengembalikan utang dalam bentuk yang lain. Dengan ketentuan sesuai dengan nominal atau harga emas pada waktu pengutang ingin melunasi utang emas tersebut.
  • Jika pengutang menjual emas atas perintah pemberi utang, kemudian ia menggunakan uang hasil penjualannya sebagai utang, maka pengutang sejatinya berutang uang, bukan emas. Sehingga wajib mengembalikan uang sejumlah nominal ketika ia meminjamnya setelah menjual emas tersebut.

Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 4

***

Depok, 25 Safar 1447/ 19 Agustus 2025

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.

 

Catatan kaki:

[1] Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 96.

[2] Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 96.

[3] Disadur dari: https://islamqa.info/ar/answers/136433

[4] Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 107.

[5] Disadur dari: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/345421


Artikel asli: https://muslim.or.id/108627-fikih-utang-piutang-bag-5.html