Beranda | Artikel
Lupa dalam Shalat dan Perintah untuk Sujud Padanya
Rabu, 10 Juli 2024

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Lupa dalam Shalat dan Perintah untuk Sujud Padanya merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Mukhtashar Shahih Muslim yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Ahad, 07 Juli 2024 M / 1 Al-Muharram 1446 H.

Kajian Tentang Lupa dalam Shalat dan Perintah untuk Sujud Padanya

Hadits 350:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ﵁ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ في صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ.

Dari Abu Said Al-Khudri, semoga Allah meridainya, ia berkata: Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah ia buang yang ragu dan bangunlah di atas yang yakin, kemudian sujudlah dua kali sujud sebelum salam. Kalau ternyata ia shalatnya lima rakaat, maka itu menggenapkan shalatnya. Dan jika ia ternyata shalatnya empat rakaat, maka itu penghinaan buat setan.” (HR. Muslim)

Hadits ini, kita ambil faedah.

Pertama, hadits ini menunjukkan kepada salah satu kaidah yang agung dari kaidah fiqih, yaitu اليقين لا يزول بالشك (sesuatu yang yakin itu tidak kalah oleh yang ragu). Karena nabi mengatakan dalam hadits ini: “Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, apakah ia shalatnya tiga atau empat, maka buang yang ragu.” Ini, kalau kita perhatikan, sebuah kaidah yang agung dalam kehidupan kita, maka semua yang sifatnya meragukan wajib dibuang.

Kapan sesuatu itu disebut ragu? Yaitu apabila antara benar dan salahnya seimbang. Kalau ternyata benarnya lebih berat daripada salahnya, maka ini disebut dengan dugaan yang kuat. Kalau ternyata salahnya yang lebih kuat daripada benarnya, maka ini namanya wahm. Ketika benar dan salahnya fifty-fifty, pada waktu itu disebut ragu.

Di sini nabi memberikan contoh ragu apakah shalat kita ini tiga atau empat? Sama-sama kuat antara tiga atau empat, tidak ada yang merajihkannya. Beda ketika ada sesuatu yang merajihkan. Misal, antum ragu tiga atau empat. Antum teringat, “Kayaknya tadi saya batuk deh di rakaat kedua, berarti ini kayaknya di rakaat yang keempat.” Misalnya begitu, akhirnya antum menggunakan indikasi itu. Berarti itu sudah hilang namanya ragu, berpindah kepada dugaan yang kuat. Maka saat itu tidak perlu kita tambah. Kita ambil dugaan kuat, lalu sujud sahwi setelah salam.

Makanya dalam hadits riwayat Abu Dawud, Nabi Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ ثُمَّ لِيُسَلِّمْ ثُمَّ لِيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ

“Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, hendaknya ia mengambil sesuatu (raka’at) yang di yakininya, lalu menyempurnakannya, kemudian hendaknya ia sujud dua kali.” (HR. Abu Dawud)

Jadi, jika kita ragu dalam shalat, hendaklah cari dulu yang benar yang mana. Kalau ternyata kuat dugaannya bahwa kita di rakaat yang keempat, maka tidak perlu sujud sahwi lagi, tidak perlu ditambah rakaatnya. Namun, sujud sahwi setelah salam.

Berbeda kalau memang tidak ingat sama sekali, tiga atau empat? Maka ketika sama-sama kuat, pada waktu itu yang kita lakukan adalah buang yang ragu, ambil yang yakin.

Dalam kehidupan kita, sering kita dihadapkan pada perkara seperti ini.

Misalnya Antum sudah wudhu jam 05.00. Kemudian pas mau maghrib terjadi keraguan, tadi wudhu saya batal apa tidak? Berarti terjadi keraguan batalnya. Sementara sudah wudhunya yakin jam 05.00. Maka waktu itu kita ambil yakin, buang yang ragu. Jadi kita tidak perlu lagi untuk berwudu. Demikian pula kebaliknya. Tadi antum yakin buang air, tapi ragu setelah itu wudhu apa tidak? Maka pada waktu itu buang yang ragu, ambil yang yakin. Antum wajib untuk wudhu lagi.

Demikian pula, kalau antum berburu binatang. Kemudian antum tembak atau panah atau yang lainnya, jatuh ke air. Sehingga kita ragu ini yang membunuhnya panah atau air? Sama-sama kuat, ada kemungkinan yang membunuhnya air, ada kemungkinan yang membunuhnya panah kita. Maka pada waktu itu yang yakin bahwa daging itu haram. Maka pada waktu itu tidak boleh dimakan.

Misalnya lagi, antum ragu saya sudah talak istri dua apa tiga? Bingung dan masih ragu. Maka pada waktu itu yang yakin yang dua. Adapun yang tiga meragukan.

Demikian pula, kita harus melihat yang yakin itu kita kembalikan kepada hukum aslinya bagaimana. Kalau hukum aslinya adalah halal, maka itulah yang yakin. Yang berhubungan dengan masalah dunia, hukum aslinya adalah halal. Ketika terjadi keraguan apakah ini haram atau halal, maka kembalikan kepada hukum aslinya. Kalau antum ragu, makanan ini haram apa halal, ada yang bilang katanya haram, ada yang bilang katanya halal, maka kita kembalikan kepada hukum aslinya bahwa itu hukumnya halal. Tapi juga dalam masalah bab makanan, walaupun memang kita kembalikan kepada hukum aslinya halal, hendaknya kita pun punya sifat wara (meninggalkan yang syubhat). Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan,

 فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ 

“Siapa yang meninggalkan perkara yang syubhat, sungguh ia telah mensucikan agamanya dan kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lihat juga: Hadits Arbain Ke 6 – Hadits Tentang Syubhat

Dalam masalah ibadah, hukum asli ibadah pada asalnya haram. Maka kalau antum ragu, apakah hukum sebuah shalat ini sunnah atau bid’ah, ada yang bilang katanya sunnah, ada yang bilang katanya bid’ah, maka yang kita lakukan adalah jangan lakukan dulu. Karena hukum yang yakin dalam masalah ibadah adalah tidak boleh. Kata para ulama, pada asalnya ibadah itu tidak boleh dilakukan sampai betul-betul ada dalil yang jelas dan tegas yang memerintahkan ibadah tersebut. Karena ibadah itu tidak boleh hanya berdasarkan “menurut pendapat saya ini bagus,” tidak bisa. Karena ibadah itu hak Allah, bukan hak kita. Dan Allah ingin diibadahi sesuai dengan yang Allah cintai dan ridhai, bukan sesuai dengan selera dan hawa nafsu kita.

Kalau antum sedang tawaf jadi ragu, sampai lupa tawaf sudah berapa? Misalnya empat apa lima? Maka pada waktu itu kita ambil yang empat. Tapi kalau tawaf tidak ada sujud sahwi.

Jadi hadits ini menunjukkan kepada kaidah yang agung ini, اليقين لا يزول بالشك. Maka semua perkara yang sifatnya meragukan wajib dibuang, jangan digunakan.

Makanya hadits dhaif, pendapat yang shahih adalah tidak boleh dipakai. Karena hadits dhaif itu hanya menimbulkan keraguan. Kata Al-Hafidz Ibnu Hajar, hadits yang paling dhaif adalah hadits di dalam sanadnya ada perawi yang buruk hafalan. Disebut buruk hafalan ketika sisi benarnya tidak lebih kuat daripada sisi salahnya. Jadi benar dan salahnya masih sama-sama kuat. Ini berarti menghasilkan keraguan. Maka dari itu, hadits dhaif itu menghasilkan keraguan. Maka pada waktu itu tidak boleh dipakai.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54276-lupa-dalam-shalat-dan-perintah-untuk-sujud-padanya/