Serial Fikih Muamalah (Bag. 11): Syarat-Syarat yang Harus Terpenuhi dalam Sebuah Akad
Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 10): Rukun-Rukun yang Harus Ada Saat Berlangsungnya Sebuah Akad
Syarat secara bahasa artinya adalah “Setiap hukum yang telah diketahui dan berhubungan erat dengan sebuah perkara, di mana jika hukum ini terjadi/ terpenuhi, maka terjadi juga perkara tersebut. Syarat itu layaknya tanda akan adanya sesuatu.”
Dalam bahasa Arab, ‘tanda’ bisa disebut (العلامة) dan bisa juga disebut dengan (الشرط). Oleh karenanya, tanda-tanda hari kiamat dalam bahasa Arab disebut (أَشْرَاطُ السَّاعَةِ)
Sedangkan secara istilah, syarat memiliki makna “Mengaitkan sesuatu dengan sesuatu, di mana jika yang pertama itu ada, maka yang kedua pun akan ada juga.”
Dengan istilah lain,
“Segala hal yang mengakibatkan sesuatu menjadi tiada karena ketiadaanya. Dan sebaliknya, meski syarat itu ada, belum tentu sesuatu itu terwujud atau tidak terwujud secara zatnya.”
Imam Al-Jurjani rahimahullah memberikan detail tambahan pada pengertian syarat,
”Syarat adalah hal eksternal di luar esensi sesuatu.”
Contohnya adalah wudu. Wudu merupakan syarat sahnya salat, sedang kita tahu bahwa wudu bukanlah termasuk bagian dari rangkaian prosesi salat.
Dalam proses akad, ada beberapa persyaratan umum yang harus dipenuhi:
Yang pertama: Hendaknya ikrar ‘ijab’ tetap utuh semenjak diucapkannya
Maksudnya adalah apabila seseorang telah mengikrarkan untuk memulai sebuah akad agar akad tersebut menjadi sah, ikrar ijabnya tersebut harus tetap utuh sampai pihak yang ingin ia ajak melakukan akad tersebut merestui.
Agar sebuah akad itu dianggap sah, pihak pertama tidak boleh membatalkan ikrar ijab yang telah ia lakukan. Jika di tengah jalan ia membatalkan ikrar ijabnya, otomatis akad tersebut menjadi batal menurut pendapat mayoritas ulama. Karena akad berdiri atas asas keridaan dan kerelaan dari kedua belah pihak, jika pihak pertama (yang mengikrarkan ijab) membatalkan akad, maka akad pun menjadi batal.
Menurut pendapat mayoritas ulama, saat seseorang tidak jadi melakukan ikrar ‘ijab’, maka bisa dengan dua cara:
Pertama: Jelas dan terang-terangan, seperti seorang penjual yang mengatakan, “Aku jual mobil ini dengan harga 200 juta.” Kemudian ia mengatakan, “Tidak jadi, aku ralat harganya menjadi 300 juta.”
Dalam kasus di atas ijab yang kedua menjadi pembatal ijab yang pertama, sehingga ijab yang pertama seakan-akan tidak pernah terjadi.
Kedua: Tersirat/ dengan indikasi. Contohnya adalah ucapan seseorang, “Aku jual mobil ini dengan harga 200 juta.” Kemudian ia berpaling dari ijabnya tersebut dan memulai obrolan lain yang tidak ada hubungannya dengan ijab tersebut.
Baca Juga: Allah Maha Menutupi Aib Hamba-Nya
Kedua: Keinginan untuk melakukan transaksi selamat dari hal-hal yang dapat merusaknya
Hendaknya ijab dan kabul yang diikrarkan menggambarkan langsung keinginan yang sah di dalam terwujudnya sebuah akad. Dan keinginannya tersebut selamat dari paksaan, kesalahan, tipuan, dan ketidakadilan.
Akad yang didasari paksaan, maka menurut pendapat jumhur ulama hukumnya batal. Apa yang aslinya diperbolehkan karena sebab keterpaksaan, maka menjadi tidak boleh jika sudah hilang paksaannya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إنَّ اللهَ وضَعَ عن أُمَّتي الخطَأَ، والنِّسيانَ، وما اسْتُكْرِهوا عليه
“Sesungguhnya Allah membiarkan (mengampuni) kesalahan dari umatku akibat kekeliruan dan lupa serta keterpaksaan.” (Hadis hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 2045 dan Al-Baihaqi no. 11787)
Hal ini juga karena berlakunya syarat keridaan dan kerelaan hati pada setiap akad yang melazimkan dan mewajibkan sesuatu. Sedangkan paksaan menghilangkan keridaan.
Akad yang di dalamnya terdapat usaha untuk menipu pihak lain, maka juga akan mempengaruhi kelaziman akad tersebut. Bagi yang ditipu, maka ia mendapatkan hak khiyar (memilih) antara menyetujui akad atau membatalkannya.
Syekh Ahmad Al-Qari mengatakan,
“Tipuan yang mewajibkan dan mengharuskan adanya hak memilih (bagi korban penipuan) ada dua macam. Yang pertama, menyembunyikan cacat dan kekurangan. Yang kedua, tipuan untuk meninggikan harga barang, walaupun tidak ada kecacatan padanya, seperti mempercantik/ mewarnai wajah budak perempuan ataupun menyemir hitam rambutnya.” (Kitab Al-Mathla’ Alaa Abwabi Al-Muqni’ karya Al-Ba’li, hal. 236)
Baca Juga: Pentingnya Tauhid dan Keikhlasan
Ketiga: Kesesuaian antara ijab dan kabul
Agar sebuah akad menjadi sah, harus ada kesesuaian dan keselarasan antara ijab dan kabul di semua aspek, baik itu harga yang disetujui, barangnya, tunai, atau utang dan lain sebagainya. Sehingga jika seseorang memulai akad dengan mengucapkan, ‘Aku jual mobil ini seharga dua ratus juta tunai.’ Kemudian pihak kedua mengatakan, ‘Setuju, aku beli mobil ini seharga 200 juta tunai’, maka ijab dan kabulnya sudah sesuai pada semua aspek.
Adapun jika pihak kedua mengatakan, ‘Aku mau jika harganya 100 juta tunai atau 200 juta namun bisa dicicil.’, maka belum ada keselarasan antara ijab dan kabul. Akad seperti ini bukanlah akad yang sah. Hanya saja, jika pihak pertama (orang yang melakukan ijab) menyetujui apa yang dikatakan oleh pihak kedua, maka ini dianggap sebagai akad baru dan menjadi sah.
Keempat: Bersambungnya ijab dengan kabul
Para ahli fikih menyaratkan bersambungnya ijab dengan kabul, tidak boleh ada jarak waktu yang panjang antara keduanya jika kedua orang yang melaksanakan akad sama-sama hadir di tempat yang sama (belanja di toko, misalnya).
Perlu kita ketahui, mayoritas ulama memberikan patokan panjangnya jarak waktu dengan perginya seseorang dari tempat berlangsungnya akad, sehingga terwujudnya ketersambungan antara ijab dan kabul ini akan terjadi apabila kedua belah pihak berada dalam satu tempat yang sama. Ijab dilaksanakan di tempat tersebut, begitu pula dengan kabulnya, walaupun membutuhkan waktu yang panjang untuk mempertemukan ijab dan kabul.
Bukan sebuah keharusan kabul terjadi dari pihak kedua seketika setelah adanya ijab dari pihak pertama. Orang yang hendak menyetujui sesuatu pasti membutuhkan waktu untuk berpikir terlebih dahulu, memperhatikan dengan seksama, dan mempertimbangkan, hingga ia bisa memutuskan apakah menyetujui akad tersebut ataupun menolaknya.
Mengharuskan kesegeraan akan menyusahkan dan memberatkan dirinya, sedangkan keberatan dan kesusahan sangat dijauhkan dalam agama Islam.
Syarat ini berlaku apabila kedua belah pihak berada dalam satu majelis/ tempat yang sama. Adapun jika mereka berdua tidak dalam satu tempat yang sama (gaib) dan menggunakan wasilah berupa pesan teks, berbicara melalui telepon, atau menggunakan situs web (misalnya) untuk melakukan sebuah akad, maka tempat akadnya adalah ‘media pesannya atau waktu di mana ia membuka aplikasi yang digunakan untuk melakukan akad tersebut’. Apabila pihak kedua menyetujuinya, maka terbentuklah akad yang sah dan apabila ia menolak, maka akad tersebut belum sah.
Kelima: Hendaknya setiap akad telah memenuhi syarat-syarat khusus yang berhubungan dengan akad tersebut
Syariat Islam mengkhususkan beberapa syarat-syarat yang wajib dipenuhi saat melangsungkan sebuah akad. Di antaranya memegang barang jaminan, persetujuan wali dalam sebuah akad nikah, adanya saksi pada akad pernikahan, kewajiban tunai dalam akad tukar mata uang, serta pembayaran di muka pada akad salam.
Memegang barang jaminan misalnya, maka itu adalah syarat mutlak sebagaimana yang telah Allah Ta’ala jelaskan,
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah: 283)
Persetujuan wali dalam sebuah akad nikah menjadi syarat penting karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لا نِكاحَ إلا بوليٍّ
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” (HR. Abu Dawud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, dan Ibnu Majah no. 1881)
Hadirnya dua saksi juga merupakan syarat sahnya akad pada pernikahan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ
“Tidak sah nikah, kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Abdurrazzaq VI/196, no. 10473, At-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir XVIII/142, no. 299 dan Al-Baihaqi VII/125)
Adapun syarat wajib tunai dalam akad tukar mata uang, maka berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika benda yang dibarterkan berbeda, maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai.” (HR. Muslim no. 1587)
Itulah beberapa syarat utama yang harus dipenuhi agar akad yang dilakukan oleh seseorang menjadi sah dan legal menurut hukum syariat. Wallahu a’lam bisshawab.
[Bersambung]
Baca Juga: Istigfar: Penutup Segala Amal
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/81328-serial-fikih-muamalah-bag-11-syarat-syarat-yang-harus-terpenuhi-dalam-sebuah-akad.html