Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 2)
Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezaliman
Pengertian zalim
Zalim secara bahasa adalah meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempatnya secara melampaui batas. [1]
Di dalam kitab ‘Umdatul Khuffadz (3: 13) disebutkan, “(Zalim adalah) meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempat yang khusus baginya, baik dengan mengurangi atau menambah, baik dengan melampaui waktu atau tempatnya.”
Adapun definisi zalim menurut syariat adalah melakukan perkara yang dilarang atau meninggalkan kewajiban. Semua yang melampaui batasan syariat adalah kezaliman yang terlarang, baik dengan menambah ataupun mengurangi. [2]
Kezaliman dalam muamalah
Syariat ilahiyah sepakat tentang wajibnya adil dalam segala sesuatu dan atas semua orang; dan haramnya kezaliman dalam segala sesuatu dan atas semua orang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan bersama mereka Al-Kitab dan al-mizan (neraca keadilan) untuk menegakkan keadilan dalam memenuhi hak-hak-Nya dan juga hak-hak hamba-Nya. [3]
Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Untuk menguatkan wajibnya berbuat adil dan haramnya perbuatan zalim, Allah Ta’ala mengharamkan kezaliman untuk Diri-Nya terlebih dulu, kemudian menjadikannya haram di antara manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا
“Waha hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577)
Maka kezaliman itu diharamkan atas semua perkara, sebagaimana keadilan itu diwajibkan atas semua perkara. [4] Tidak halal atas seorang pun untuk menzalimi orang lain, baik muslim ataupun kafir. [5] Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8)
Hal ini karena kezaliman adalah asas semua kerusakan, sedangkan keadilan adalah asas semua kebaikan dan keberuntungan. Dengan keadilan, terwujudlah maslahat bagi hamba, baik di kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga manusia tidak mungkin bisa lepas keadilan. [6] Selain itu, keadilan adalah kewajiban dan ketaatan yang paling wajib dan paling ditekankan. [7]
Karena transaksi muamalah dan jual beli merupakan celah terjadinya kezaliman di antara manusia dan memakan harta orang lain dengan batil, maka mencegah dan mengharamkan kezaliman merupakan salah satu tujuan syariat yang paling penting dalam bab muamalah. Dan sebaliknya, mewujudkan keadilan merupakan salah satu kaidah syariat yang paling dan paling penting agung dalam bab muamalah. [8]
Dalil Al-Qur’an
Terdapat banyak dalil dari syariat yang memerintahkan berbuat adil, melarang berbuat zalim, dan melarang memakan harta orang lain secara batil. Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling rida) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29)
قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ
“Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak, karena semua yang Allah larang itu kembali pada kezaliman. [9]
Dalil As-Sunah
Adapun dalil dari As-Sunah, dalil-dalil yang menunjukkan haramnya kezaliman dalam muamalah juga sangat banyak. Di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (tidak boleh dilanggar) di antara kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Bukhari no. 67 dan Muslim no. 1679)
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟
“Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu buah itu terkena musibah (kerusakan), maka tidak halal bagimu mengambil darinya sesuatu. Dengan alasan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim no. 1554)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ
“Setiap muslim itu haram atas muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564)
Dalil ijmak
Di antara dalil wajibnya mencegah kezaliman dan wajibnya mewujudkan (menegakkan) keadilan adalah ijmak ulama tentang haramnya mengambil harta orang lain atas dasar kezaliman dan permusuhan. [10]
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, semua bentuk yang dilarang dalam transaksi muamalah, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, pada hakikatnya adalah untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman. [11] Contohnya, syariat mengharamkan riba dan maisir (perjudian), karena mengandung kezaliman dan memakan harta orang lain secara batil. Demikian pula, syariat banyak melarang bentuk jual beli tertentu, karena mengandung kezaliman, contohnya: menjual di atas jualan saudaranya, ghabn (manipulasi harga, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah menurut standar harga pasar), ghisy (penipuan), dan bentuk jual beli lainnya. [12]
Contoh penerapan dalam transaksi muamalah
Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur kezaliman, baik zalim terhadap individu tertentu atau masyarakat secara umum. [13]
Contoh pertama, jual beli barang yang diharamkan oleh syariat. Misalnya, jual beli khamr, babi atau yang mengandung babi, jual beli narkoba, dan jual beli rokok.
Contoh kedua, jual beli barang secara terpaksa. Karena di antara syarat sah jual beli adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual dan pembeli, harus saling rida ketika melakukan akad, tidak boleh ada unsur keterpaksaan. Hal ini berdasarkan surah An-Nisa’ ayat 29 yang telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, terdapat beberapa bentuk jual beli terpaksa yang diperbolehkan. Misalnya, seorang hakim (qadhi) yang memerintahkan orang yang jatuh pailit untuk menjual asetnya dalam rangka melunasi utang-utangnya. Atau pemerintah boleh memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya yang akan digunakan untuk proyek fasilitas umum, seperti jalan raya, rumah sakit, atau yang lainnya.
Contoh ketiga, jual beli yang mengandung unsur kecurangan (ghisy). Misalnya, dengan mengurangi timbangan atau takaran; penjual menyembunyikan cacat (aib) barang yang dijual; dan penjual memalsukan merk produk (menjual barang tiruan atau melanggar hak cipta).
Contoh keempat, ihtikar (menimbun barang). Bentuknya, seseorang membeli bahan-bahan pokok dari distributor (pemasok), kemudian ditimbun sampai barang tersebut menjadi langka pasaran. Ketika barang menjadi langka, tentu harga barang tersebut akan naik sangat tinggi, dan ketika itulah mereka menjualnya. Dengan demikian, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jelaslah perbuatan ini menzalimi masyarakat banyak karena menyebabkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ
“Ihtikar tidaklah dilakukan kecuali seorang pendosa.” (HR. Muslim no. 1605)
Contoh kelima, praktek korupsi. Korupsi akan menzalimi orang banyak. Misalnya, korupsi pada objek-objek vital seperti jalan dan jembatan, sehingga kualitas pekerjaan tidak baik dan tidak memenuhi standar karena anggaran yang dikorupsi.
[Bersambung]
***
@16 Jumadil akhir 1446/ 18 Desember 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 641; Lisanul ‘Arab, 12: 373.
[2] Lihat Mufradat Alfaz Al-Qur’an, hal. 537; Adz-Dzari’ah ila Makaarim Asy-Syari’ah, hal. 357; Tahdzib Al-Asma’ Al-Lughat, 3: 8; Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157; Thariq Al-Hijratain, hal. 333.
[3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 263.
[4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 30: 237-240.
[5] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 166; Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 36.
[6] Lihat Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 255; Al-Fawaid, hal. 253; Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafati As-Sa’di, 5: 293.
[7] Lihat Bada’i At-Tafsir Al-Jami’ li Tafsir Ibnil Qayyim, 4: 391. Dikutip dari Al-Jawaab Al-Kahfi, hal. 190.
[8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 469; Ahkamul Qur’an li Ibnil ‘Arabi, 1: 97; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 3: 48.
[9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157.
[10] Lihat Maraatib Al-Ijma’, hal. 67.
[11] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 126-127, 165; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283, 28: 385, 18: 157.
[12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283; Tafsir Al-Manar, 2: 196.
[13] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab II (Harta Haram Hasil Kezaliman); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.
Artikel asli: https://muslim.or.id/102112-prinsip-prinsip-memahami-halal-haram-dalam-transaksi-muamalah-bag-2.html