Beranda | Artikel
Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 4)
Minggu, 24 November 2024

Masih dalam pembahasan terkait dengan sewa menyewa benda, aset, atau yang berkaitan dengan properti. Hal ini tentunya diperbolehkan di dalam Islam, kendati ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

وَهُوَ أَنَّ المُسْتَحَق بِعَقْدِ الإِجارةِ إِنَّمَا هُوَ المَنَافِعُ لَا الأَعْيَان، وَهَذَا الأَصْلُ لَمْ يَدُلّ عَلَيْهِ كتابٌ وَلَا سُنَّةٌ وَلَا إجماعٌ وَلَا قِيَاسٌ صَحِيْحٌ، بَلْ الذِي دَلَّتْ عَليهِ الأُصُوْلُ أن الأعيانَ التي تَحدُثُ شَيْئًا فَشَيْئًا مَعَ بَقَاءِ أَصْلِهَا حُكْمُهَا حُكْمُ المَنَافِعِ

“(Para ulama yang berpendapat) akad sewa menyewa hanya sebatas pada manfaat (atau jasa-pent) saja tidak pada benda atau aset (ini pendapat yang kurang tepat). Dan pendapat ini tidak sesuai dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan qiyas yang sahih. Namun, pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil adalah penyewaan benda tetap ada manfaat yang bisa diperoleh bersamaan dengan tetapnya fisik benda tersebut. Hukumnya sama dengan hukum sewa menyewa manfaat atau jasa.” [1]

Mengingat banyak sekali bisnis-bisnis yang ada di tengah masyarakat terikat dengan hal ini. Tentunya pembahasan ini menjadi sangat penting untuk diketahui.

Ketentuan-ketentuan sewa menyewa benda atau aset

Bagi penyewa dan yang menyewakan hendaknya mengetahui beberapa ketentuan-ketentuan sewa menyewa berikut ini, agar sewa menyewa tidak berujung merugikan di antara kedua belah pihak.

Jelasnya benda atau aset

Barang yang disewakan harus jelas bentuk dan jenisnya. Tentunya, benda tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa merusak zat bendanya sebagaimana penjelasan yang telah berlalu. Dalam hal ini terdapat kaidah,

كُلُّ مَا يَنْتَفِعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ تَجُوْزُ إِجَارَتُهُ وَمَا لَا فَلَا

“Setiap benda yang ketika diambil manfaatnya bentuk fisiknya tetap ada, maka boleh untuk disewakan. Adapun yang ketika diambil manfaatnya bentuk fisiknya hilang, maka tidak boleh disewakan.” [2]

Sehingga benda atau aset yang tidak jelas, dirahasiakan, atau tidak diketahui keberadaan dan bagaimana bentuknya, benda yang seperti ini tidak boleh disewakan.

Contoh:

Sewa rumah, maka harus jelas rumah yang disewakan. Bentuknya seperti apa, nomor rumahnya, alamatnya, dan lainnya. Terlebih saat ini banyak yang mengiklankan sewa rumah atau yang sejenisnya melalui platform sosial media atau via online. Sehingga kondisi rumah harus jelas tergambarkan via foto yang diunggah ke media tersebut.

Dan silahkan di-qiyas-kan hal ini kepada benda atau aset yang lain. Seperti kendaraan, tanah, barang elektronik, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini, Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan,

وَالذِي فِي العَيْنِ مِنْ شَرْطِهِ الرُّؤْيَةُ أَوْ الصِّفَةُ عِنْدَهُ كَالْحَالِ فِي المَبِيْعَاتِ. وَمِنْ شَرْطِ الصِّفَة عِنْدَهُ: ذِكْرُ الجِنْسِ وَالنَّوْعِ، وَذَلِكَ فِي الشَّيْءِ الذِي تُسْتَوْفَى مَنَافِعُهُ

“Dan yang berkaitan dengan benda yang disewakan, di antara syarat atau ketentuannya adalah dapat dilihat dan dapat dijelaskan sifat bendanya. Seperti benda-benda yang dijual. Di antara ketentuannya pula adalah menyebutkan jenis benda tersebut. Hal ini berlaku pada benda-benda yang manfaatnya dapat digunakan secara sempurna (tidak hilang manfaat bendanya).” [3]

Penentuan durasi sewa

Dalam sewa menyewa, ditekankan tentunya antara kedua belah pihak untuk menentukan durasi waktu sewa. Bahkan, para ulama sepakat dalam hal ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah,

أنَّ الإِجَارَةَ إذا وَقَعَتْ على مُدَّةٍ يَجِبُ أن تكونَ مَعْلُومةً، كشَهْرٍ وسَنَةٍ. ولا خِلَافَ في هذا نَعْلَمُه.

“Sewa menyewa jika dalam bentuk waktu, hendaknya ditentukan dalam waktu yang jelas. Seperti sebulan atau satu tahun. Tidak ada perbedaan pendapat yang kami ketahui tentang hal ini.” [4]

Ibnu Qudamah menjelaskan, terkait dengan waktu, maka dihitung dengan penanggalan hijriah dan ini yang lebih afdal. Walaupun jika dihitung dengan penanggalan masehi, diperbolehkan.

Contoh:

Sewa rumah selama 1 tahun yang dimulai akadnya pada 20 Rabiulawal 1445, maka habisnya pada 20 Rabiulawal 1446.

Sebagian ulama ada yang membatasi bahwa sewa menyewa hanya satu tahun saja, sebagian ada yang berpendapat dibatasi selama tiga puluh tahun. Namun, jumhur berpendapat boleh lebih dari satu tahun dan inilah pendapat yang benar. Karena menghukumi satu tahun atau tiga puluh tahun tidak ada dalil yang menjelaskan hal tersebut. [5]

Intinya, kedua belah pihak tidak boleh merugikan satu sama lain dalam hal ini. Seperti melampaui batas waktu sewa atau mengubah batas waktu sewa secara tiba-tiba. Karena pada hal tersebut terdapat kezaliman.

Manfaat yang dapat diperoleh

Tentunya dalam sewa menyewa harus ada manfaat yang diperoleh. Sebagaimana yang telah dijelaskan. Jika tidak ada manfaat yang diperoleh, maka tidak diperbolehkan.

Contoh:

Orang yang menyewakan mobil yang rusak dan tidak bisa jalan, menyewakan hewan kendaraan yang sedang hilang, dan lain sebagainya.

Tentunya hal seperti itu merugikan pihak penyewa. Maka, boleh bagi pihak penyewa untuk menuntut haknya. Seperti diperbaiki terlebih dahulu atau menukar dengan barang yang lain atau di-faskh akadnya.

Penentuan biaya sewa

Tentang hal ini, harus disebutkan dan dijelaskan sebelum akad berlangsung. Berapa biaya sewa yang harus dibayarkan. Apakah cash atau utang, berapa nominalnya. Jangan sampai terjadi perselisihan di masa yang akan datang disebabkan karena adanya perubahan biaya sewa dari pihak yang menyewakan.

Karena akad sewa menyewa ini tak ubahnya seperti akad jual beli, Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat,

وَالِإجَارَاتُ صِنْفٌ مِنَ البُيُوْعِ

“Akad sewa menyewa termasuk jenis akad jual beli.” [6]

Contoh:

Pada akad awal sewa, suatu rumah disewakan dengan harga 20 juta per tahun. Kemudian pihak penyewa dan yang menyewakan telah menyepakati.

Maka, tidak diperkenankan di kemudian hari pihak penyewa hanya membayar 15 juta karena mungkin melihat kekurangan yang ada pada rumah tersebut. Karena akad di awal sudah jelas nominal dan jenis bendanya. Tidak diperkenankan pula pihak yang menyewakan untuk menaikkan harga di kemudian hari sebelum akad yang sebelumnya selesai.

Jika akad yang sebelumnya selesai, maka pihak yang menyewakan bisa untuk menaikkan harga sewa yang tentunya penyewa bisa memilih antara lanjut atau tidak.

Kewajiban memelihara barang

Hak ini yang harus ditunaikan oleh penyewa. Penyewa harus menjaga barang sewaannya. Tidak boleh dirusak dan tidak boleh dihilangkan, apalagi digunakan dalam bentuk penyalahgunaan barang sewaan tersebut. Tentu ini adalah kezaliman.

Contoh:

Kendaraan yang disewakan selama 1 bulan misalnya. Maka, kendaraan tersebut harus dijaga, tidak boleh digunakan secara kasar atau berlebihan atau digunakan untuk tindak kejahatan seperti mencuri, membunuh orang, dan lain sebagainya.

Tentunya segala kerusakan yang terjadi akibat penyewa, penyewa diharuskan untuk mengganti rugi barang sewaan tersebut.

Pengembalian barang dalam keadaan baik

Hal ini berkaitan dengan poin sebelumnya. Tentunya ini adalah hak yang menyewakan. Barang tersebut harus dikembalikan dalam keadaan baik. Jika terdapat kerusakan, maka yang menyewakan berhak untuk meminta perbaikan kepada penyewa.

Demikianlah ketentuan-ketentuan dalam sewa menyewa yang berkaitan dengan benda atau aset. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam

[Bersambung]

***

Depok, 12 Jumadilawal 1446 / 14 November 2024

Penulis: Zia Abdurrofi


Artikel asli: https://muslim.or.id/100718-fikih-transaksi-ijarah-sewa-menyewa-bag-4.html