Kisah Pasukan Bergajah
KISAH PASUKAN BERGAJAH
Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba’du:
Sesungguhnya tujuan terpenting Allah Shubhanahu wa ta’alla menurunkan al-Qur’an disamping untuk menjadi panutan ialah agar dipahami maknanya lalu diamalkan isi kandungannya, seperti sinyalemen yang berada di dalam salah satu ayat -Nya, yaitu:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”. [Muhammad/47: 24].
Diantara sekian banyak surat-surat pendek yang sering kita dengar ditelinga adalah surat al-Fiil, sehingga hal itu memotivasi kita untuk lebih memahami dan menyelami isi dan kandungan hukum yang tersimpan didalam surat tersebut. surat al-Fiil di mulai dengan kisah perjalanan pasukan gajah, Allah ta’ala menjelaskan:
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصۡحَٰبِ ٱلۡفِيلِ ١ أَلَمۡ يَجۡعَلۡ كَيۡدَهُمۡ فِي تَضۡلِيلٖ ٢ وَأَرۡسَلَ عَلَيۡهِمۡ طَيۡرًا أَبَابِيلَ ٣ تَرۡمِيهِم بِحِجَارَةٖ مِّن سِجِّيلٖ ٤ فَجَعَلَهُمۡ كَعَصۡفٖ مَّأۡكُولِۢ
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah –Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”. [al-Fiil/105: 1-5]
Tafsir Ayat:
Allah Shubhanahu wa ta’ala memulai suratnya dengan ayat yang mengkisahkan tentang pasukan bergajah, Allah Shubhanahu wa ta’ala berfirman:
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصۡحَٰبِ ٱلۡفِيلِ
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?” [al-Fiil/105: 1].
Al-Hafidh Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya: “Ini merupakan nikmat yang telah Allah Shubhanahu wa ta’ala anugerahkan kepada orang-orang Quraisy yaitu tatkala Allah menghindarkan bencana atas mereka dari pasukan bergajah. Yang telah bertekad untuk menyerang dan menghancurkan Ka’bah serta menghilangkan jejak dan semua sisa-sisa yang berkaitan dengannya, akan tetapi Allah Shubhanahu wa ta’ala membinasakan mereka semua, sehingga ambisi mereka berantakan, rencananya gagal, usahanya pun tidak membuahkan hasil, dan mereka kembali dalam keadaan ketakutan dan binasa.
Pasukan bergajah tersebut adalah dari kaum Nashrani, yang pada masa tersebut merupakan agama yang mendekati keadaan paganisme yang telah mengurat dalam darah daging suku Quraisy. Namun, dengan adanya kejadian ini seperti sebuah tanda dan sinyalemen saatnya di utus Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka pada tahun yang sama beliau lahir berdasarkan pendapat yang valid dari kalangan para ulama, seakan-akan takdir tersebut menjelaskan, “Wahai orang Quraisy, kami tidak menolong kalian dari tentara Habasyah tersebut karena kalian lebih baik atas mereka, bukan sebab itu, akan tetapi untuk menjaga rumah tua yang sebentar lagi akan kami muliakan, kami agungkan dan kami jadikan berwibawa dengan diutusnya utasan kami yaitu nabi yang buta baca tulis Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai penutup para nabi”.[1]
Kisah Ringkasnya Tentang Pasukan Bergajah:
Dikisahkan, bahwa gubernur Yaman pada saat itu yang bernama Abrahah punya ambisi kuat agar manusia mau beralih melakukan haji ke Ka’bah menuju negerinya sehingga untuk mewujudkan ambisinya tersebut dirinya membangun sebuah gereja yang menyerupai Ka’bah. Lalu ia mulai menyebarkan ambisinya dengan mengajak orang untuk berhaji ketempatnya, dalam rangka mencegah mereka berhaji ke rumah Allah Shubhanahu wa ta’alla, mendengar berita itu orang-orang Arab marah besar, sehingga ada seorang dari kalangan mereka yang datang berkunjung pada gereja itu, yang dijadikan oleh penguasa Yaman sebagai Ka’bah, kemudian pada suatu ketika orang Arab tadi buang kotoran lalu melumurkannya pada tembok gereja.
Mengetahui kejadian itu, gubernur murka besar, dan ketika mengetahui bahwa itu adalah perbuatannya orang Arab, maka dirinya memobilisasi pasukan besar menuju Makah, dan yang menjadi tunggangan mereka adalah gajah. Di tengah jalan tatkala melewati negeri Khats’am mereka dihadang oleh Nufail bin Habid al-Khats’ami bersama kaumnya. Namun, dengan mudahnya mereka dikalahkan dan dihancurkan oleh Abrahah hingga akhirnya Nufail bin Habib menjadi tawanan mereka. Setelah itu dirinya dibawa dijadikan sebagai penunjuk jalan ke negeri Hijaz.
Dan ketika Abrahah sudah mendekati kota Makah dan sudah siap-siap memasukinya, dan tengah mempersiapkan gajahnya yang berbadan paling besar yang bernama Mahmud dan memobilisasi pasukannya ke arah Makah, datanglah Nufail bin Habib dan berdiri disamping gajah itu, lalu memegang telinganya sambil membisikan, “Mogoklah, hai Mahmud! Kembalilah dengan benar ke tempat dari mana kamu datang, sebab, kamu kini sedang berada di negeri Allah Shubhanahu wa ta’alla yang haram“. Kemudian dia melepaskan telinganya. Tidak lama kemudian gajah itu benar-benar mogok tidak mau berdiri. Nufail bin Habib lalu segera pergi dan berlari kencang menuju gunung dan naik ke puncaknya, menyatu bersama warga Quraiys.
Adapun bala tentara bergajah, maka mereka memukuli gajahnya agar mau berdiri, namun gajah tersebut tidak mau bergeming. Mereka mencoba memukul dengan cambuk dan memasukan senjata kebagian tubuh yang lembek lalu menekannya supaya gajahnya mau berdiri, namun tetap saja tidak berhasil. Anehnya, tatkala mereka mengarahkan gajahnya ke arah Yaman maka segera bangkit dan berjalan cepat, ketika di arahkan menuju Syam juga demikian, bangkit dan berjalan cepat, ke arah timur juga demikian, akan tetapi, ketika di arahkan menuju Makkah, gajahnya langsung duduk.
Dalam kondisi seperti itu, Allah Shubhanahu wa ta’alla mengirim kepada mereka burung dari arah laut, yang bagaikan layang-layang menyambar dengan berbondong-bondong, dan setiap burung membawa tiga buah batu seukuran kerikil. Satu berada diparuhnya dan yang dua dikakinya, tidak ada satu batu pun yang menimpa kepala mereka melainkan pasti hancur. Dan tidak semuanya pasukan ini terkena lemparan batu tersebut, maka mereka lari berpencaran mencari jalan pulang, lalu mereka bertanya kepada Nufail supaya memberi tahu arah jalan pulang ke negerinya, sedangkan Nufail sudah berada dipuncak gunung bersama warga Quraiys dan warga Arab lainnya, melihat kejadian dan siksaan Allah Shubhanahu waa ta’alla yang Maha dahsyat atas pasukan bergajah tersebut. Sehingga Nufail melantunkan bait syairnya:
Tiada tempat berlari, bila Tuhan yang mengejarnya
Dan Asyram lah yang kalah, bukan yang menang
Dan kejadian itu terjadi tepatnya empat puluh tahun sebelum di utusnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagian saksi mata peristiwa itu masih hidup manakala Muammad di angkat menjadi utusan.
Kemudian Allah ta’ala menjelaskan dalam ayat kedua:
أَلَمۡ يَجۡعَلۡ كَيۡدَهُمۡ فِي تَضۡلِيلٖ
“Bukankah –Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia?”. [al-Fiil/105: 2].
Maksudnya bukankah Allah Shubhanahu wa ta’alla telah menjadikan tipu daya mereka serta usaha yang mereka lakukan untuk menghancurkan Ka’bah sebagai perbuatan yang tidak punya pegangan yang mengantarkan pada kebinasaan mereka?
Kemudian Allah Shubhanahu wa ta’alla mengatakan sebab kehancuran mereka:
وَأَرۡسَلَ عَلَيۡهِمۡ طَيۡرًا أَبَابِيلَ
“Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong”. [al-Fiil/105: 3].
Maksudnya sekumpulan burung yang berpencar, dan burung ini berwarna hitam dari arah lautan dengan berbondong-bondong. Pada tiap burung membawa tiga buah batu kerikil, dua batu di kakinya dan satunya lagi diparuhnya, tidaklah batu tersebut mengenai sesuatu melainkan menghancurkanya.
Selanjutnya Allah Shubhanahu wa ta’alla menjelaskan tugas burung tadi dengan mengatakan:
تَرۡمِيهِم بِحِجَارَةٖ مِّن سِجِّيلٖ
“Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar”. [al-Fiil/105: 4].
Para ulama tafsir ada yang mengatakan batu tersebut terbuat dari tanah yang terbakar di neraka Jahanam yang sudah diperuntukan khusus untuk mereka dengan tertulis nama-nama kaum tersebut. dan apabila batu tersebut mengenai mereka maka menembus sampai keluar dari duburnya. Dan ukuran batu itu seperti kerikil kecil. Lalu Allah Shubhanahu wa ta’alla menerangkan akhir dari perjalanan anak manusia yang sombong dimuka bumi ini, Allah ta’ala berfirman:
فَجَعَلَهُمۡ كَعَصۡفٖ مَّأۡكُولِۢ
“Lalu –Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”. [al-Fiil/105: 5]
Yaitu mereka seperti dedaunan yang dimakan ulat lalu ulat tersebut melemparkan sisanya jatuh kebawah. Ada yang mengatakan, maksudnya mereka seperti dedaunan yang di makan ulat sehingga tinggal batangnya.
Adapun maksud ayat secara global, bahwa Allah ta’ala menghancurkan serta memporak porandakan tipu daya yang mereka rencanakan sehingga mereka tidak mendapat keuntungan sedikit pun. Allah ta’ala membinasakan mereka semua kecuali satu tentara yang mengabarkan pada kaumnya, namun kondisinya terluka parah seperti halnya raja mereka Abrahah. Kondisi tentara tadi terbelah dada dan hatinya hingga ketika sampai di negerinya Shan’a dan mengabarkan kejadiannya lalu setelah itu diapun mati.
Pelajaran dari Surat ini:
Pertama : Inilah akhir perjalanan dari setiap orang yang menentang Allah Shubhanahu wa ta’alla dan memerangi Allah Shubhanahu wa ta’alla serta menghalalkan apa yang telah diharamkan. Allah ta’ala menjelaskan hal tersebut dalam ayat yang lain:
وَمَن يُرِدۡ فِيهِ بِإِلۡحَادِۢ بِظُلۡمٖ نُّذِقۡهُ مِنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ
“Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih”. [al-Hajj/22: 25]
Didalam sebuah hadits, dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ. قَالَ: ثُمَّ قَرَأَ {وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ » [أخرجه البخاري ومسلم ]
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni seorang yang zalim hingga ketika Allah menyiksanya, Dia tidak memperdulikannya”. Kemudian beliau membaca firman Allah:
وَكَذَٰلِكَ أَخۡذُ رَبِّكَ إِذَآ أَخَذَ ٱلۡقُرَىٰ وَهِيَ ظَٰلِمَةٌۚ إِنَّ أَخۡذَهُۥٓ أَلِيمٞ شَدِيدٌ
“Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila –Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab -Nya itu adalah sangat pedih lagi keras”. [Huud/11: 102] HR Bukhari no: 4686. Muslim no: 2483.
Kedua : Kekuasaan Allah Shubhanahu wa ta’alla yang Maha perkasa. Dan -Dia Maha Mampu melakukan segala sesuatu. Allah Shubhanahu wa ta’alla menjelaskan dalam ayat lain:
إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيًۡٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan -Nya apabila –Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia”. [Yaasin/36: 82].
Dalam ayat lain Allah ta’ala menjelaskan:
وَمَآ أَمۡرُنَآ إِلَّا وَٰحِدَةٞ كَلَمۡحِۢ بِٱلۡبَصَرِ
“Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata”. [al-Qomar/54: 50].
Dan tidak ada yang menghalangi kehendak Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk melakukan segala sesutau, Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعۡجِزَهُۥ مِن شَيۡءٖ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِۚ إِنَّهُۥ كَانَ عَلِيمٗا قَدِيرٗا
“Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Kuasa”. [Faathir/35: 44]
Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
[Disalin dari وقفات مع سورة الفيل Penulis Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Penerjemah Abu Umamah Arif Hidayatullah Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2013 – 1434]
______
Footnote
[1] Tafsir Ibnu Katsir 14/455.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/40691-kisah-pasukan-bergajah.html