Beranda | Artikel
Hadis: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1)
Rabu, 31 Juli 2024

Teks Hadis Pertama dan Kedua

Diriwayatkan dari Abu Burdah bin Abu Musa, dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

“Tidak (sah) nikah tanpa wali.” (HR. Abu Dawud no. 2085, At-Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1881, dan Ahmad 32: 280. Dinilai sahih oleh Al-Albani.)

Dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا المَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika dia telah digauli, maka dia berhak mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika ada perselisihan (dari keluarga wanita dan tidak ada wali bagi wanita itu), maka penguasalah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Abu Awanah 3: 18, Ibnu Hibban 9: 384, dan Al-Hakim 2: 168. Dinilai sahih oleh Al-Albani.)

Kandungan Hadis Pertama dan Kedua

Kandungan pertama: Disyaratkannya wali ketika akad nikah

Apakah yang dimaksudkan dengan penafian (peniadaan) dalam hadis ini? Peniadaan di sini ada tiga kemungkinan, yaitu: 1) peniadaan dzat (نفي الذات); maksudnya, pernikahan tanpa wali itu tidak pernah terjadi); 2) peniadaan kesempurnaan (نفي الكمال); dan 3) peniadaan keabsahan (نفي الصحة). Kemungkinan pertama itu mustahil, karena akad nikah tanpa wali itu bisa saja terjadi. Adapun kemungkinan kedua, maka itu kemungkinan yang tidak dimaksudkan dalam hadis ini. Dalilnya adalah hadis dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas. Hadis tersebut menunjukkan batilnya akad nikah tanpa wali. Sehingga jelaslah bahwa yang dimaksudkan adalah peniadaan keabsahan akad nikah. Artinya, tidak ada akad nikah yang sah aau dianggap secara syar’i, kecuali dengan adanya wali.

Siapakah yang dimaksud dengan wali? Wali adalah kerabat yang memiliki hak perwalian untuk menikahkan wanita. Wali karena kekerabatan ini disebut dengan “wali nasab”. Ayah (bapak) adalah yang lebih berhak untuk menikahkan si wanita, kemudian kakek (dan seterusnya ke atas) ketika ayah tidak ada, menurut pendapat yang lebih kuat. Selanjutnya adalah kerabat lainnya (ashabah) yang laki-laki, yang urutannya berbeda-beda dalam pembahasan kitab-kitab fikih.

Baca juga: Fikih Nikah (Bag. 2)

Berdasarkan penjelasan ini, maka wali adalah syarat sahnya akad nikah. Ini adalah pendapat jumhur ulama terdahulu (salaf) dan kholaf (ulama belakangan). Termasuk di antaranya adalah Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 20; Al-Mughni, 9: 344; Mughni Al-Muhtaj, 3: 147)

Jumhur ulama juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ

“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa ‘iddah-nya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 232)

Sisi pendalilan dari ayat ini adalah Allah Ta’ala melarang para wali menghalang-halangi wanita yang telah menyelesaikan masa ‘iddah untuk rujuk jika dilamar kembali oleh suami yang telah mentalaknya. Jika wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, maka tidak ada faidahnya dari larangan bagi para wali wali untuk menghalang-halangi wanita tersebut rujuk lagi dengan suami yang telah mentalaknya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa wali itu tidak dipersyaratkan ketika akad nikah, namun hukumnya sunah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sejumlah ulama. (Lihat Bada’i Ash-Shanaa’i, 2: 241-247)

Para ulama tersebut berdalil dengan dalil nash dan qiyas. Adapun dalil dari nash adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Kemudian apabila telah habis ‘iddah-nya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 234)

Dan juga firman Allah Ta’ala,

فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka wanita itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230)

Dalam dua ayat tersebut, Allah Ta’ala menyandarkan pernikahan kepada si wanita. Penyandaran ini menunjukkan bolehnya akad nikah yang berasal dari wanita.

Adapun dalil qiyas, maka mereka mengqiyaskan pernikahan dengan jual beli. Wanita yang sudah balig dan bisa mengatur pengeluaran, mereka boleh mengadakan transaksi jual beli dari harta mereka sendiri tanpa perlu ijin wali. Demikian pula pernikahan, maka diperbolehkan bagi si wanita untuk mengadakan akad bagi dirinya sendiri tanpa wali.

Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama, bahwa dipersyaratkan wali ketika akad nikah. Hal ini karena kuatnya dalil-dalil yang mereka bawakan. Di antara yang menguatkan hal itu di antaranya:

Pertama, terjaganya wanita ketika muncul dari dirinya kecenderungan kepada laki-laki.

Kedua, laki-laki itu lebih mampu dari wanita ketika mencari informasi tentang calon pasangan. Adapun wanita itu terkadang tidak bisa berpikir panjang ketika mencari calon suami yang saleh dan sekufu. Terkadang wanita tersebut tidak mendapatkan taufik ketika memilih laki-laki yang sesuai.

Ketiga, dipersyaratkannya wali itu lebih dari sekedar mengumumkan pernikahan.

Keempat, pernikahan itu bukan hanya ikatan yang menyatukan mempelai laki-laki dan wanita, akan tetapi juga menyatukan antara dua keluarga besar dari pihak laki-laki dan wanita. Sehingga penting bagi ayah dan kerabat dari pihak wanita untuk mengetahui keadaan keluarga dari pihak laki-laki.

Adapun ayat Al-Quran yang dipakai sebagai dalil bagi Imam Abu Hanifah dan selainnya, maka ayat tersebut tidaklah menunjukkan bahwa wali bukanlah syarat akad nikah. Akan tetapi, ayat tersebut menunjukkan bahwa wanita merdeka dan sudah baligh merupakan pihak langsung dalam akad nikah, sehingga harus dimintai pendapat dan persetujuannya; bukan berarti wanita tersebut bebas dan mandiri dalam melakukan akad nikah.

Adapun dalil qiyas, maka qiyas tersebut tidak teranggap. Hal ini karena kesimpulan qiyas tersebut bertentangan dengan dalil nash. Selain itu, akad nikah tidak bisa serta merta disamakan dengan akad jual beli. Konsekuensi dari akad nikah itu sangat besar, yaitu menghalalkan kemaluan. Berbeda dengan konsekuensi dari akad jual beli yang tidak sebesar itu dan perkaranya pun lebih ringan dibanding akad nikah.

Adapun Imam Abu Hanifah, beliau memang berpendapat bahwa wali itu bukan syarat akad nikah sebagaimana pendapat jumhur ulama. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah rahimahullah memberikan hak bagi wali wanita untuk menghentikan dan membatalkan akad jika suami dinilai tidak sekufu. (Lihat Syarh Fathul Qadir, 3: 258; Ahkamuz Zawaj, hal. 130)

[Bersambung]

***

@11 Muharram 1446/ 17 Juli 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/96556-hadis-wali-adalah-syarat-sah-akad-nikah-bag-1.html