Asuransi Dalam Timbangan Syariat
Di antara transaksi yang telah makruf dan tersebar adalah asuransi. Yang dikenal di dalam bahasa Arab dengan التأمين. Transaksi ini telah lama dikenal di dunia peradaban manusia. Dikatakan dalam sejarah, asuransi telah ada pada abad ke 14 masehi. Dan yang pertama kali dikenal adalah asuransi yang berkaitan dengan laut, yakni asuransi barang yang diangkat melalui jalur laut. [1]
Dunia asuransi ini terus berkembang sampai saat ini hingga digunakan sebagai jaminan untuk segala hal. Seperti menanggung risiko yang bersifat finansial atau keuangan, kecelakaan, menjamin kesehatan, kehilangan harta benda, dan lain sebagainya.
Demikianlah hal yang terlintas jika disebutkan asuransi. Berangkat dari hal ini, ada berbagai macam jenis asuransi. Seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, properti, elektronik, dan lainnya. Menjadi sesuatu yang menjamur, lantaran di balik asuransi itu ada keuntungan yang sangat besar bagi penyedia asuransi tersebut.
Perlu diketahui bahwasanya jenis akad asuransi ada yang bentuknya konvensional dan ada yang bentuknya sesuai dengan syariat Islam. Ada yang sifatnya haram dan ada yang sifatnya halal atau mubah. Oleh karena itu, akad asuransi yang ada setidaknya terbagi menjadi dua:
Pertama: Asuransi komersil
Kedua: Asuransi sosial
Keduanya tentu memiliki jenis akad dan hukum yang berbeda.
Asuransi komersil
Adalah asuransi yang umum terjadi saat ini dan tersebar di masyarakat, dalam bentuk yang berbagai macam. Telah disebutkan di atas, di antara macam-macam bentuknya. Yang pada intinya adalah pada akad asuransi komersil ini “menjamin” suatu hal yang belum pasti terjadi dengan membayar iuran tiap bulan atau tahunnya. Dengan membayar iuran, maka seseorang “dijamin” dari hal-hal yang tidak terduga atau tidak diinginkan terjadi.
Jika diperhatikan dengan seksama, ada suatu hal yang janggal pada akad ini. Berikut beberapa kejanggalan dari skema akad asuransi komersil [2],
Pertama, pada asuransi komersil terdapat akad riba yang terselubung. Jika dilihat, pada asuransi komersil ini tidak ubahnya seperti membeli uang dengan uang, baik dengan jumlah uang yang banyak, sedikit atau sama rata, bersamaan dengan adanya waktu tempo yang disepakati. Yang sejatinya pada akad asuransi komersil ini ada riba fadhl dan riba nasi’ah.
Mengingat pada akad ini, perusahaan atau jasa asuransi akan mengambil iuran kepada nasabahnya yang kemudian mengganti dengan jumlah yang tidak sesuai. Bisa lebih banyak atau lebih sedikit, sesuai dengan bentuk musibah atau kecelakaan yang terjadi. Ini adalah akad riba, dan riba telah disepakati akan keharamannya. Jelas hukumnya pada Al-Qur’an dan hadis.
Kedua, bentuk akad asuransi komersil adalah akad yang mengandung unsur perjudian. Mengingat tidak jelasnya hak kedua belah pihak yang harus diperoleh dan kapan dapat diperoleh. Terdapat sebuah kaidah dalam bab muamalah,
كُلُّ مُعَامَلَةٍ دَائِرَة بَيْنَ الغُرْمِ وَالغُنْمِ فَهُوَ المَيْسِرُ
“Setiap akad muamalah yang kerugian dan keuntungannya bersifat spekulasi, maka itu adalah judi.”
Pada asuransi komersil, jelas sekali bahwa keuntungan dan kerugian bentuknya adalah spekulasi dan tidak pasti. Sehingga, hal tersebut tidak ubahnya seperti perjudian. Dan judi hukumnya adalah haram.
Ketiga, akad asuransi komersil adalah akad yang gharar (mengandung unsur ketidakjelasan). Gharar dalam segi bentuk nominal yang perlu dikeluarkan ketika terjadi kecelakaan. Karena sifatnya “belum terjadi”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli seperti ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الحَصَاةِ ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah (jual beli dengan cara melempar kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim)
Keempat, akad asuransi komersil adalah sebagai bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah Ta’ala telah melarang ini di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29)
Dan masih banyak lagi poin-poin yang membuat asuransi komersil menjadi haram hukumnya.
Asuransi sosial
Maksud dari asuransi ini bukanlah riba ataupun gharar. Maksud dari asuransi ini adalah murni sosial dan tolong menolong. Yakni, dengan berkumpulnya suatu masyarakat pada desa atau suatu tempat untuk mengeluarkan iuran, misalnya per bulan 50.000 atau 100.000. Di mana uang itu nantinya akan dikumpulkan kemudian digunakan jika ada yang terkena musibah.
Maka, tidak ada pada bentuk akad ini, kecuali adalah untuk tujuan menolong. Bukan untuk bertujuan mengambil keuntungan. Adapun terkait dengan memberikan upah bagi orang yang mengelolanya, Syekh Bin Baz rahimahullah mengatakan,
وَإِذَا جَعَلُوهُ بِيَدِ إِنْسَانٍ يَعْمَلُ فِيْهِ وَيُنْمِيْهِ وَيَتَّجِرُ فِيْهِ فَلاَ بَأْسَ بِجُزْءٍ مِنْ رِبْحِهِ
“Jika masyarakat menyerahkan kepada seseorang (pengelola) yang ingin bekerja, mengelola, mengembangkan harta tersebut, maka tidak mengapa ia mengambil sedikit keuntungan dari harta itu.” [3]
Tentunya hal itu sebagai bentuk mudharabah (kerja sama), tidak serta merta harta itu diambil dan digunakan sebagai keuntungan bagi pengelola. Dan tentunya akad ini dibangun dalam bentuk ta’awun (tolong menolong dalam kebaikan).
Sehingga, jelaslah antara akad asuransi komersil yang sifatnya mencari keuntungan dengan menempuh jalan yang haram, dengan akad yang sesuai dengan syariat, yaitu asuransi yang sifatnya sosial, bertujuan untuk menolong dan tidak mencari keuntungan pada hal tersebut.
Sebagai penutup, tentunya sebagai seorang muslim harus berhati-hati terkait dengan asuransi-asuransi yang menjamur pada saat ini. Terkadang sebagian orang mengganti penamaan asuransi karena sudah diketahui akan hakikat aslinya.
Di sebagian keadaan, penyebutan asuransi diganti penyebutan namanya dengan istilah “garansi”. Tentu hal ini adalah bentuk pengelabuan bagi konsumen. Setelah diselami, ternyata pada garansi itu dikenai iuran di awal dengan membayar sekian. Tentunya ini adalah asuransi yang terselubung.
Kaidah dalam hal ini yang penting untuk diketahui,
العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لاَ بِالأَسْمَاءِ وَالمَبَانِي
“Yang jadi standar (hukum) adalah hakikat dan makna yang tersirat, bukan dari sekadar penamaan dan kosa kata saja.”
Oleh karena itu, jangan sampai tertipu dengan penamaan-penamaan yang disematkan. Wallahu a’lam.
***
Depok, 17 Sya’ban 1446 H / 16 Februari 2024 M
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel asli: https://muslim.or.id/103744-asuransi-dalam-timbangan-syariat.html