Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 4): Berlaku Adil dan Tidak Melupakan Jasa
Eratnya interaksi tidak menjamin masing-masing pihak selamat dari perselisihan dan pertengkaran. Justru seringnya interaksi berselarasan dengan meningkatnya potensi perselisihan. Hal ini mudah kita temukan dalam keseharian, yakni di pertemanan, bahkan yayasan atau kelembagaan dakwah. Sehingga pada akhirnya jasa di antara satu sama lain dilupakan. Padahal betapa besar hubungan timbal balik dan manfaat yang dihasilkan kedua belah pihak. Namun, karena satu permasalahan yang tidak disikapi dengan hikmah, akhirnya berdampak pada perpecahan.
Sikap adil dan tidak melupakan jasa orang lain menjadi sangat penting dalam masa fitnah. Karena seringkali ketika terjadi perselisihan, yang banyak mempengaruhi keputusan bukanlah akal sehat, tetapi perasaan amarah. Maka, perlu bagi seorang untuk adil dalam menyikapi realita yang ada.
Ahlus sunnah adalah orang yang terdepan dalam keadilan, sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah,
وأهل السنة والإيمان يعلمون الحق، ويرحمون الخلق، ويتبعون الرسول فلا يبتدعون، ومن اجتهد فأخطأ خطأ يعذره فيه الرسول عذروه …. والله يحب الكلام بعلم وعدل، ويكره الكلام بجهل وظلم
“Ahlus sunnah dan iman paling mengetahui kebenaran, menyayangi makhluk, dan mengikuti Rasul, sehingga mereka tidak melakukan bidah. Barangsiapa yang berijtihad dan melakukan kesalahan yang kemudian dimaafkan oleh Rasul, maka mereka pun memaafkannya. Dan Allah mencintai berbicara dengan ilmu dan keadilan, dan membenci berbicara dengan kebodohan dan kezaliman.” (Majmu’ Fatawa, 16: 96)
Pentingnya menyadari kelebihan orang lain dalam hubungan manusia
Setelah seseorang memahami hakikat manusia pasti mengecewakan (tulisan bag. 3), nilai lain yang perlu diingat oleh seseorang adalah bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan atau bahkan jasa pada dirinya, terlebih dalam interaksi yang lebih intim dan erat. Atas dasar itu, ia hendaknya mengingat kebaikan dan keutamaan orang lain tersebut agar amarah atau perasaan tidak sukanya hilang. Semisal dalam ayat dan hadis tentang hubungan suami-istri seorang mukmin.
Allah ﷻ berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan pergaulilah istrimu dengan (akhlak yang) baik. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allâh menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)
Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya). Jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya, maka ia akan rida dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Melihat kebaikan dan jasa seseorang adalah pondasi dalam interaksi yang erat, semisal suami-istri. Hubungan suami-istri adalah konteks hubungan yang sangat erat dan intim, tidak ada batasan di antara keduanya sama sekali. Tentu interaksinya melebihi dari rekan sekantor atau bahkan teman pengajian. Jika dalam hubungan seperti ini Allah dan Rasul-Nya mewasiatkan untuk melihat kebaikan satu sama lain sebagai solusi menjaga keharmonisan hubungan, apalagi dalam interaksi yang tidak lebih intim daripada itu.
Melupakan kebaikan saat berselisih adalah akhlak Abu Lahab
Terdapat fenomena ketika terjadi perselisihan, maka gugurlah semua tali persaudaraan dan seluruh kenangan baik yang pernah dibuat bersama. Ungkapan cinta dan momen kebersamaan dalam ketaatan menjadi sirna dan berganti menjadi celaan, cacian, dan makian. Ketahuilah bahwa ini adalah sikap dari seorang yang berada di atas kesesatan seperti Abu Lahab.
Abu Lahab adalah orang yang sangat membanggakan kelahiran Nabi ﷺ. Bahkan Abu Lahab sampai membebaskan budaknya, Tsuwayba [1], ketika mengabarkan ke orang-orang bahwa Muhammad telah lahir. Namun, tatkala terjadi perbedaan dalam masalah pokok keyakinannya, maka Abu Lahab menjadi pembenci Nabi ﷺ nomor satu. Semua pertalian kekeluargaan dan kebanggaan yang tersemat kepada keponakannya itu sirna sudah sebab kebencian pada substansi yang Nabi ﷺ bawa dalam dakwahnya, yaitu dakwah tauhid.
Mengingat kebaikan orang lain saat berselisih adalah akhlak orang saleh
Sebaliknya, Nabi ﷺ adalah orang yang paling adil dalam bersikap. Tatkala Abu Thalib wafat, Nabi ﷺ tetap berusaha untuk mendoakan kebaikan bagi paman terkasihnya itu. Padahal Abu Thalib mati dalam keadaan kafir, tetapi jasanya dalam dakwah Nabi ﷺ tidak begitu saja dilupakan. Bahkan Allah ﷻ menghargainya dengan diringankan azabnya. Ini adalah keteladanan bersikap adil; menengahkan rahmat, tanpa menggadaikan prinsip agama.
Teladan lain adalah Imam Ahmad rahimahullah tatkala menghadapi fitnah “khalqil Qur’an”. Penguasa pada zaman tersebut memenjarakan semua ulama yang menyelisihinya dalam akidah “Al-Qur’an adalah makhluk”. Imam Ahmad tetap teguh dengan keyakinan Al-Qur’an Kalamullah dan meyakini bahwa keyakinan “Al-Qur’an adalah makhluk” adalah kekufuran. Namun, Imam Ahmad tidak mengkafirkan para khalifah yang berkeyakinan dan menghukumnya itu.
Begitupula dengan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tatkala menyikapi fitnah khalifah bengis Al-Hajjaj bin Yusuf. Beliau telah melihat kezaliman Al-Hajjaj saat itu, bahkan murid-murid Al-Hasan telah meminta beliau untuk menitahkan pemberontakan atau protes. Al-Hasan adalah ulama besar di zaman itu, andai beliau mau menitahkan pergerakan, maka akan banyak massa yang mengikuti. Namun, kebijaksanaan Al-Hasan menahan dirinya untuk menggerakkan massa, malah justru meminta jemaahnya bersabar.
Teladan itu juga datang dari Ibnu Taimiyah yang sempat dipenjara oleh Sultan karena hasutan seorang ulama ahli bidah. Namun, ketika sang Sultan mengetahui bahwa ulama ahli bidah itu bermuka dua, justru Ibnu Taimiyah yang ditawarkan untuk memberikan fatwa memenjarakan ulama tersebut. Namun, Ibnu Taimiyah tidak melakukannya, justru memberi pemaafan atas ulama tersebut. [2]
Begitupula, sebagaimana diriwayatkan Ibnul Qayyim rahimahullah, ketika wafatnya seorang ulama yang begitu keras menyelisihi Ibnu Taimiyah. Bukannya Ibnu Taimiyah bersyukur mendengar kabar yang disampaikan muridnya, justru beliau bergegas ke rumah ulama tersebut untuk memberikan jaminan kepada anak-anak ulama yang menyelisihinya itu. (Madarijus Salikin, 2: 329)
Sikap adil adalah memperinci suatu perkara
Semua keteladanan dari Nabi ﷺ dan para Salafus Shalih adalah bentuk pengamalan dari bersikap adil. Karena yang dimaksudkan keadilan adalah merincikan permasalahan antara pembahasan hukum dan pembahasan pelakunya, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Fathi Al-Maushuli hafizhahullah,
التفريق في الحكم بين المقالة وقائلها، وبين المخالفة والمخالف، فعند الحكم على المقالة فلابد من التأصيل، وعند الحكم على القائل لابد من التفصيل
“Membedakan hukum antara perkataan dan yang mengatakan, dan antara pelanggaran dengan pelanggarnya. Termasuk ketika menetapkan hukum mengenai perkataan, hendaknya menetapkan hukum asalnya. Sedangkan ketika menetapkan hukum mengenai yang mengatakan, hendaknya menetapkan hukum perinciannya.” (Ushul Naqd Al-Mukhallif, hal. 15-18, dalam Adab Al-Ikhtilaf Bainas Sahabah, hal. 130)
Termasuk yang dirincikan adalah bagaimana kedudukan permasalah tersebut? Mengenai pokok agama atau ranah ijtihad? Bagaimana konsekuensinya? Maka, ini adalah bentuk keadilan dari seorang ahlus sunnah. Dengan mengenali level permasalahannya, seseorang akan mengetahui sikap yang tepat dalam menyikapi permasalahan tersebut. (Mukhtashar Ushul Naqd Al-Mukhallif, hal. 12)
Hal yang termasuk dirincikan adalah mengetahui kedudukan orang yang dikritisi tanpa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Ini adalah kaidah yang disebutkan Ibnu Taimiyah,
لكن دين الإسلام إنما يتم بأمرين: أحدهما: معرفة فضل الأئمة وحقوقهم ومقاديرهم، وترك كل ما يجر إلى ثلمهم. والثاني: النصيحة الله سبحانه ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم، وإبانة ما أنزل الله – سبحانه – من البينات والهدى
“Akan tetapi, agama Islam itu sempurna dengan dua perkara. Pertama, mengenal keutamaan para imam (ulama) dan hak-hak mereka serta kedudukan mereka, dan meninggalkan segala sesuatu yang bisa mengurangi kehormatan mereka. Kedua, memberi nasihat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum Muslimin dan umat Islam secara umum, serta menjelaskan apa yang telah Allah turunkan berupa bukti-bukti yang nyata dan petunjuk.” (Al-Fatawa Al-Kubra, 6: 92)
Hal ini diteladankan Nabi ﷺ saat menerangkan sifat Khawarij, yakni mereka memiliki kualitas zahir ibadah yang bagus, tetapi pemikirannya rusak. Nabi ﷺ memberikan pujian terbatas, tetapi beliau memberikan peringatan yang juga keras.
Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya mengedepankan nilai keadilan saat berdakwah dan berselisih. Dengan bersikap adil, seorang muslim akan menjadi bijak dalam memilih pembahasan dan cara bertutur sesuai dengan objek dakwahnya. Begitupula ketika berselisih, seorang muslim tidak mudah mengkafirkan, mengecap ahli bidah, atau mengeluarkan seseorang dari ahlus sunnah.
Bukan pula sikap adil ini disebut sebagai manhaj bunglon. Akan tetapi, sikap adil seperti ini adalah sikap yang diambil para salafus shalih. Mereka melakukannya bukan dalam rangka ingin menyenangkan semua pihak, tetapi karena mereka sadar bahwa setiap perkataannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ.
Maka, ini jadi pertanyaan bagi kita, sudah benarkah niat kita dalam berdakwah dan menyampaikan Al-Haq?? Sudah benarkah metode yang kita gunakan dan siapkah kita mempertanggungjawabkannya? Sudahkah kita menjadi bagian penyeru kepada sunah ataukah justru kita membuat orang lari dari kecintaan pada sunah?
Semoga Allah ﷻ senantiasa membimbing kita untuk beragama dengan manhaj yang benar dan diridai-Nya.
[Bersambung]
***
Penulis: Glenshah Fauzi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
- أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syaikh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.
- Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.one
- Madarijus Salikin via islamweb.net
- Atsar Ibnu Taimiyah fi Mukhalifihi oleh Tim Salaf Center binaan Dr. Hamad bin Abdul Jalil Al-Baridi via salafcenter.org
- Ushul Naqd Al-Mukhalifihi, karya Syaikh Fathi Al-Maushuli hafizhahullah. Diringkas oleh Faris Al-Mishry hafizhahullah
- Majmu’ Fatawa, karya Ibnu Taimiyah rahimahullah
- Al-Fatawa Al-Kubro, karya Ibnu Taimiyah rahimahullah
Catatan kaki:
[1] Penukilan kisah Abu Lahab membebaskan Tsuwayba adalah untuk menunjukkan bahwa Abu Lahab sebagai seorang paman turut bahagia ketika Nabi Muhammad ﷺ lahir. Adapun status khabarnya adalah mursal perkataan Urwah rahimahullah yang diriwayatkan Al-Bukhari dengan no. 5101. Riwayat ini dinukilkan beberapa kitab sirah (sejarah), tetapi tidak dalam rangka menerangkan konsekuensi amal kebaikan seorang kafir. Para ulama menerangkan bahwa kebahagiaan Abu Lahab adalah kebahagiaan thabi’i atas kelahiran kerabatnya. Adapun Abu Lahab memerdekakan Tsuwayba karena rasa bahagia ini pun dikritisi para ulama sirah. Namun, Abu Lahab memang memberikan kesempatan kepada Tsuwayba untuk menyusui Nabi Muhammad ﷺ. Untuk pembahasan lebih lanjut silahkan mengecek artikel berikut: https://islamqa.info/ar/answers/139986/ dan https://majles.alukah.net/showthread.php?t=96622
[2] Terdapat dua kisah semisal yakni dengan Ali bin Yakub Al-Bakri As-Sufi (referensi: https://saaid.org/Minute/m93.htm) dan kisah dipenjaranya Ibnu Taimiyah oleh Sultan Ibnu Qalawun atas fitnah sekelompok ulama sufi (referensi: Kitab Atsar Ibnu Taimiyah fi Mukhalifihi: https://salafcenter.org/9658/#_ftn8)
Artikel asli: https://muslim.or.id/107170-asas-dakwah-dan-menghadapi-perselisihan-bag-4.html