Serial Fikih Muamalah (Bag. 14): Syarat yang Tidak Dibenarkan Syariat, Apakah Membatalkan Akad?
Baca pembahasam sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 13): Hukum Syarat Tambahan dalam Sebuah Akad
Jika dalam sebuah akad salah satu pihak menyaratkan sesuatu yang dilarang oleh syariat atau bertentangan dengan kaidah-kaidahnya ataupun bertentangan dengan tujuan maksud akad, apakah akad yang dilangsungkan tersebut menjadi batal ataukah hanya syaratnya saja yang menjadi batal?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dalam mazhab Syafi’iyyah, mereka membedakan antara pengaruh syarat yang tidak dibenarkan dalam akad muamalah harta dan dalam akad pernikahan.
Dalam muamalah harta, syarat yang tidak dibenarkan oleh syariat merusak dan membatalkan akadnya, sehingga akad yang dilangsungkan menjadi tidak sah dan harus diulang. Adapun dalam akad pernikahan, syarat tambahan yang tidak dibenarkan oleh syariat tidak merusak akad secara langsung. Hanya saja, syarat yang tidak benar tersebut menjadi tidak sah dan tidak berlaku.
Pengaruh syarat yang tidak benar dalam sebuah akad menurut mazhab Hanabilah
Ulama Hanabilah membagi syarat yang tidak benar berdasarkan pengaruhnya menjadi dua macam:
Syarat tidak benar yang merusak sebuah akad
Termasuk di dalamnya adalah akad yang menyaratkan adanya akad baru, seperti akad jual beli yang menyaratkan adanya akad utang piutang (sudah kita bahas pada pertemuan sebelumnya). Di antaranya juga adalah akad yang terkumpul di dalamnya 2 syarat.
Dalam akad nikah, syarat yang dapat merusak sebuah akad, contohnya seperti menyaratkan nikah hanya dalam jangka waktu tertentu saja, baik nikah mut’ah [1], nikah muhallil [2], begitu pula akad nikah yang tidak menghalalkan hubungan suami istri, dan akad nikah yang menyaratkan adanya hak khiyar bagi salah satu pihak untuk membatalkan akad, dan yang terakhir adalah akad nikah syighar [3].
BACA JUGA: Zakat Bangunan yang Awalnya Disewakan Lalu Ingin Dijual
Syarat tidak benar yang tidak merusak sebuah akad, namun syarat tersebut menjadi tidak sah
Syarat apa saja yang masuk kategori ini? Masuk di dalamnya syarat-syarat yang meniadakan tujuan asli sebuah akad, seperti seorang penjual yang menyaratkan untuk tidak menyerahkan barang yang dibeli kepada pembeli, seorang suami yang menyaratkan kepada istrinya untuk tidak menafkahinya, atau seorang perempuan yang menyaratkan agar ia bisa tinggal di tempat yang dia pilih atau dipilihkan bapaknya, begitu pula perempuan yang menyaratkan ketiadaan hubungan suami istri dalam pernikahan mereka, ataupun menyaratkan agar si suami harus melakukan ‘azl [4] dalam setiap hubungan yang mereka lakukan.
Termasuk juga, syarat yang yang mengandung sesuatu yang haram seperti menyaratkan jaminan minuman keras ataupun (maaf) babi dalam sebuah akad.
Termasuk di dalam macam ini juga, persyaratan yang mengandung ketidaktahuan. Contohnya adalah seorang pembeli yang menyaratkan adanya hak memilih dan waktu tempo pembayaran dengan durasi dan batas waktu yang tidak diketahui.
BACA JUGA: Hukum Berjual-Beli dan Menggunakan Produk Non-Muslim
Pengaruh syarat yang tidak benar dalam sebuah akad menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
Ibnu Taimiyyah rahimahullah membedakan antara syarat yang meniadakan tujuan asli sebuah akad dan syarat yang meniadakan tujuan syariat.
Pertama: Syarat yang meniadakan maksud dan tujuan asli sebuah akad, maka syarat ini dihukumi batil dan membatalkan sahnya sebuah akad.
Kedua: Adapun syarat yang meniadakan maksud dan tujuan syariat, dengan adanya penyelisihan dan pelanggaran terhadap apa yang ada di Al-Qur’an maupun hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti menyaratkan adanya riba, minuman keras, dan lain sebagainya. Maka, dibedakan antara apa yang telah diketahui keharamannya oleh yang memberikan syarat dan apa yang belum ia ketahui keharamannya.
Ketiga: Jika orang yang memberikan syarat mengetahui keharamannya, maka syarat yang disebutkan menjadi batal dan akadnya tetap sah.
Keempat: Adapun jika orang yang memberikan syarat tidak mengetahui keharamannya dan dia mengira bahwa apa yang ia syaratkan itu sah dan wajib dipenuhi, maka baginya hak memilih untuk membatalkan akad tersebut. Ia bisa memilih antara menggugurkan syarat dan tetap melaksanakan akad yang sudah disepakati atau ia bisa memilih untuk membatalkan akad tersebut. Tidak ada bedanya, baik itu akad nikah maupun yang selainnya.
Kesimpulan dan perbandingan singkat pendapat pakar fikih terkait pengaruh syarat yang tidak benar dalam sebuah akad
Pertama: Syarat yang tidak benar dan mengandung suatu keharaman membatalkan sahnya akad menurut pendapat jumhur ulama karena adanya hadis,
نَهى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عن بَيعتَيْن في بيعةٍ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dua transaksi jual beli dalam satu akad jual beli.” (HR. Abu Dawud no. 3461, Tirmidzi no. 1231, dan Nasa’i no. 4632)
Dan hadis,
وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ
“Tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli.” (HR. Abu Dawud no. 3504, Tirmidzi no. 1234, dan An-Nasa’i no. 4611)
Dan dikarenakan sesuatu yang dilarang dalam syariat menunjukkan bahwa hal tersebut menjadi rusak.
Di sisi lain, Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa ada perbedaan hukum antara mereka yang sudah mengetahui keharamannya dan mereka yang belum mengetahuinya. Jika ia tahu akan keharamannya, maka syarat yang ia tawarkan itu menjadi batal dan akadnya tetap sah. Adapun jika ia tidak mengetahui keharamannya, maka baginya hak memilih antara menggugurkan syarat dan melanjutkan akad atau membatalkan akad yang telah disepakati.
Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah rahimahullah karena pendapatnya memiliki tinjauan yang mendetail dan pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil yang ada. Pendapat ini juga lebih memperhatikan stabilitas akad muamalah yang ada.
Kedua: Syarat yang meniadakan tujuan asli sebuah akad dan bertentangan dengan konsekuensinya akan merusak akad tersebut menurut pendapat mayoritas ulama termasuk di dalamnya Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Di sisi lain, mazhab Maliki berpendapat bahwa syarat semacam ini tidaklah merusak akad apabila yang orang yang menyaratkannya menangguhkan syarat tersebut. Adapun jika ia tetap bersikukuh menyaratkan syarat tersebut, maka akadnya menjadi batal.
Pendapat yang lebih kuat pada permasalahan ini adalah pendapat mazhab Maliki karena syarat yang berkaitan dengan akad tersebut merupakan perkara tambahan pada hakikat asli akadnya. Yang mana syarat tersebut hanya berkaitan dengan sifatnya saja dan bukan pada inti akadnya, sehingga jika sifat tersebut telah hilang, hakikat asli dan inti akad tersebut tetaplah berlaku dan sah.
Ketiga: Syarat yang tidak benar dan berkaitan dengan akad nikah tidaklah membatalkan akad, namun hanya membatalkan syaratnya saja dan akadnya tetap sah menurut pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa akad nikah sama saja dengan akad-akad lainnya, tidak menjadi rusak hanya karena adanya syarat yang tidak benar. Ibnu Taimiyyah membedakan antara mereka yang sudah mengetahui keharamannya dan mereka yang belum mengetahuinya. Jika ia tahu akan keharamannya, maka syarat yang ia tawarkan itu menjadi batal dan akadnya tetap sah. Adapun jika ia tidak mengetahui keharamannya, maka baginya hak memilih antara menggugurkan syarat dan melanjutkan akad atau membatalkan akad yang telah disepakati.
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, di mana syarat yang tidak benar menjadi batal, namun akadnya tetap sah. Pendapat inilah yang oleh hukum perundangan-undangan kekeluargaan. Wallahu Ta’ala a’lam bisshawab
[Bersambung]
BACA JUGA:
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/81980-serial-fikih-muamalah-bag-14.html