Warisan
KITAB WARISAN
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Definisi Warisan [1]
Al-farai-dh ( اَلْفَرَائِضُ ) adalah bentuk jamak dari faridhah ( فَرِيْضَةٌ ), sedangkan kata faridhah itu sendiri diambil dari kata al-fardhu اَلْفَرْضُ yang maknanya adalah at-taqdiir ( اَلتَّقْدِرُ ), yang berarti ketentuan.
Allah Ta’ala berfirman:
فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” [Al-Baqarah: 237]
Faradhtum yaitu qaddartum (yang telah kamu tentukan).
Adapun fardhu ( اَلْفَرْضُ ) dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.
Ancaman Melanggar Hukum Waris
Adalah bangsa Arab di masa Jahiliyah sebelum datangnya Islam, mereka memberikan warisan kepada kaum laki-laki dan tidak memberikannya kepada kaum wanitanya, dan kepada orang-orang dewasa dan tidak memberikannya kepada anak-anak. Ketika Islam datang (maka) Allah memberikan kepada setiap pemilik hak akan haknya, dan Allah menamakan hak-hak ini sebagai washiyyatan minallaah [2]. (Dan) fariidhatan minallaah (ketetapan dari Allah)[3] kemudian Allah mengakhirinya dengan peringatan keras dan ancaman tegas bagi orang yang menyelisihi syari’at Allah dalam hal warisan.
Allah Ta’ala berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” [An-Nisaa: 13-14]
Yang Diwarisi Dari Harta Orang Yang Meninggal Dunia
Apabila seseorang meninggal dunia, maka hal pertama yang dimulai dari harta peninggalannya (tarikah) adalah untuk membiayai perawatan mayitnya dan penguburannya, kemudian membayar hutang piutangnya, kemudian menunaikan wasiatnya. Apabila terdapat sisa (dari harta peninggalannya), maka dibagikan kepada ahli warisnya berdasarkan firman Allah Ta’ala:
مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“(Yaitu) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya” [An-Nisaa’: 12]
Juga sebagaimana perkataan ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu :
قَضَى رَسُوْلُ اللهِ j بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan (membayar) hutang sebelum (memenuhi) wasiat.” [4]
Sebab-Sebab Menerima Warisan
Sebab-sebab menerima warisan ada tiga:
1. Nasab (Keturunan)
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ
“…Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi)…” [Al-Ahzaab: 6]
2. Wala’ (Memerdekakan Budak)•
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْوَلاَءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ النَّسْبِ.
“Wala’ adalah (pertalian) daging bagaikan (pertalian) daging karena nasab”[5]
3. Pernikahan
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggal-kan oleh isteri-isterimu…” [An-Nisaa’: 12]
Penghalang-Penghalang Menerima Warisan
1. Pembunuhan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
اَلْقَاتِلُ لاَ يَرِثُ.
“Orang yang membunuh tidak memperoleh warisan.” [6]
2. Perbedaan Agama
Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ.
“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak pula mewarisi harta orang Islam.” [7]
3. Perbudakan
Hal ini karena seorang budak serta apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuannya, maka jika kerabatnya mewarisinya niscaya warisan tersebut bagi tuannya bukan yang lainnya.
Ahli Waris Dari Golongan Laki-Laki
Ahli waris dari golongan laki-laki berjumlah sepuluh orang:
1,2. Anak laki-laki (al-ibn) dan cucu dari anak laki-laki (ibnul ibn) ke bawah (selama dari jalur laki-laki).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan un-tuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…” [An-Nisaa: 11]
3,4. Ayah (al-ab) dan kakek (al-jad) ke atas (selama dari jalur laki-laki).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” [An-Nisaa’: 11]
Sedangkan kakek (al-jad) adalah ayah juga, oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا ابْنِ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ.
“Aku putera ‘Abdul Muththalib”
5,6. Saudara laki-laki (al-akh) dan anak laki-lakinya (ibnul akh) walaupun jauh jaraknya.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
“… Dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak…” [An-Nisaa’: 176]
7,8. Saudara laki-laki ayah (al-‘am atau paman) dan anak laki-laki-nya (ibnul ‘am) walaupun berjauhan.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ ِلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
“Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat.” [8]
9. Suami (az-zauj).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu…” [An-Nisaa’: 12]
10. Budak laki-laki yang telah dimerdekakan (al-maulal mu’taq).
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.
“Hak wala’ adalah milik orang yang memerdekakan budaknya.” [9]
Ahli Waris Dari Golongan Wanita
1,2. Anak perempuan (al-bint) dan cucu perempuan dari anak laki-laki (bintul ibn) ke bawah (selama dari jalur laki-laki secara murni).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu…” [An-Nisaa’: 11]
3,4. Ibu (al-umm) dan nenek (al-jaddah).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” [An-Nisaa’: 11]
5. Saudara perempuan (al-ukht).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
“… Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya…” [An-Nisaa: 176]
6. Isteri (az-zaujah).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
“…Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan…” [An-Nisaa: 12]
7. Budak wanita yang telah dimerdekakan (al-maulaah al-mu’-taqah).
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.
“Hak wala’ adalah milik orang yang memerdekakan budaknya.” [10]
Orang-Orang Yang Berhak Menerima Tarikah
Orang yang berhak menerima tarikah ada tiga golongan; (1) dzuu fardhin (ahli waris yang mempunyai bagian pasti/tertentu), (2) ‘ashabah (ahli waris yang tidak mendapatkan bagian tertentu) dan (3) rahim (kerabat).
Sedangkan al-furudhul muqaddarah (bagian yang pasti) dalam Kitabullah ada 6 (enam) macam, yaitu: seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam.
• Setengah
Setengah dari harta warisan adalah bagian untuk lima orang berikut:
1. Suami, apabila isterinya yang meninggal tidak memiliki anak (baik laki-laki maupun perempuan).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggal-kan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak…” [An-Nisaa’: 12]
2. Anak perempuan (al-bint).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ
“…Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta…” [An-Nisaa’: 11]
3. Cucu perempuan dari anak laki-laki (bintul ibn)• karena ia menempati kedudukan anak perempuan secara Ijma’.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata [11], “Mereka (para ulama) bersepakat bahwa cucu-cucu laki-laki dari anak laki-laki (Banul Ibn) dan cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki (Banatul Ibn) menempati kedudukan anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan, yang laki-lakinya seperti (hukum) anak laki-laki dan yang perempuannya seperti (hukum) anak perempuan apabila si mayit tidak memiliki anak dari keturunannya.”
4,5. Saudara perempuan sekandung (ukhtun syaqiqah) dan saudara perempuan seayah (ukhtun li ab).•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ
“… Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya…” [An-Nisaa: 176]
• Seperempat
Seperempat harta warisan adalah bagian untuk dua orang:
1. Suami, apabila isteri yang meninggal mempunyai anak.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
“Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.” [An-Nisaa’: 12]
2. Isteri, apabila suami yang meninggal tidak memiliki anak.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ
“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak…” [An-Nisaa’: 12]
• Seperdelapan
Seperdelapan dari harta warisan adalah bagian hanya untuk satu orang saja, yaitu isteri apabila suami mempunyai anak.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم
“…Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan…” [An-Ni-saa’: 12]
• Dua pertiga
Dua pertiga dari harta warisan adalah bagian untuk empat orang:
1,2. Dua anak perempuan dan dua cucu perempuan dari anak laki-laki.•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ
“…Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan…” [An-Nisaa’: 11]
3,4. Dua saudara perempuan sekandung dan dua saudara perempuan seayah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ
“… Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal…” [An-Nisaa’: 176]
• Sepertiga
Sepertiga dari harta warisan adalah bagian untuk dua orang:
1.Ibu (al-umm) jika tidak mahjub (terhalang dari mendapat bagian).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ
“… Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga…” [An-Nisaa’: 11]
2. Dua orang atau lebih dari saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan.•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن كَانُوا أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
“…Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…” [An-Nisaa: 12]
• Seperenam
Seperenam harta warisan adalah bagian bagi tujuh orang berikut:
1. Ibu, apabila ia bersama anak si mayit atau beberapa ikhwah (saudara) mayit, baik laki-laki maupun perempuan yang berjumlah dua atau lebih.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” [An-Nisaa’: 11]
2. Nenek, ketika yang meninggal dunia tidak memiliki ibu.
Ibnul Mundzir berkata [12], “Mereka (ulama) bersepakat bahwa nenek mendapat bagian seperenam apabila si mayit tidak mempunyai (meninggalkan) ibu.”
3. Seorang dari waladul umm (saudara seibu), baik laki-laki maupun perempuan.•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
“…Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta…” [An-Nisaa’: 12]
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila ia bersama anak perempuan mayit tunggal.
Berdasarkan hadits Abu Qais, ia berkata, “Aku mendengar Huzail bin Syarhabil berkata, ‘Abu Musa ditanya tentang (masalah) bintun (anak perempuan), bintul ibn (cucu perempuan dari anak laki-laki) dan ukhtun (saudara perempuan), maka ia menjawab, ‘Bintun mendapat seperdua dan Ukhtun mendapat seperdua juga. Temuilah Ibnu Mas’ud niscaya ia akan mengikuti (pendapat)ku.’ Lantas Ibnu Mas’ud ditanya (tentang masalah yang sama) dan diberitahukan kepadanya tentang pendapat Abu Musa, lalu ia berkata, ‘Sungguh aku telah sesat (jika berbuat demikian) dan sekali-kali aku tidak termasuk orang yang mendapatkan petunjuk (jika aku mengikuti pendapatnya). Aku akan putuskan seperti apa yang diputuskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bintun mendapatkan seperdua bagian, bintul ibn mendapatkan seperenam menggenapkan dua pertiga dan sisanya adalah bagian ukhtun.’ Kemudian kami mendatangi Abu Musa dan memberitahukan kepadanya apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ia pun berkata, ‘Janganlah kalian bertanya kepada-ku selama orang ‘alim ini (Ibnu Mas’ud) masih (hidup) di tengah-tengah kalian.’”[13]
5. Saudara perempuan seayah, apabila bersama saudara perempuan sekandung, menggenapkan dua pertiga diqiyaskan kepada cucu perempuan dari anak laki-laki dengan anak perem-puan yang tunggal.
6. Ayah bersama dengan anak si mayit.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
“…Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak…” [An-Nisaa’: 11]
7. Kakek, apabila tidak ada ayah.
Ibnul Mundzir berkata [14], “Mereka bersepakat bahwa hukum al-jad (kakek) sama dengan hukum al-ab (ayah).”
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Fiq-hus Sunnah (III/424)
[2]. An-Nisaa’: 12
[3]. QS. An-Nisaa’: 11.
[4]. Ibid, hal 410
• Artinya, dengan memerdekakan tersebut ia mendapat hak wala’nya. Jadi jika budak yang dimerdekakan meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh orang yang memerdekakannya. Dikutip dari Minhaajul Muslim.-pent.
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7157)], Mustadrak al-Hakim (IV/ 341), al-Baihaqi (X/292).
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4436)], [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1672)], Sunan at-Tirmidzi (III/288, no. 2192), Sunan Ibni Majah (II/883, no. 2645)
[7]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (XII/50, no. 6764), Shahiih Muslim (III/ 1233, no. 1614), Sunan at-Tirmidzi (III/286, no. 2189), Sunan Ibni Majah (II/911, no. 2729), Sunan Abi Dawud (VIII/120, no. 2892).
[8]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (VIII/27, no. 4315), Shahiih Muslim (III/ 1400, no. 1776), Sunan at-Tirmidzi (III/117, no. 1738).
[9]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (XII/11, no. 6732), Shahiih Muslim (III/ 1233, no. 1615), Sunan at-Tirmidzi (III/283, no. 2179), dan dengan lafazh yang seperti ini diriwayatkan pula dalam Sunan Abi Dawud (VIII/104, no. 2881), Sunan Ibni Majah (II/915, no. 2740).
[10]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (I/550, no. 456), Shahiih Muslim (II/1141, no. 1504), Sunan Abi Dawud (X/438, no. 3910), Sunan Ibni Majah (II/842, no. 2521)
• Yaitu jika tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.-pent.
[11]. Al-Ijmaa’ (hal. 79).
• Yaitu jika ia menyendiri, tidak ada saudara laki-laki, tidak ada ayah atau tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.-pent.
• Yaitu jika tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.-pent.
• Yaitu jika orang yang meninggal dunia tidak memiliki bapak atau kakek atau anak laki-laki, atau cucu dari anak laki-laki, baik laki-laki atau perempuan.-pent.
[12]. Al-Ijmaa’ (hal. 84)
• Yaitu jika yang meninggal dunia tidak memiliki ayah, kakek, anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki, baik cucu itu laki-laki atau perempuan.-pent.
[13]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1683)], Shahiih al-Bukhari (XII/17, no. 6736), Sunan Abi Dawud (VIII/97, no. 2873), Sunan at-Tirmidzi (III/285, no. 2173), dan kalimat yang terakhir tidak terdapat dalam riwayat keduanya (Abu Da-wud dan at-Tirmidzi)
[14]. Al-Ijma’ (84)
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/967-kitab-warisan.html