Fikih Utang Piutang (Bag. 1)
Utang piutang, di antara salah satu dari transaksi dan jalinan interaksi sosial, terangkai pada sebuah bentuk muamalah yang tetap ada dari setiap zaman ke zaman. Utang piutang bukan sekedar mekanisme ekonomi untuk memenuhi kebutuhan materi semata karena di sisi lain, utang piutang menjadi cerminan nyata dari prinsip ta’awun (tolong menolong) yang agung dalam Islam.
Dalam pandangan syariat, utang piutang bukanlah perkara yang sepele ataupun remeh. Ia adalah sebuah perkara yang besar, memiliki resiko yang tinggi dan beban amanah yang berat. Bahkan di dalam Islam, kewajiban melunasi utang melekat pada jiwa seorang mukmin hingga di hari akhirat kelak. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya perkara ini dalam timbangan agama Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin tergantung (tertahan) pada utangnya, sampai utangnya lunas.” (HR. At-Tirmidzi dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)
Karenanya, mengetahui tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan utang piutang sangatlah penting. Bahkan keluar sebuah statement dari sebagian ahli ilmu yang mengatakan bahwasanya utang piutang adalah termasuk bab fikih yang paling banyak hubungannya dengan riba. Sehingga mengetahuinya termasuk hal yang penting.
Definisi utang piutang
Di dalam bahasa Arab, utang piutang biasa disebut dengan القَرْضُ (Al-Qardh). Demikian para ulama menyebutkan tentang utang piutang di dalam kitab-kitab mereka.
Secara bahasa, Al-Qardh bermakna القَطْعُ (Al-Qath’u) yang berarti “memotong”. Karena seseorang yang memberikan pinjaman seakan-akan memotong hartanya untuk diberikan kepada orang lain dan dikembalikan dengan jumlah yang sama.
Secara istilah, Al-Qardh adalah memberikan harta kepada seseorang untuk dimanfaatkan dan dikembalikan penggantinya.
Dalil-dalil bolehnya utang piutang
Dalil dari Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗٓ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۗ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah? Dia akan melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Pada ayat ini, Allah Ta’ala menyamakan amalan-amalan saleh dan berinfak di jalan Allah dengan qardh (pinjaman). Hal ini menunjukkan keutamaan qardh. Allah Ta’ala menyerupakan pahala yang berlipat ganda sebagai ganti dari memberi pinjaman. Dan Allah tidaklah menyamakan pahala-Nya kecuali dengan sesuatu yang agung. Maka hal ini menunjukkan bahwa qardh adalah amalan yang mulia dan baik.
Di sisi lain, Islam menjunjung untuk membantu sesama, memudahkan kesulitan dari Muslim yang lain. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ
“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Dalil dari As-Sunnah
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Tidaklah seorang Muslim memberi pinjaman kepada Muslim lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama.” (HR. Ibnu Majah dihasankan oleh Syekh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 1389)
Dalam hadis yang lain, dari Abu Rafi’, beliau menceritakan,
أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ اسْتَسْلَفَ مِن رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إبِلٌ مِن إبِلِ الصَّدَقَةِ، فأمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إلَيْهِ أَبُو رَافِعٍ، فَقالَ: لَمْ أَجِدْ فِيهَا إلَّا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فَقالَ: أَعْطِهِ إيَّاهُ، إنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً.
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah meminjam seekor unta muda (bakr) dari seorang laki-laki. Kemudian datanglah kepadanya unta-unta dari unta-unta sedekah. Maka beliau memerintahkan Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta muda laki-laki tersebut. Lalu Abu Rafi’ kembali kepadanya dan berkata, ‘Aku tidak menemukan di antara unta-unta itu kecuali seekor unta pilihan yang telah mencapai usia ruba’i (gigi seri depannya telah tumbuh semua).’ Maka beliau bersabda, ‘Berikanlah kepadanya unta itu, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim no. 1600)
Dalil ijma’
Adapun ijma’, telah dinukil kesepakatan dari para ulama akan disyariatkannya utang piutang. Baik meminjam atau memberikan pinjaman. Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan,
اتفقوا على أنّ القرض فعل خير وأنه إلى أجل محدود
“Mereka (para ulama) bersepakat bahwa (memberi) pinjaman adalah perbuatan baik, dan (pinjaman) adalah sampai batas waktu yang ditentukan.”
Ibnu Qudamah rahimahullah di dalam Al-Mughni juga berkata,
وأجمع المسلمون على جواز القرض
“Kaum muslimin telah bersepakat atas bolehnya utang piutang.”
Sehingga dapat diketahui bahwasanya utang piutang adalah transaksi yang diperbolehkan di dalam Islam, tentunya dengan syarat-syarat dan hukum-hukum yang perlu diketahui. Dikarenakan utang piutang sangat dekat hubungannya dengan riba. Jika tidak mengetahui tentang hal-hal yang berkaitan dengan utang piutang, maka dikhawatirkan akan mudah sekali terjatuh kepada riba. Na’udzubillah min dzalik.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
[Bersambung]
Baca juga: 4 Hal yang Harus Diketahui Sebelum Berutang
***
Depok, 21 Muharam 1447/ 16 Juli 2025
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud.
Shahih Fiqh Sunnah (Jilid 5), karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.
Al-Mukhtashor fil Mu’amalat, karya Prof. Dr. Khalid bin Ali Al-Musyayqih.
Artikel asli: https://muslim.or.id/107687-fikih-utang-piutang-bag-1.html