BAB 8([1])
بَابُ مَا جَاءَ فِي الرُّقَى وَالتَّمَائِمِ
TENTANG RUQYAH DAN TAMIMAH([2])
في الصحيح عن أبي بشير الأنصاري رضي الله عنه “أنه كان مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في بعض أسفاره، فأرسل رسولا أن لا يبقين في رقبة بعير قلادة من وتر، أو قلادة إلا قطعت
Diriwayatkan dalam shahih([3]) dari Abu Basyir Al Anshari radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang utusan untuk menyampaikan pesan:
أَنْ لاَ يَبْقَيَنَّ فِيْ رَقَبَةِ بَعِيْرٍ قِلاَدَةً مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلاَدَةٍ إِلاَّ قُطِعَتْ
“Agar tidak terdapat lagi di leher unta kalung dari tali busur panah atau kalung apapun kecuali harus diputuskan”.([4])
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menuturkan: aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya Ruqyah, Tamimah dan Tiwalah adalah syirik.”(HR. Ahmad dan Abu Dawud). ([5])
Dalam hadits marfu’ dari Abdullah bin ‘Ukaim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu (dengan anggapan bahwa barang tersebut bermanfaat atau dapat melindungi dirinya) maka Allah akan menjadikan orang tersebut selalu bergantung kepadanya.”(HR. Ahmad dan At Turmudzi). ([6])
TAMIMAH adalah sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menangkal dan menolak penyakit ‘ain. Jika yang dikalungkan itu berasal dari ayat-ayat Al Qur’an, sebagian ulama salaf memberikan keringanan dalam hal ini; dan sebagian yang lain tidak memperbolehkan dan melarangnya, di antaranya Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ([7]) .
RUQYAH ([8]) yaitu: yang disebut juga dengan istilah Ajimat. Ini diperbolehkan apabila penggunaannya bersih dari hal-hal syirik, karena Rasulullah rshallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam hal ruqyah ini untuk mengobati ‘ain atau sengatan kalajengking.
TIWALAH adalah sesuatu yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat menjadikan seorang istri mencintai suaminya, atau seorang suami mencintai istrinya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ruwaifi’ radhiallahu ‘abhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya:
يَا رُوَيْفِعُ، لَعَلَّ الحَيَاةَ تَطُوْلُ بِكَ، فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ، أَوْ تَقَلَّدَ وِتْرًا، أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيْعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ، فَإِنَّ مُحَمَّدًا بَرٍيْءٌ مِنْهُ
“Hai Ruwaifi’, semoga engkau berumur panjang, oleh karena itu sampaikanlah kepada orang-orang bahwa barangsiapa yang menggulung jenggotnya, atau memakai kalung dari tali busur panah, atau bersuci dari buang air dengan kotoran binatang atau tulang, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri dari orang tersebut”.
Waki’ meriwayatkan bahwa Said bin zubair radhiallahu ‘anhu berkata: “Barang siapa yang memotong tamimah dari seseorang maka tindakannya itu sama dengan memerdekakan seorang budak.”
Dan waki’ meriwayatkan pula bahwa Ibrahim (An Nakha’i) berkata: “mereka (para sahabat) membenci segala jenis tamimah, baik dari ayat-ayat Al Qur’an maupun bukan dari ayat-ayat Al Qur’an.” ([9])
Kandungan bab ini:
- Pengertian ruqyah dan tamimah.
- Pengertian tiwalah.
- Ketiga hal diatas merupakan bentuk syirik dengan tanpa pengecualian.
- Adapun ruqyah dengan menggunakan ayat-ayat Al Qur’an atau do’a-do’a yang telah diajarkan oleh Rasulullah untuk mengobati penyakit ‘ain, sengatan serangga atau yang lainnya, maka tidak termasuk syirik.
- Jika tamimah itu terbuat dari ayat-ayat Al Qur’an, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, apakah termasuk ruqyah yang diperbolehkan atau tidak?
- Mengalungkan tali busur panah pada leher binatang untuk mengusir penyakit ‘ain, termasuk syirik juga.
- Ancaman berat bagi orang yang mengalungkan tali busur panah dengan maksud dan tujuan di atas.
- Besarnya pahala bagi orang yang memutus tamimah dari tubuh seseorang.
- Kata-kata Ibrahim An Nakhai tersebut di atas, tidaklah bertentangan dengan perbedaan pendapat yang telah disebutkan, sebab yang dimaksud Ibrahim di sini adalah sahabat sahabat Abdullah bin mas’ud ([10]).
KETERANGAN (FOOTNOTE)
([1]) Diantara perkara yang tersebar di banyak penjuru dunia Islam adalah menggantungkan atau memakai jimat, baik pada anak-anak, maupun lelaki dewasa. Bahkan jimat juga digantungkan/dipakaikan pada rumah, mobil, dan hewan. Semua ini dilakukan dengan niat agar terhindar dari gangguan, bencana, atau penyakit ‘ain, dan yang lainnya. Ternyata aqidah yang mengakar di sebagian masyarakat Islam tentang jimat bukanlah aqidah yang baru muncul, akan tetapi sudah ada sejak zaman jahiliyah. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, beliau mengingatkan akan bahayanya jimat bahwasanya jimat merupakan kesyirikan yang berbahaya.
Akan tetapi ternyata hingga saat ini penggunaan jimat masih saja laris terutama di kalangan masyarakat awam yang jauh dari ilmu dan masih dikuasai oleh kejahilan. Terlebih lagi ada para da’i yang ikut melariskan tersebarnya jimat-jimat tersebut, bahkan sebagian mereka pekerjaannya adalah menjual jimat-jimat dengan harga yang bervariasi, sesuai dengan fungsi dan keampuhan jimat-jimat tersebut.
Sungguh menyedihkan, bagaimana tradisi-tradisi dan sunnah-sunnah kaum jahiliyah bisa tetap tegar dan hidup kembali di masyarakat Islam sementara al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi berada di tengah-tengah kita. Tidak lain karena jauhnya masyarakat dari ilmu, wallahul musta’aan.
Penggunaan jimat semakin laris lagi tatkala banyak dari masyarakat yang ingin mengambil jalan pintas dan praktis. Ingin terjaga dan ingin berhasil dalam perdagangan mereka tanpa harus menempuh sebab-sebab yang dibolehkan oleh syari’at, maka merekapun -dengan penuh keyakinan- segera pergi ke sebagian ustadz/kiyai yang menjual jimat pelaris, jimat penjaga, atau jimat penangkal. Alhamdulillah dengan menyebarkan ilmu dan sunnah Nabi banyak orang yang akhirnya sadar akan syiriknya jimat. Bahkan saya pernah bertemu dengan seorang da’i yang telah mengislamkan ratusan orang dengan mengajak mereka ke jalan tauhid, padahal da’i tersebut mengaku dahulu setelah lulus dari pondok kerjaannya adalah menjual jimat yang telah ditulisi rajah-rajah pada jimat-jimat tersebut.
([2]) Bab ini merupakan penyempurna bagi bagi bab sebelumnya karena masih berkaitan tentang jimat, hanya saja bab ini menjelaskan lebih detail tentang contoh-contoh jimat.
judul bab ini tidak dibuka dengan “Termasuk kesyirikan”, berbeda dengan bab sebelumnya yang dibuka dengan, “Termasuk kesyirikan memakai gelang dan sejenisnya…”, karena ruqyah ada perinciannya, ada yang merupakan praktik kesyirikan, namun ada pula yang disyari’atkan. Berbeda halnya dengan memakai gelang untuk menolak bala maka sudah pasti merupakan kesyirikan, baik itu syirik kecil maupun syirik besar.
([3]) Yaitu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka berdua
([4]) Hadits ini menunjukkan pengingkaran yang keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dimana beliau sangat serius dalam melarang penggunaan jimat-jimat. sampai-sampai Nabi mengutus utusan untuk mengumumkan pelarangan jimat.
Hadits ini menunjukkan bahwa diantara jimat yang digunakan oleh para ahli jahiliyyah adalah jimat yang dibuat dari watar (tali busur) yang telah usang lalu digunakan sebagai jimat yang digantungkan pada hewan-hewan, dengan meyakini bahwa kalung tali busur tersebut dapat menolak bala atau penyakit karena ‘ain.
Namun sebagaimana telah lalu bahwa jimat itu bersifat umum dari sisi (1) bentuk jimat tersebut, dan (2) dari sisi dimana digantungkan atau diletakan atau dituliskan jimat tersebut.
Maka semua yang digantungkan/diletakan/ditulis dalam rangka untuk menolak bala maka termasuk jimat. Apakah yang digantungkan dalam bentuk tali, senar, kain, kulit, janur kuning, bunga-bunga, tulang hewan, akar pohon, benda laut -seperti kerang dan keong-, logam tertentu, atau yang lainnya dalam rangka menolak bala maka itu adalah jimat. Bahkan di zaman sekarang sebagian orang tidak lagi menulis jimat di kulit atau kain, tapi mereka menulisnya di perak atau emas, lalu dipakai sebagai jimat.
Demikian juga jimat tersebut diletakkan/digantung dimanapun, maka tetap termasuk jimat. Apakah diletakan di leher, di dada, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan, di kaki, di betis, atau pada anak-anak, pada hewan, pada rumah, warung, kendaraan, dan lain-lain.
([5]) Hadits ini ada kisahnya yaitu :
عَنْ زَيْنَبَ، امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ الرُّقَى، وَالتَّمَائِمَ، وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ» قَالَتْ: قُلْتُ: لِمَ تَقُولُ هَذَا؟ وَاللَّهِ لَقَدْ كَانَتْ عَيْنِي تَقْذِفُ وَكُنْتُ أَخْتَلِفُ إِلَى فُلَانٍ الْيَهُودِيِّ يَرْقِينِي فَإِذَا رَقَانِي سَكَنَتْ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: إِنَّمَا ذَاكَ عَمَلُ الشَّيْطَانِ كَانَ يَنْخُسُهَا بِيَدِهِ فَإِذَا رَقَاهَا كَفَّ عَنْهَا، إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكِ أَنْ تَقُولِي كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا»
Dari Zainab istri Ibnu Mas’ud dari Ibnu Mas’ud beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi) jimat-jimat, dan tiwalah (pelet) adalah kesyirikan”.
Zianab berkata, “Kenapa engkau mengatakan demikian? Demi Allah mataku bergerak-gerak, dan aku pergi ke si fulan Yahudi lalu iapun meruqyahku, jika ia telah meruqyahku maka mataku tenang kembali”. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya itu hanyalah pekerjaan syaitan, ia yang telah menggerak-gerakan dengan tangannya, jika si fulan Yahudi meruqyah maka syaitan berhenti. Sesungguhnya cukup bagimu untuk mengucapkan sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Hilangkanlah penyakit wahai Penguasa manusia, sembuhkanlah sesungguhnya Engkau Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak meninggalkan sakit sedikitpun” (HR Abu Dawud No. 3883)
Dalam riwayat yang lain Zainab istri Ibnu Mas’ud berkata :
كَانَتْ عَجُوزٌ تَدْخُلُ عَلَيْنَا تَرْقِي مِنَ الْحُمْرَةِ، وَكَانَ لَنَا سَرِيرٌ طَوِيلُ الْقَوَائِمِ، وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ إِذَا دَخَلَ تَنَحْنَحَ وَصَوَّتَ، فَدَخَلَ يَوْمًا فَلَمَّا سَمِعَتْ صَوْتَهُ احْتَجَبَتْ مِنْهُ، فَجَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِي فَمَسَّنِي فَوَجَدَ مَسَّ خَيْطٍ فَقَالَ: مَا هَذَا؟ فَقُلْتُ: رُقًى لِي فِيهِ مِنَ الْحُمْرَةِ فَجَذَبَهُ وَقَطَعَهُ فَرَمَى بِهِ وَقَالَ: لَقَدْ أَصْبَحَ آلُ عَبْدِ اللَّهِ أَغْنِيَاءَ عَنِ الشِّرْكِ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ الرُّقَى، وَالتَّمَائِمَ، وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ»
“Ada seorang wanita tua yang ke rumah kami untuk meruqyah (mengobati) penyakit humroh/merah (yaitu wabah yang menimpa sehingga menyebabkan demam dan warna merah di kulit tubuh-pen) dan kami memiliki tempat tidur yang tinggi kakinya. Adalah Ibnu Mas’ud kalau masuk ke rumah maka beliau berdehem dan mengeraskan suaranya. Suatu hari ia datang, tatkala wanita tua mendengar suaranya maka iapun berhijab darinya. Lalu Ibnu Mas’ud datang dan duduk disampingku lalu ia menyentuhku dan ia merasakan ada benang. Ia berkata, “Apakah ini?”, aku berkata, “Ini adalah ruqyah untuk mencegah penyakit humroh”. Lalu iapun menariknya dan memutuskannya lalu membuangnya. Ia berkata, “Keluarga Abdullah bin Mas’ud tidak membutuhkan kesyirikan, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ruqyah, jimat, dan pelet adalah kesyirikan” (HR Ahmad No. 3615 dan Ibnu Majah No. 3530)
([6]) Hadits ini ada kisahnya yaitu :
عن عِيسَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: دَخَلْنَا عَلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ عُكَيْمٍ وَهُوَ مَرِيضٌ نَعُودُهُ فَقِيلَ لَهُ: لَوْ تَعَلَّقْتَ شَيْئًا، فَقَالَ: أَتَعَلَّقُ شَيْئًا، (وفي رواية الترمذي : الْمَوْتُ أَقْرَبُ مِنْ ذَلِكَ) وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ”
Dari ‘Isa bin Abdirrahman ia berkata, “Kami menemui Abdullah bin ‘Ukaim sementara ia sedang sakit, kami menjenguk beliau. Maka dikatakan kepada beliau, “Coba engkau menggantungkan sesuatu !”. Maka beliau berkata, “Aku menggantungkan sesuatu?, (di riwayat at-Tirmidzi : Kematian lebih dekat dari pada hal itu) sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu maka akan disandarkan kepadanya” (HR Ahmad No. 18781 dan at-Tirmidzi No. 2072)
Ini adalah faidah dari mengenal sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga menyelamatkan seseorang dalam kondisi genting. Jika Abdullah bin ‘Ukaim tidak mengenal sunnah Nabi tentu bisa saja ia pun akan memakai jimat . Terlebih lagi tatkala ia dalam kondisi sakit. Sebagian orang tatkala sakit terkadang imannya lemah, sehingga ia mau melakukan apa saja yang penting penyakitnya sembuh. Bahkan jangankan memakai jimat, pergi ke dukun juga nekat.
([7]) Tamimah dari ayat Al Qur’an dan Al Hadits lebih baik ditinggalkan, karena tidak ada dasarnya dari syara’; meskipun sebagian salaf membolehkan akan tetapi pendapat yang lebih kuat bahwa tamimah/jimat dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi hukumnya haram sebagaimana akan datang penjelasannya.
([8]) Ruqyah: penyembuhan suatu penyakit dengan pembacaan ayat ayat suci Al Qur’an, atau doa-doa.
Syarat dibolehkannya ruqyah sebagaimana perkataan Ibnu Hajar rahimahullah :
وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِ الرُّقَى عِنْدَ اجْتِمَاعِ ثَلَاثَةِ شُرُوطٍ أَنْ يَكُونَ بِكَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَبِاللِّسَانِ الْعَرَبِيِّ أَوْ بِمَا يُعْرَفُ مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِهِ وَأَنْ يُعْتَقَدَ أَنَّ الرُّقْيَةَ لَا تُؤَثِّرُ بِذَاتِهَا بَلْ بِذَاتِ اللَّهِ تَعَالَى
“Para ulama telah bersepakat bahwa ruqyah itu diperbolehkan jika memenuhi 3 persyaratan :
- Ruqyah dengan firman Allah atau dengan nama-nama dan sifat-sifatNya,
- Ruqyah dengan bahasa Arab atau jika selain bahasa Arab maka harus dipahami maknanya
- Hendaknya meyakini bahwasanya ruqyah tidaklah memberi pengaruh dengan sendirinya akan tetapi kembali kepada Allah” (Fathul Baari 10/195)
Sebagian ulama keliru dan berpendapat bahwa ruqyah dengan apa saja -selama bermanfaat- adalah diperbolehkan. Dan hal ini telah dibantah oleh Ibnu Hajar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan “Tidak mengapa ruqyah selama tidak ada kesyirikan padanya”. Dan jika ruqyah tersebut dengan bahasa yang tidak dipahami maka dikhawatirkan mengandung atau bisa menjerumuskan dalam kesyirikan (Lihat Fathul Baari 10/195)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وَعَامَّةُ مَا بِأَيْدِي النَّاسِ مِنْ الْعَزَائِمِ وَالطَّلَاسِمِ وَالرُّقَى الَّتِي لَا تُفْقَهُ بِالْعَرَبِيَّةِ فِيهَا مَا هُوَ شِرْكٌ بِالْجِنِّ، وَلِهَذَا نَهَى عُلَمَاءُ الْمُسْلِمِينَ عَنْ الرُّقَى الَّتِي لَا يُفْقَهُ مَعْنَاهَا؛ لِأَنَّهَا مَظِنَّةُ الشِّرْكِ وَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ الرَّاقِي أَنَّهَا شِرْكٌ
“Dan jimat-jimat, rajah-rajah, dan ruqyah-ruqyah yang ada di tangan masyarakat yang tidak dipahami maknanya, ada padanya kesyirikan kepada jin. Karenanya para ulama muslimin telah melarang ruqyah yang tidak dipahami maknanya, karena diduga mengandung kesyirikan meskipun yang meruqyah tidak mengetahui bahwasanya itu adalah kesyirikan” (Majmuu’ al-Fataawaa 19/13)
Adapun cara meruqyah yang syar’i adalah dengan cara-cara berikut :
Pertama : النَفَثُ (dengan tiupan disertai sedikit sekali air liur, dan ada yang mengatakan tanpa air liur sama sekali). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الرُّؤْيَا (الصَّالِحَةُ) مِنَ اللَّهِ، وَالحُلْمُ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَنْفِثْ حِينَ يَسْتَيْقِظُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ (وفي رواية : فَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ)، وَيَتَعَوَّذْ مِنْ شَرِّهَا، فَإِنَّهَا لاَ تَضُرُّهُ
“Mimpi yang baik dari Allah dan mimpi yang buruk dari syaitan. Jika salah seorang dari kalian melihat mimpi yang ia tidak sukai maka hendaknya ia meniupkan (nafats) tatkala terjaga sebanyak tiga kali dan berlindung dari keburukannya (Dalam riwayat yang lain : “Hendaknya ia meludah ke arah kirinya), karena sesungguhnya hal itu tidak akan memudorotkannya” (HR Al-Bukhari 3292 dan 5747)
Kedua : التَّفْلُ (dengan meniup disertai air liur namun tidak sampai pada derajat meludah)
Sebagaimana kisah Abu Sa’id al-Khudri, dimana disebutkan :
فَجَعَلَ يَتْفُلُ وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ حَتَّى لَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ
“Maka sahabat (yang meruqyah) meludah dan membaca “Alhamdulillahi Robbil ‘Aaalamiin” hingga seakan-akan orang tersebut baru saja lepas dari ikatan” (HR Al-Bukhari No. 5749)
Dalam riwayat yang lain :
فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ، فَبَرَأَ
“Maka sahabatpun membacakan surat al-Fatihah, ia mengumpulkan ludahnya lalu meludah. Maka sembuhlah orang tersebut” (HR al-Bukhari No. 5736 dan Muslim No. 2201)
Ibnu Hajar berkata :
أَنَّ النَّفْثَ دُونَ التَّفْلِ وَإِذَا جَازَ التَّفْلُ جَازَ النَّفْثُ بِطَرِيقِ الْأَوْلَى
“Sesungguhnya an-nafats dibawah at-taflu, dan jika at-taflu diperbolehkan maka an-nafats tentu lebih utama untuk dibolehkan” (Fathul Baari 10/210)
Ketiga : Meruqyah tanpa tiupan sama sekali
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ إِذَا أَتَى مَرِيضًا أَوْ أُتِيَ بِهِ، قَالَ: «أَذْهِبِ البَاسَ رَبَّ النَّاسِ، اشْفِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا»
Dari Aisyah radhiallahu ‘anhaa bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika menjenguk orang sakit atau didatangkan orang sakit kepada beliu maka beliau berkata, “Hilangkanlah penyakit ini wahai Penguasa manusia, sembuhkanlah sesungguhnya Engkau Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak meninggalkan sakit sedikitpun” (HR Al-Bukhari No. 5675 dan Muslim No. 2191)
عَنْ عَبْدِ العَزِيزِ، قَالَ: دَخَلْتُ أَنَا وَثَابِتٌ عَلَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، فَقَالَ ثَابِتٌ: يَا أَبَا حَمْزَةَ، اشْتَكَيْتُ، فَقَالَ أَنَسٌ: أَلاَ أَرْقِيكَ بِرُقْيَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: بَلَى، قَالَ: «اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ، مُذْهِبَ البَاسِ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لاَ شَافِيَ إِلَّا أَنْتَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا»
Dari Abdul Aziz ia berkata, “Aku dan Tsabit menemui Anas bin Malik. Maka Tsabit berkata, “Wahai Abu Hamzah (kunyah Anas bin Malik -pen) aku sakit. Maka Anas berkata, “Maukah aku meruqyahmu dengan ruqyahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Tsabit berkata, “Tentu”. Anas berkata, “Wahai penguasa manusia, Yang menghilangkan penyakit, sembuhkanlah sesungguhnya Engkau Maha menyembuhkan, dengan kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit” (HR al-Bukhari No. 5742)
Keempat : Mencampurkan sedikit tanah dengan air liur
عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ لِلْمَرِيضِ: «بِسْمِ اللَّهِ، تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيقَةِ بَعْضِنَا، يُشْفَى سَقِيمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا»
Dari Aisyah radhiallahu ‘anhaa bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada orang yang sakit, “Dengan nama Allah, tanah bumi kami, dengan liur sebagian kami, disembuhkan orang yang sakit diantara kami, dengan izin Robb kami” (HR Al-Bukhari No. 5745 dan Muslim No. 2194)
An-Nawawi berkata :
وَمَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّهُ يَأْخُذُ مِنْ رِيقِ نَفْسِهِ عَلَى أُصْبُعِهِ السَّبَّابَةِ ثُمَّ يَضَعُهَا عَلَى التُّرَابِ فَيَعْلَقُ بِهَا مِنْهُ شَيْءٌ فَيَمْسَحُ بِهِ عَلَى الْمَوْضِعِ الْجَرِيحِ أَوِ الْعَلِيلِ وَيَقُولُ هَذَا الْكَلَامَ فِي حَالِ الْمَسْحِ
“Makna hadits ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil air liurnya dengan jari telunjuknya lalu beliau meletakkan telunjuknya di tanah, kemudian sebagian tanah menempel pada jarinya lalu beliau mengusapkannya pada lokasi luka atau daerah sakitnya, dan beliau mengucapkan doa ini tatkala sedang mengusap” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/184)
Kelima : Mengusapkan tangan ke tubuh
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ الثَّقَفِيِّ، أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعًا يَجِدُهُ فِي جَسَدِهِ مُنْذُ أَسْلَمَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ، وَقُلْ بِاسْمِ اللهِ ثَلَاثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ»
Dari Utsman bin Abil ‘Aash Ats-Tsaqofi bahwasanya ia mengeluhkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam rasa sakit yang ia rasakan di tubuhnya semenjak ia masuk Islam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Letakkanlah tanganmu di bagian tubuhmu yang kau rasakan sakit, lalu bacalah bismillah tiga kali dan ucapkanlah sebanyak tujuh kali, “Aku berlindung kepada Allah dengan kekuasaanNya dari keburukan yang aku rasakan dan yang aku takutkan” (HR Muslim No. 2202)
Keenam : Ruqyah dengan membaca lalu meniupkannya ke air, setelah itu airnya diminumkan kepada yang sakit, atau diusapkan kepada bagian tubuhnya yang sakit, atau dimandikan dengan air tersebut.
Dari Ali bin Abi Tholib bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang sholat lalu beliau disengat kalajengking. Maka beliau berkata :
لَعَنَ اللهُ الْعَقْرَبَ لاَ تَدَعُ مُصَلِّيًا وَلاَ غَيْرَهُ. ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ وَمِلْحٍ وَجَعَلَ يَمْسَحُ عَلَيْهَا وَيَقْرَأُ بـ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ) و(قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ) و(قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ)
“Allah melaknat kalajengking, kalajengking tidak meninggalkan gangguannya kepada orang yang sedang sholat dan tidak juga kepada lainnya”. Lalu Nabi meminta air dan garam kemudian Nabi mengusap dengan air tersebut dan membaca surat al-Kafirun, surat al-Falaq, dan surat an-Naas” (HR At-Thabrani dalam al-Mu’jam as-Shogir No. 830 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam As-Shahihah No. 548)
عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ عَائِشَةَ «أَنَّهَا كَانَتْ لَا تَرَى بَأْسًا أَنْ يُعَوَّذَ فِي الْمَاءِ ثُمَّ يُصَبَّ عَلَى الْمَرِيضِ»
Dari Abu Ma’syar dari Aisyah bahwasanya Aisyah memandang tidak mengapa dibacakan di air lalu air tersebut diguyurkan ke orang yang sakit (Mushonnaf Ibni Abi Syaibah No. 23509)
Demikian juga para ulama membolehkan minum dengan air yang telah dibacakan ruqyah, diantaranya Imam Ahmad (lihat al-Aadaab asy-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/456) dan Ibnul Qoyyim (lihat Zaadul Ma’aad 4/178)
Ketujuh : Menuliskan sebagian ayat al-Qur’an lalu menghapusnya dengan air kemudian meminum air tersebut atau mandi dengan air tersebut
Metode seperti ini dibolehkan oleh banyak ulama, diantaranya Mujahid, Abu Qilabah, Ahmad bin Hanbal, al-Qodhi ‘Iyaadh, Ibnu Taimiyyah (Majmu’ al-Fataawa 12/599), dan Ibnul Qoyyim (Zaadul Ma’aad 4/170, 356)
Namun metode ini dibenci oleh Ibrahim an-Nakho’i (lihat Mushonnaf Ibni Abi Syaibah 5/40 No. 23514), Ibnu Sirin, dan Ibnul ‘Arobi dimana beliau berkata : وَهِيَ بِدْعَةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ “Ini adalah bid’ah dari syaitan” (‘Aridotul Ahwadzi 8/222) karena metode ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak seorangpun dari sahabat yang melakukannya. Adapun nukilan bahwa Ibnu ‘Abbas membolehkannya maka sanadnya tidak shahih dari beliau (lihat Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah sebagaimana dimuat dalam Majallah al-Buhuuts al-Islaamiyah 21/47)
([9]) Para ulama sepakat apabila jimat tersebut ternyata isinya adalah ayat-ayat al-Qur’an akan tetapi dicampur dengan rajah-rajah (angka-angka, gambar-gambar dan lambang-lambang tertentu) atau dengan sesuatu yang tidak dimengerti maknanya, maka ini dilarang dan merupakan kesyirikan.
Namun jika jimat tersebut ternyata isinya murni hanya dari al-Qur’an atau doa-doa dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka terdapat khilaf di kalangan para salaf akan kebolehannya.
Sebagian mereka membolehkan menjadikannya sebagai jimat. Diantaranya Aisyah radhiallahu ‘anhaa, Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, dan dari kalangan tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, Ibnu Sirin dan ‘Athoo’, dan dari kalangan para ulama adalah al-Imam Malik (lihat Tamhiid karya Ibni ‘Abdilbarr 17/161 dan al-Bayaan wa at-Tahshiil karya Ibnu Ar-Rusyd 1/439), dan ini adalah salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad, ini juga pendapat hanafiyah (lihat Hasyiah Ibni ‘Abidin 6/363), ini juga pendapat syafi’iyyah (lihat al-Majmu’ karya an-Nawawi 9/74), ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah (lihat Majmuu’ al-Fataawa 19/64-65), Ibnul Qoyyim (lihat Zaadul Ma’aad 4/212,358), dan Ibnu Hajar (lihat Fathul Baari 6/142).
Sebagiannya lagi mengharamkannya. Diantaranya dari kalangan para sahabat : Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan ini adalah dzohir pendapat Hudzaifah bin al-Yamaan, Uqbah bin ‘Aamir, Abdullah bi ‘Ukaim radhiallahu ‘anhum. Dari kalangan tabi’in diantaranya Ibrahim An-Nakho’i, dan ini juga riwayat dari al-Imam Ahmad dan yang dipilih oleh banyak sahabatnya, dan juga Ibnul ‘Aroby (lihat ‘Aaridotul Ahwadzi 8/222)
Adapun dalil-dalil para ulama yang tidak membolehkan diantaranya :
Pertama : Keumuman hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang jimat dan tidak ada dalil yang mengkhususkan keumuman tersebut. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
(Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka ia telah melakukan kesyirikan),
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللهُ لَهُ
(Barangsiapa yang menggunakan jimat maka Allah tidak akan menyempurnakan urusannya)
Kedua : Kalau memang disyariatkan dan bermanfaat bagi umat tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjelaskannya atau akan mencontohkannya. Padahal begitu banyak sekali doa-doa dan dzikir-dzikir yang Nabi ajarkan, akan tetapi semuanya dengan dilafalkan. Tidak ada satu haditspun yang menunjukkan Nabi pernah menyuruh untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an sebagai pengganti doa yang dilafalkan. Ibnul ‘Arobi berkata
وَتَعْلِيْقُ الْقُرآنِ لَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ وَإِنَّمَا السُّنَّةُ فِيْهِ الذِّكْرُ دُوْنَ التَّعْلِيْقِ
“Dan menggantungkan al-Qur’an bukanlah sunnah Nabi, akan tetapi sunnahnya adalah dengan berdzikir (melafalkan) dan bukan menggantungkannya” (‘Aaridhotul Ahwadzi 8/222)
Ketiga : Sad ad-Dzari’ah (menutup celah-celah) yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan.
- Jika seandainya jimat dengan al-Qur’an boleh maka akan menjadi rancu dan samar antara jimat yang dibolehkan dengan jimat yang tidak dibolehkan. Apalagi banyak orang yang menulis jimat dengan ayat-ayat al-Qur’an tapi dengan cara-cara yang salah, seperti mencampurkannya dengan rajah-rajah atau gambar-gambar, atau menulis ayat-ayatnya dengan sepotong-sepotong atau dengan huruf-huruf yang dipisah-pisah atau sebagian ayat dirubah sebagian lafalnya. Banyak orang awam yang mengganggap jimat-jimat seperti itu boleh karena mengandung ayat al-Qur’an. Berkata al-Hafiz al-Hakami rahimahullah, “Dan tidak diragukan bahwasanya melarang menggunakan jimat dari al-Qur’an lebih menutup celah yang mengantarkan kepada aqidah yang haram. Terutama di zaman kita ini. Jika para sahabat dan para tabi’in benci dengan jimat dari al-Qur’an di zaman mereka yang mulia dan suci sementara iman di hati mereka lebih kokoh dari gunung, maka dibencinya jimat dari al-Qur’an di zaman kita -yang penuh dengan fitnah dan ujian- lebih utama dan lebih layak. Terlebih lagi mereka (para pengguna jimat) telah menjadikan keringanan ini (bolehnya jimat dengan al-Qur’an) sebagai sarana dan wasilah untuk menggunakan jimat yang murni haram. Diantaranya mereka menulis di jimat mereka sebuah ayat atau surat, atau mereka menulis bismillah atau yang semisalnya, setelah itu di bawahnya mereka menulis rajah-rajah syaitan yang tidak dipahami kecuali orang yang menelaah buku-buku mereka. Diantaranya mereka memalingkan hati orang-orang awam dari bertawakkal kepada Allah menuju ketergantungan kepada apa yang mereka tuliskan. Bahkan mayoritas mereka membohongi/memprovokasi orang-orang awam -padahal tidak ada permasalahan sama sekali-. Maka datanglah salah seorang awam kepada penjual jimat -dan sang penjual jimat sungguh mengetahui bagaimana orang awam ini sangat menyukai jimat- maka penjual jimat ini berkata, “Sesungguhnya engkau terkena musibah yang menyangkut keluargamu atau hartamu atau menimpa dirimu, musibahnya demikian dan demikian”. Atau ia berkata, “Sesungguhnya ada jin yang menyertaimu…”, atau yang semisalnya. Ia menyebutkan perkara-perkara tertentu dan muqoddimah-mudqoddimah yang merupakan was-was syaitan seraya menggambarkan seakan-akan ia adalah orang yang firasatnya benar, sangat kasihan sama orang awam tersebut, sangat ingin kebaikan bagi orang awam tersebut. Maka jika orang awam yang bodoh dan dungu ini hatinya telah dipenuni rasa takut karena apa yang disebutkan tentangnya, maka tatkala itu hatinya berpaling dari Rabbnya kemudian hati dan jasadnya fokus menuju kepada sang penipu tersebut, bersandar kepadanya dan berpatokan kepadanya bukan kepada Allah. Lalu orang awam ini bertanya, “Kalau begitu apakah solusinya terhadap apa yang telah kau sebutkan, bagaimana cara menolaknya/mengatasinya?”. Seakan-akan di tangan penjual (jimat) yang penipu tersebutlah kemanfaatan dan kemudorotan. Maka tatkala itu harapan sang penjual jimatpun terwujudkan, rasa tamaknya pun membesar agar orang awam yang bodoh tadi memberikan uang sebanyak-banyaknya kepadanya. Maka iapun berkata kepada orang awam yang bodoh itu, “Jika engkau memberikan kepadaku uang senilai demikian dan demikian, maka aku akan menuliskan untukmu suatu “penangkal” (yaitu jimat) yang ditulis di kertas yang panjangnya sekian dan lebarnya sekian”, seraya memoles dan memperindah rayuannya. “Nah jimat ini hendaknya engkau pakai untuk menangkal penyakit ini dan itu”. Lihatlah, apakah menurut Anda -disertai keyakinan yang seperti ini- masih termasuk syirik kecil?. Bahkan ini merupakan bentuk penyembahan terhadap selain Allah, bentuk bertawakkal kepada selain Alah, dan bersadar kepada selain Allah menuju kepada perbuatan makhluk…Lalu penjual jimat pun menulis sedikit al-Qur’an di rajah-rajah yang telah ia tuliskan tadi. Demi Allah tidak ada musuh-musuh Islam yang menghina al-Qur’an seperti penghinaan yang dilakukan oleh mereka (para penjual jimat) yang mengaku Islam. Demi Allah tidaklah turun al-Qur’an kecuali untuk dibaca dan diamalkan, menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya, dan semuanya dari Robb kita. Sementara mereka -para penjual jimat- telah menggagalkan ini semua dan telah membuang ini semua di belakang mereka, mereka tidaklah menjaga al-Qur’an melainkan hanyalah tulisannya” (Ma’aarijul Qobuul 2/510-511).
Sebagian dai mendapati jimat yang tulisannya ayat kursy tapi ditulis dengan terbalik, dan disela-selanya terdapat nama-nama jin/syaitan. Demikian juga sebagian ayat-ayat yang ada pada jimat ternyata ditulis dengan darah hewan atau dengan darah haid.
Salah seorang teman penulis pernah berdakwah di Afrika, ternyata beliau mendapati banyak kaum muslimin yang memakai jimat. Beliaupun mengumpulkan mereka dan mengatakan, “Siapa yang membuka jimatnya kemudian di dalamnya memang benar-benar murni dari ayat al-Qur’an maka dia akan diberi hadiah”. Merekapun bersemangat untuk membuka jimat mereka, ternyata semua jimat mereka bermasalah. Ada yang ayat-ayatnya tertulis terbalik, ada yang ditulis di kulit bangkai, ada yang ditulis dengan darah, dan ada yang ditambahi dengan rajah-rajah.
Dikisahkan juga ada seorang da’i yang pergi ke kampung lalu ada sebagian orang yang berkata kepadanya bahwa mereka memiliki jimat yang sangat bermanfaat yang bisa menangkal gangguan kalajengking. Dan mereka telah memakai jimat tersebut selama bertahun-tahun. Setelah bertahun-tahun ada yang mengecek isi jimat tersebut ternyata isinya adalah kata-kata yang mengejek mereka. Diantaranya, “Aku telah mengambil uang kalian”. Rupanya penjual jimat tersebut telah membohongi mereka dengan menjual jimat yang tidak ada khasiatnya sama sekali (kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdurozaq di Mesjid Nabawi tatkala menjelaskan tentang bahaya jimat).
- Demikian juga kita akhirnya sama sekali tidak bisa mengingkari orang yang pakai jimat, karena jimat yang hanya berisikan al-Quran dibandingkan dengan jimat yang syirik hampir tidak ada bedanya dari bentuk luarnya, apalagi jimat-jimat tersebut pada umumnya tertutup.
- Demikian juga bisa jadi ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan jimat tersebut dipakai oleh anak-anak dan tentunya susah untuk mengatur mereka agar tidak mengotori ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan jimat tersebut.
Adapun dalil-dalil para ulama yang membolehkan diantaranya :
Pertama : Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barang siapa yang menggantungkan sesuatu maka ia akan disandarkan kepadanya” (HR Ahmad No. 18781, hadits hasan lighoirihi)
Jika seseorang menggantungkan al-Qur’an sebagai jimat maka sesungguhnya ia telah disandarkan kepada al-Qur’an, dan al-Qur’an adalah firman Allah.
Komentar : Memang benar apabila jimat tersebut dari al-Qur’an maka yang menjadi sandaran adalah Allah, akan tetapi cara mengobati menggunakan al-Qur’an harus berdasarkan cara yang telah dijelaskan oleh dalil. Sedangkan cara berobat dengan al-Qur’an yang mempunyai dalil adalah dengan dibaca yaitu dengan ruqyah. Kalau memang dengan menggantungkan sudah cukup maka kita tidak perlu lagi membaca doa dan dzikir pagi petang tetapi cukup kita tempelkan di jimat kemudian kita bawa setiap pagi dan petang. Demikian juga kita tidak perlu membaca doa dan dzikir sebelum tidur, tapi cukup dengan menggantungkan ayat al-kursy di kamar.
Kedua : Berdasarkan keumuman firman Allah
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami turunkan dari Al-Quran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS Al-Israa’ : 82)
Al-Qur’an adalah obat, dan diantara cara menjadikan al-Qur’an sebagai obat adalah dengan menggantungkannya sebagai jimat.
Komentar : Benar bahwa al-Qur’an adalah obat tetapi caranya adalah dengan meruqyah yaitu dengan membacanya.
Ketiga : Asal dalam pengobatan dan ruqyah adalah boleh selama tidak ada kesyirikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ، قَالَ: كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ: «اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ»
Dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i berkata, “Kami dahulu meruqyah di masa jahiliyah, maka kami berkata : “Wahai Rasulullah bagaimana menurut Anda akan hal itu?”. Nabi berkata, “Tampakkanlah kepadaku bagaimana ruqyah kalian, sesungguhnya tidak mengapa meruqyah selama tidak ada kesyirikan kepadanya” (HR Muslim No. 2200)
Penulisan jimat dengan ayat-ayat al-Qur’an juga merupakan salah satu bentuk meruqyah dengan tulisan. Al-Baihaqi rahimahullah berkata :
إِنْ رَقَى بِمَا لَا يُعْرَفُ أَوْ عَلَى مَا كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ إِضَافَةِ الْعَافِيَةِ إِلَى الرُّقَى لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ رَقَى بِكِتَابِ اللهِ أَوْ بِمَا يَعْرِفُ مِنْ ذِكْرِ اللهِ مُتَبَرِّكًا بِهِ وَهُوَ يَرَى نُزُولَ الشِّفَاءِ مِنَ اللهِ تَعَالَى فَلَا بَأْسَ بِهِ
“Jika dia meruqyah dengan sesuatu yang yang tidak diketahui (maknanya) atau dengan apa yang diyakini oleh ahlul jahiliyah dimana mereka menyandarkan kesembuhan kepada ruqyah maka hal ini tidak boleh. Dan jika dia meruqyah dengan al-Qur’an atau dengan sesuatu yang diketahui seperti berdzikir kepada Allah sambil bertabarruk dengan al-Qur’an sementara dia meyakini bahwa kesembuhan dari Allah maka tidak mengapa” (As-Sunan al-Kubro 5/590 No. 19612 dan dinuqil juga oleh An-Nawawi dalam Al-Majmuu’ 9/67)
Jika ruqyah syar’iyah dengan al-Qur’an dibolehkan maka jimat dengan al-Qur’an juga dibolehkan dengan diqiaskan kepada ruqyah.
Komentar : Jimat tidak bisa diqiaskan dengan ruqyah karena beberapa alasan :
- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada para sahabat tentang cara meruqyah mereka, adapun jimat maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak mempertanyakan tentangnya
- Ruqyah syar’iyah sangat jelas manfaatnya bahkan bisa langsung dirasakan, seperti untuk mengusir syaitan atau mengobati orang yang kerasukan. Terlebih lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang menyuruh agar membaca al-Qur’an di rumah untuk mengusir syaitan. Adapun jimat dengan al-Qur’an maka tidak ada manfaatnya yang jelas. Padahal Nabi lebih menyukai kemudahan bagi umatnya. Jika memang jimat dengan al-Qur’an itu boleh tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan mengarahkan kepada jimat.
- Karenanya Nabi membacakan doa untuk al-Hasan dan al-Husain. Padahal lebih mudah jika dibuatkan jimat bagi al-Hasan dan al-Husain lalu digantungkan di leher mereka berdua, sehingga bisa selalu menjaga mereka berdua dan tidak perlu dibaca doanya berulang-ulang.
Kesimpulannya adalah pendapat yang melarang jimat secara mutlak lebih hati-hati dan lebih selamat. Namun menggunakan jimat dengan al-Qur’an tidaklah sampai pada derajat syirik, karena yang menjadi tempat bergantung adalah Allah dan yang dijadikan sarana adalah firman Allah.
([10]) Sahabat Abdullah bin Mas’ud antara lain: Al Qamah, Al Aswad, Abu Wail, Al Harits bin Suwaid, ‘Ubaidah As Salmani, Masruq, Ar Rabi’ bin Khaitsam, Suwaid bin ghaflah. Mereka ini adalah tokoh generasi tabiin.
Bersambung Insya Allah…