Penuntut Wajib Mendatangkan Bukti Dan Saksi Dan Terdakwa Bersumpah
PENUNTUT WAJIB MENDATANGKAN BUKTI DAN SAKSI DAN TERDAKWA BERSUMPAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا ؛ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ ، وَلَكِنِ الْبَيِّنَةُ عَلَـى الْـمُدَّعِيْ ، وَالْيَمِيْنُ عَلَـى مَنْ أَنْكَرَ
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya (setiap) orang dipenuhi klaim (tuduhan) mereka, maka tentu akan ada orang-orang yang akan mengklaim (menuduh/menuntut) harta dan darah suatu kaum,[1] namun barang bukti wajib bagi pendakwa (penuduh) dan sumpah wajib bagi orang yang tidak mengaku/terdakwa.”
TAKHRIJ HADITS
Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini hasan.” Diriwayatkan dalam kitab :
- as-Sunanul Kubra karya al-Baihaqi (X/252, V/331-332)).
- Shahîh al-Bukhari (no. 4552),
- Shahîh Muslim (no. 1711),
- Mushannaf ‘Abdurrazzâq (no. 15193),
- Sunan Ibni Mâjah (no. 2321),
- al-Mu’jamul Kabîr Ath-Thabrani (no. 11224),
- Syarh Ma’ânil Aatsâr (III/191), dan
- Shahîh Ibni Hibbân (no. 5059-5060-at-Ta’lîqâtul Hisân).
SYARAH HADITS
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan satu diantara kaidah-kaidah hukum dalam syari’at.” Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah mengatakan, “Hadits ini merupakan satu diantara dasar-dasar hukum dan rujukan utama ketika terjadi perselisihan dan persengketaan.”
Ketinggian Syari’at Islam
Islam adalah agama yang sempurna. Islam berisi akidah yang bersih, ibadah yang suci, akhlak yang mulia, syari’at yang luhur yang menjamin hak semua orang, melindungi darah, harta dan kehormatan setiap individu. Ketika mahkamah merupakan rujukan dan tumpuan dalam menyelesaikan perselisihan, pertengkaran dan persengketaan dan ketika hukum menjadi pemutus dalam memenangkan hak, maka Islam menetapkan kaidah dan ketentuan. Kaidah ini dapat menghalangi orang-orang yang hatinya buruk dari berbuat macam-macam dan menindas orang lain serta menjaga umat dari tindak kezhaliman. Dalam hadits ini, suatu dakwaan dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum apabila ada bukti yang kuat. Pihak yang menuduh dan tertuduh harus mendatangkan bukti yang sesuai. Bukti ini menjadi pegangan bagi seorang hakim dalam mengetahui kebenaran dan mengeluarkan keputusan berdasarkan kebenaran tersebut.
Macam-Macam al-Bayyinah (Bukti)
Para Ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan al-bayyinah (bukti) adalah asy-syahâdah (persaksian), karena saksi pada umumnya dapat mengungkap kebenaran dan kejujuran orang yang menuduh (pendakwa). Persaksian adalah cara pengungkapan dan pembuktian hakikat yang sebenarnya, karena ia berpatokan pada penglihatan langsung dan hadir di tempat kejadian perkara.
Bukti itu bermacam-macam sesuai dengan objek yang dituduhkan dan dampak yang ditimbulkan. Yang ditetapkan dalam syari’at Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada empat :
- Saksi atas perzinaan. Dalam kasus ini disyaratkan hadirnya empat orang saksi laki-laki dan tidak dapat diterima kesaksian kaum wanita. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ
Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji (zina) diantara perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap mereka ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya) [an-Nisâ’/4:15]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak bisa mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” [An-Nûr/24:4]
- Saksi atas pembunuhan dan kejahatan yang memiliki konsekuensi hukum tertentu selain perzinaan, seperti mencuri, minum khamr, menuduh. Hukuman seperti ini dalam fiqh disebut hudûd dan disyaratkan menghadirkan dua orang saksi laki-laki serta tidak dapat diterima kesaksian para wanita. Allâh Ta’ala berfirman :
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allâh…” [ath-Thalâq/65:2]
Sebagian Ahli fiqh –seperti syâfi’iyyah- memasukkannya ke dalam perkara seperti ini hak-hak yang tidak terkait dengan masalah harta, seperti nikah, thalâq dan sebagainya. Mereka berkata, “Di dalamnya mesti dihadirkan dua orang saksi laki-laki sehingga dapat diyakini kebenarannya.”
- Saksi untuk menetapkan hak-hak yang berkait dengan harta, seperti jual-beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, dan semisalnya. Maka dalam masalah ini harus ada kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla dalam ayat yang menjelaskan tentang hutang :
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) du orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada)…” [al-Baqarah/2:282]
- Kesaksian atas perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat diketahui oleh kaum laki-laki, yaitu tentang permasalahan kewanitaan. Seperti kelahiran, penyusuan, keperawanan, dan lain sebagainya. Dalam masalah seperti ini kesaksian para wanita dapat diterima walaupun tidak disertai saksi dari kalangan laki-laki, bahkan kesaksian seorang wanita pun dapat diterima sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh madzhab Hanafi.
Dari ‘Uqbah bin al-Hârits Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Saya menikahi seorang wanita, kemudian datang seorang wanita (berkulit) hitam berkata, ‘Saya telah menyusui kalian berdua.’ Lalu aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, ‘Saya menikahi Fulanah binti Fulan, kemudian seorang wanita hitam datang mengatakan kepada kami, ‘Aku telah menyusui kalian berdua.’ Sedangkan (menurutku-pent) dia dusta. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dariku. Aku pun mendatangi beliau dari depan dan kukatakan, ‘Perempuan hitam itu dusta.’ Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bagaimana lagi ?! Dia telah mengatakan bahwa dia telah menyusui kalian berdua. Maka tinggalkanlah dia (wanita yang telah kau nikahi-pent) !.’ Maka ‘Uqbah meninggalkan wanita itu dan menikahi wanita lainnya.
Yang menjadi dalil dari hadits ini adalah tidak ada yang bersaksi kecuali satu orang wanita.
Bukti Adalah Argumen Bagi Yang Menuduh Dan Sumpah Bagi Yang Tertuduh
Seorang hakim (qâdhi) muslim diperintahkan untuk memutuskan hukum (memenangkan-red) bagi orang yang memiliki bukti yang menunjukkan kejujurannya, baik dia sebagai orang yang menuduh maupun sebagai yang tertuduh. Syari’at yang bijaksana ini menetapkan bahwa bukti sebagai hujjah (argumen) bagi orang yang menuduh. Jika dia bisa mendatangkan bukti, maka apa yang dituduhkannya dianggap benar. Sebagaimana syari’at ini juga menetapkan bahwa sumpah sebagai hujjah bagi orang tertuduh. Jika dia berani bersumpah, maka terbebaslah dia dari tuduhan yang diarahkan kepadanya.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada yang menuduh :
شَاهِدَاكَ أَوْ يَمِيْنُهُ
Dua orang saksimu (sebagai penuntut-red) atau sumpahnya (terdakwa).[2]
Hikmah dalam penentuan ini adalah karena seorang penuduh menuduhkan sesuatu yang tersembunyi, maka dia butuh kepada argumen yang kuat untuk menampakkan kebenaran tuduhannya. Bukti merupakan argumen yang kuat karena ia merupakan ucapan yang tak dapat dibantah. Oleh karena itu, syari’at menetapkan penuduh harus mendatangkan bukti. Adapun sumpah, maka kekuatannya lebih rendah, karena dia merupakan ucapan salah satu dari dua orang yang berselisih. Dan orang yang dituduh tidak mendakwakan suatu perkara yang tersembunyi, dia hanya berpegang teguh dengan sesuatu yang asal dan dianggap seperti keadaan sebelumnya (tak bersalah). Maka argumen yang dibutuhkan lebih lemah, yaitu sumpah dan ia sangat cocok baginya. Oleh karena itu, yang diminta darinya adalah sumpah.
Argumen Orang Yang Menuduh Lebih Didahulukan Dari Argumen Orang Yang Tertuduh
Jika syarat dakwaan telah terpenuhi di hadapan mahkamah, maka sang hakim mendengarkannya, kemudian menanyakan kepada yang tertuduh prihal dakwaan tersebut. Jika dia mengakuinya maka hakim memutuskan perkara berdasarkan pengakuannya tersebut karena pengakuan adalah bukti yang mengikat orang yang menyatakannya. Jika si tertuduh mengingkari, maka hakim meminta dari yang menuduh untuk mendatangkan bukti, jika dia dapat mendatangkan bukti, maka diputuskan berdasarkan bukti tersebut, dengan mengabaikan perkataan orang yang tertuduh atau pengingkarannya walaupun disertai dengan sumpah yang keras. Jika yang menuduh tidak dapat menghadirkan bukti, maka sang hakim meminta kepada orang yang tertuduh untuk mengucapkan sumpah. Jika dia bersumpah, maka dia bebas dan otomatis tuduhan itu gugur.
Dalil yang menunjukkan urut-urutan diatas adalah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang menuduh, “Apakah kamu mempunyai bukti ?” Dia menjawab, “Tidak!” Maka dia berkata, “Maka hakmu untuk mengucapkan sumpah.”[3]
Dalam hadits ini, Rasûlullâh pertama kali bertanya tentang bukti kepada yang menuduh, selanjutnya sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diarahkan kepada orang yang tertuduh bahwa dia berhak untuk bersumpah karena si penuduh tidak memiliki bukti. Maka ditetapkan bahwa argumen orang yang menuduh lebih didahulukan daripada argumen orang yang tertuduh.
Menjawab Sumpah Atas Orang Yang Menuduh
Jika seseorang yang tertuduh diminta untuk bersumpah, namun dia menolak, bahkan dia meminta hakim untuk menyumpah orang yang menuduh dan menerima dakwaannya, maka apakah permintaannya harus dipenuhi ?
Sebagian ahli fiqh di antaranya madzhab Syâfi’i berpendapat, bahwa permintaannya harus dipenuhi, karena di antara haknya adalah bersumpah dan membebaskan diri dari segala tuduhan. Jika dia menerima putusan berdasarkan sumpah lawannya, artinya dia sama dengan menghukum dirinya sendiri.
Sementara sebagian ahli fiqh lainnya (seperti pengikut Abu Hanifah) berpendapat bahwa kemauan di tertuduh bisa dipenuhi. karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu harus mendatangkan dua saksi atau (tertuduh) bersumpah, kamu tidak memiliki hak selain itu.” Ini menunjukkan bahwa hakim tidak boleh memberikan keputusan berdasarkan sumpah si penuduh. Juga Rasûlullâh telah membagi hujjah menjadi dua, bukti bagi pihak penuduh dan sumpah bagi pihak tertuduh. Ini menunjukkan bahwa sumpah hanya terbatas untuk yang tertuduh. Jika sumpah dikembalikan kepada orang yang menuduh, niscaya sebagian sumpah tidak berasal dari orang yang tertuduh. Ini bertentangan dengan makna yang dinyatakan oleh nash yang mengandung makna pengkhususan.
Putusan Hukum Dengan Sebab Nukûl (Sang Terdakwa Menolak Untuk Bersumpah)
Apabila orang yang tertuduh diminta untuk bersumpah, namun dia menolaknya, maka putusan hukum ditetapkan berdasarkan tuduhan yang ditujukan kepadanya. Demikian menurut madzhab Hanafi dan Hanbali yang disertai perincian antara hak-hak yang boleh diputuskan dengan sebab nukul (penolakan sang terdakwa untuk bersumpah) dan hak-hak tidak boleh diputuskan dengannya. Dalil mereka adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْيَمِيْنُ عَلَـى مَنْ أَنْكَرَ
Sumpah itu wajib atas orang yang mengingkari (orang yang tertuduh)
Kata ‘Ala dalam teks hadits diatas untuk menunjukkan sesuatu yang wajib. Sedangkan orang yang berakal dan beragama tidak akan menghindar dari kewajiban yang dibebankan kepadanya. Maka keengganannya untuk bersumpah menunjukkan bahwa dia mengakui hak orang yang menuduh atau dia rela menyerahkannya kepada yang menuduh. Dan seorang mukallaf diperbolehkan untuk menyerahkan haknya kepada orang lain, lalu diputuskan baginya berdasarkan hal tersebut.
Kapan Orang Yang Tertuduh Bersumpah
Abu Hanîfah, Syâfi’i dan Ahmad rahimahumullaah berpendapat bahwa orang yang tertuduh bersumpah setiap diminta bersumpah. Dalil mereka adalah keumuman hadits yang berkenaan tentang dimintanya sumpah dari orang yang tertuduh.
Malik rahimahullah berkata, “Orang yang tertuduh tidak bersumpah kecuali jika telah ditetapkan bahwa antara dia dan orang yang menuduhnya terdapat interaksi berupa mu’amalah atau saling menghutangkan atau yang semisalnya, atau orang yang tertuduh adalah orang yang layak mendapatkan tuduhan yang dituduhkan oleh orang yang menuduhnya. Dalil pendapat ini adalah pertimbangan kemaslahatan sehingga manusia tidak menjadikan dakwaan sebagai sarana untuk menyakiti orang lain, dengan menggiring orang-orang yang mereka tuduh ke pengadilan tanpa ada alasan yang membenarkannya. Juga orang-orang bodoh tidak bertindak kurang ajar kepada orang yang memiliki keutamaan dan kemuliaan dengan tujuan untuk menjatuhkan harga diri mereka di depan pengadilan, atau dijadikan peluang untuk merampas harta mereka dengan cara yang tidak benar.
Dengan Apa Sumpah Menjadi Sah
Jika diarahkan sumpah kepada salah seorang yang bersengketa, maka sang hakim meminta agar mereka bersumpah atas nama Allâh, dan tidak boleh dengan menggunakan yang lain, baik yang bersumpah itu seorang muslim maupun non-muslim. Dari Ibnu ‘Umar c bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِآبَائِكُمْ ، فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
Sesungguhnya Allâh melarang kamu untuk bersumpah dengan nama bapak-bapakmu. Barangsiapa bersumpah, maka bersumpahlah dengan nama Allâh atau diam[4]
Adab Bersumpah
Jika hendak meminta seseorang untuk bersumpah, maka disunnahkan bagi sang hakim atau yang semisalnya untuk menasihatinya terlebih dahulu sebelum dia bersumpah, memberikan peringatan tentang ancaman bagi orang yang bersumpah palsu dan membacakan ayat dan hadits yang menjelaskan tentang dosa orang yang bersumpah palsu.
Jika orang yang diminta bersumpah menyadari bahwa dirinya berbohong, maka dia wajib mengakui yang sebenarnya dan tidak mudah mengumbar sumpah sehingga dia tidak tertimpa murka Allâh l dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Dirwayatkan dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنِ صَبْرٍ ، لِيَقْتَطِعَ بِهَا مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ ، لَقِيَ اللهُ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَان
Barangsiapa yang bersumpah dengan sumpah yang memiliki nilai hukum untuk merebut harta seorang muslim, dia akan bertemu dengan Allâh dalam keadaan Allâh murka kepadanya.”[5]
Jika dia menyadari bahwa dirinya jujur, maka yang paling baik baginya adalah melakukan sumpah, bahkan sumpah bisa menjadi wajib baginya. Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan sumpah pada keadaan seperti ini sehingga hak seorang Muslim tidak tersia-siakan dan agar orang-orang yang tidak berilmu tidak menjadikannya sebagai peluang untuk memakan harta manusia dengan cara yang batil. Mereka mengaku-ngaku dengan cara yang tidak benar, karena mereka tahu bahwa orang yang digugat tidak suka bersumpah, maka diputuskanlah berdasarkan tuduhan mereka.
Penetapan Hukum Berdasarkan Satu Orang Saksi Dan Sumpah
Jika bukti orang yang menggugat kurang sempurna, yaitu misalnya hanya mendatangkan satu saksi, padahal dakwaannya tidak dianggap kuat kecuali dengan menghadirkan dua orang saksi. Maka apakah sumpahnya dapat diterima sebagai pengganti dari dua orang saksi lalu diputuskan berdasarkan hal tersebut?
Madzhab Hanafi berpendapat, “Tidak boleh memutuskan berdasarkan satu orang saksi dan sumpah dalam suatu hukum. Dalam setiap dakwaan mesti disertai bukti yang sempurna, jika tidak, maka orang yang tergugat diminta untuk bersumpah, dan orang yang menggugat tidak bersumpah pada saat itu.”
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berkata, “Bisa diputuskan dengan satu orang saksi yang disertai sumpah orang yang menggugat dalam masalah harta, atau ditujukan untuk mendapatkan harta. Dalilnya adalah riwayat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu yang mengatakan, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan dengan sumpah dan satu orang saksi.” Namun ini tidak berlaku dalam masalah hudûd dan qishâsh.
Sumpah Orang Yang Menggugat Disertai Dengan Saksi Dan Sumpah Para Saksi
Kita telah mengetahui bahwa argument (hujjah) orang yang menggugat adalah bukti. Jika dia mampu menghadirkan bukti, maka hukum bisa diputuskan berdasarkan bukti tersebut. Namun jika hakim meragukan kejujuran si penggugat dan para saksi, maka hendaklah hakim meminta kepada penggugat untuk bersumpah bahwa semua saksi yang dia hadirkan berkata jujur, sebagai riwayat Imam Ahmad rahimahullah. Ibnu Rajab berkata, “Imam Ahmad pernah ditanya tentang masalah ini, maka beliau menjawab, “Yang demikian itu pernah dilakukan oleh Ali Radhiyallahu anhu.” Penanya berkata lagi, “Apakah ini benar?” Beliau rahimahullah menjawab, “Yang demikian itu pernah dilakukan oleh Ali Radhiyallahu anhu”[6]
Demikianlah, dalam kondisi seperti itu hendaklah seorang hakim meminta para saksi untuk bersumpah sebagai penguat persaksian mereka serta untuk menghindarkan keraguan.
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sumpah atas orang yang mengingkari (terdakwa).” Ini tidak mutlak (tidak berlaku secara umum), Diantara masalah yang dikecualikan dari sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini :
- Dalam masalah Li’ân (suami menuduh istri berzina-pent), maka suami diperintah untuk bersumpah padahal dia yang menuduh.
- Juga jika suami mengaku bahwa dia telah menyetubuhi (istrinya) dalam masa îlâ’ (masa dilarang bersetubuh akibat sumpah suami untuk tidak mencampuri istri-pent).
- Juga orang yang tidak shalat, jika dia mengklaim bahwa dia shalat di rumah (maka dia diminta bersumpah-pent).
- Tentang kisah pembunuhan, bahwa orang-orang melapor kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang terbunuhnya ‘Abdullah bin Sahl. Kemudian Rasûlullâh r bersabda, “Lima puluh orang dari kalian bersumpah untuk salah seorang dari mereka (orang-orang Yahudi) kemudian tali (pengikat pembunuh) diserahkan kepada kalian.”[7]
Putusan Hakim Berdasarkan Pengetahuannya
Jika seorang hakim mengetahui realita sebenarnya tentang sebuah dakwaan yang diajukan kepadanya, maka dia tidak boleh mengambil keputusan hukum hanya semata-mata berdasarkan pengetahuannya. Namun, hendaklah dia menghukumi sesuatu berdasarkan argumen yang tampak dan memenuhi syarat, baik dari penggugat maupun dari tergugat, sekalipun argumen itu bertentangan dengan hakikat yang dia ketahui. Dalam sebuah hadits dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ ، وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ إِلَيَّ ، وَلَعَلَّ بَعْضُكُمْ أَنْ يَكُوْنَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ ، فَأَقْضِيْ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ
Sesungguhnya saya adalah manusia biasa, dan kamu memperdebatkan perkara kalian di hadapanku. Mungkin saja seorang di antara kalian lebih fasih bicaranya daripada yang lain ketika menyampaikan argumen (hujjah) dan saya menghukum berdasarkan yang saya dengar.[8]
Rasûlullâh menyatakan bahwa beliau memutuskan hukum berdasarkan yang beliau dengar bukan dengan yang beliau ketahui. Hikmah dalam hal ini adalah sebagai tindakan preventif (pencegahan) untuk mengantisipasi terjadinya kezhaliman dan kerusakan, sehingga tidak mendorong para hakim yang jahat untuk prasangka, dengan dalih bahwa dia mengetahui hakikat sebenarnya, juga sebagai antisipasi untuk menepis segala tuduhan dan keraguan ketika putusan hakim tidak sesuai dengan keinginan orang-orang yang berperkara. Yaitu adanya tuduhan dari mereka bahwa hakim tidak adil, condong kepada salah satu, menerima suap, dan lain-lain.
Keputusan Hakim Tidak Menyebabkan Yang Haram Menjadi Halal atau Sebaliknya
Jika seorang hakim memiliki data dan bukti untuk menetapkan atau tidak menetapkan seperti bukti dan sumpah, maka dia bisa memutuskan perkara itu dengannya. Karena hakim diperintahkan untuk mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti yang tampak. itu adalah kwajiban hakim, sementara yang menerima putusan hendaknya melaksanakan putusan tersebut. Namun adakalanya sebuah keputusan bertentangan dengan kebenaran. Terkadang seorang penggugat mendatangkan dua saksi yang suka berbohong atau orang yang tergugat melakukan sumpah palsu. Maka, dalam kondisi seperti ini, kemenangan yang diraih oleh pihak yang dimenangkan hakim tidak lantas menjadi perkara yang dimenangkan itu halal. Sebagaimana keputusan ini juga tidak bisa merubah status hukum suatu yang halal bagi pihak yang dikalahkan kemudian menjadi haram.
Contoh, andaikata dua orang saksi memberikan persaksian palsu tentang perceraian seorang wanita oleh suaminya, sementara sang suami mengingkari bahwa dia telah menceraikan istrinya itu. Lalu berdasarkan persaksian ini, hakim memutuskan untuk memisahkan keduanya. Meski telah putuskan pisah, sang istri tidak boleh menikah kecuali dengan suaminya yang pertama. Karena dalam pandangan syari’at, dia masih bertatus sebagai istri bagi suaminya (yang dikalahksn dalam persidangan-red). Dan keputusan ini tidak menjadikan si suami haram menggauli istrinya, karena pada hakikatnya dia belum diceraikan.
Dalam hadits Ummu Salamah Radhiyallahu anha dijelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang saya menangkan atas suatu yang menjadi hak saudaranya, maka janganlah ia mengambilnya, karena sesungguhnya saya telah memberi potongan api Neraka kepadanya.” [HR Bukhâri]
Ini menunjukkan bahwa putusan hukum tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Demikianlah fatwa dalam madzhab-madzhab yang diakui.
Pahala Hakim Yang Adil
Kewajiban seorang hakim adalah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memahami dakwaan dari segala sisi, lalu memutuskan berdasarkan kesimpulan yang benar dan dipandang benar menurut ijtihadnya. Ini sesuai dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha , “Kuat dugaan saya bahwa dia jujur, lalu saya memutuskan berdasarkan hal itu.”Jika seorang hakim telah melakukan seperti ini, maka dia telah berbuat adil, dan mendapatkan pahala, baik putusannya itu benar atau salah. Karena dia telah berusaha sekuat tenaga untuk mencari kebenaran lalu dia memutuskan dengan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu berdasarkan argumen yang tampak. Dari ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu anhu, beliau pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَ إِنْ حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأََ فَلَهُ أَجْرٌ
Jika seorang hakim menetapkan hukum, lalu berijtihad dan ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala, sedangkan jika dia menetapkan hukum lalu berijtihad dan ijtihadnya salah, maka dia mendapat satu pahala.[9]
Satu Hakim Di Surga Dan Dua Orang Hakim Di Neraka
Di antara syarat kelayakan seseorang menduduki jabatan hakim adalah menguasai hukum halal dan haram dalam pandangan syari’at Allâh Azza wa Jalla . Dia memiliki kemampuan untuk merujuk kepada sumber-sumber (referensi) syari’at Islam, mengistinbath (menyimpulkan) hukum dari peristiwa-peristiwa yang diajukan kepadanya. Kemudian dia diwajibkan untuk berijtihad dan berusaha mencari yang benar serta memutuskan hukum berdasarkan sesuatu yang dipandang benar. Jika seorang hakim berani mengambil keputusan hukum tanpa pertimbangan matang, belum mengerahkan seluruh kemampuan, dan tidak memahami syari’at Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka dia berdosa walaupun keputusannya sesuai dengan kebenaran dan realita yang sesungguhnya. Karena kesesuaiannya dengan kebenaran adalah satu kebetulan, tidak disengaja. Jika dia pernah benar satu kali, maka sesungguhnya dia telah berkali-kali berbuat kesalahan. Dan sungguh celaka hakim yang mengetahui kebenaran, namun dia memutuskan dengan yang suatu yang salah karena mengharapkan keuntungan duniawi yang sedikit, atau terdorong oleh hawa nafsu, dendam dan kezhaliman.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ
Hakim itu ada tiga : satu orang di surga dan dua lagi di neraka; Adapun yang masuk surga adalah seorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Seorang yang mengetahui kebenaran tetapi dia berbuat durhaka dalam menetapkan hukum maka dia di neraka dan seorang yang memutuskan hukum bagi manusia dengan kebodohan, maka dia pun di neraka.[10]
FAWA-ID HADITS
- Gugatan (tuduhan/klaim) itu ada dalam masalah darah dan harta.
- Syari’at Islam diturunkan untuk memelihara harta dan darah manusia.
- Bayyinah (bukti) wajib didatangkan oleh orang yang menggugat (menuduh/mengklaim).
- Apabila orang yang mengingkari enggan bersumpah, maka ia dihukumi sebagai orang yang bersalah.
- Para ahli ilmu sepakat bahwa mendatangkan bukti itu dilakukan oleh orang yang mengajukan klaim, dan sumpah bagi orang yang mengingkarinya.
MARAJI’
- al-Qur-ân dan terjemahnya.
- Shahîh al-Bukhâ
- Shahîh Muslim
- Musnad Imam Ahmad
- Sunan Abu Dâwud
- Sunan at-Tirmidzi
- Sunan an-Nasâ-i
- Sunan Ibni Mâjah
- Shahîh Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
- Sunan al-Kubra lil Baihaqi.
- Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
- Qawâ’id wa Fawâ-id minal Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthâ
- Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
- al-Wâfi fî Syarh Arba’în an-Nawawiyyah, Mushthafa al-Bugha dan Muhyiddin Mistu.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1430H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Maksudnya, orang itu akan mengklaim bahwa harta itu miliknya.
[2] Shahîh: HR. Muslim (no. 138 (221)).
[3] HR. Muslim
[4] Shahih: HR. Bukhâri (no. 6646) dan Muslim (no. 1646).
[5] Shahih: HR. Bukhâri (no. 2356) dan HR. Muslim (no. 138 (220)).
[6] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/237).
[7] Shahîh: HR. Bukhâri (no. 2702, 3173, 6143, 6898, 7192), Muslim (no. 1669), Abu Dâwud (no. 4520-4521), at-Tirmidzi (no. 1422), an-Nasâ-i (VIII/5-12), Ibnu Mâjah (no. 2677), dan Ibnu Hibbân (no. 5977-at-Ta’lîqâtul Hisân).
Qasamah: Sumpah yang berulang sebanyak 50 kali dalam dakwaan pembunuhan.
Caranya: Keluarga orang yang dibunuh harus bersumpah sebanyak 50 kali dari 50 orang bahwa si tertuduh benar-benar membunuh. Apabila sebagian tidak mau bersumpah, maka diwakili oleh sebagian lainnya. Dan apabila keluarga orang yang dibunuh tidak mau bersumpah karena tidak ada bukti, maka keluarga orang yang tertuduh bersumpah sebanyak 50 kali, dengan demikian terbebaslah dia dari tuduhan. [Fiqhul Islami (VI/393-394)].
[8] Shahîh: HR. Bukhâri (no. 7169) dan Muslim (no. 1713).
[9] Shahîh: HR. Bukhâri (no. 7532), Muslim (no. 1716), Abu Dâwud (no. 3574), Ibnu Mâjah (no. 2314), al-Baihaqi (X/118-119), dan Ahmad (IV/198, 204).
[10] Shahîh : HR. Abu Dâwud (no. 3573), Ibnu Mâjah (no. 2315), dan al-Baihaqi (X/116) dari ‘Abdullâh bin Buraidah Radhiyallahu anhu.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/12335-penuntut-wajib-mendatangkan-bukti-dan-saksi-dan-terdakwa-bersumpah.html