Beranda | Artikel
Nadzar
Sabtu, 12 Agustus 2023

NADZAR

Nadzar : Seorang mukallaf yang mewajibkan atas dirinya sesuatu yang pada dasarnya hal tersebut tidaklah wajib menurut pandangan syari’at, dengan cara mengucapkan sesuatu yang menunjukan atas sesuatu yang diwajibkan tersebut.

Hukum Nadzar.
Nadzar diperbolehkan bagi seseorang  yang mengetahui akan kemampuan dirinya untuk melaksanakan hal tersebut, dan dia berhukum makruh bagi dia yang mengetahui kalau dirinya tidak mampu untuk melaksanakannya. Nadzar merupakan sesuatu yang tidak terpuji akibatnya, karena terkadang seseorang berhalangan untuk melaksankannya, sehingga dia terkena dosa. Seorang pelaku nadzar telah memberi syarat kepada Allah dan akan menggantinya ketika tercapai apa yang dia inginkan dengan melakukan apa yang telah dia nadzarkan, dan jika tidak tercapai maka dia tidak akan melaksanakannya, padahal Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan hamba serta keta’atannya.

Nadzar merupakan salah satu jenis ibadah, sehingga dia tidak boleh ditujukan terhadap selain Allah, karena padanya terkandung Ta’zim (pembesaran) terhadap dia yang dinadzari dan juga termasuk taqarrub (mendekatkan diri) kepadanya. Barang siapa yang bernadzar kepada selain Allah, baik itu dari kuburan, raja, Nabi ataupun wali, maka sesungguhnya dia telah menyekutukan Allah dengan syirik besar, dan itu merupakan suatu kebatilan yang haram untuk dilaksanakan.

Nadzar tidak akan sah, kecuali dari seorang baligh, berakal, memiliki pilihan, baik itu dari seorang Muslim ataupun kafir.

Pembagian Nadzar:

  1. Nadzar mutlak : seperti perkataan: Saya bernadzar atas nama Allah untuk tidak melakukan ini, apabila dia melakukannya, maka dia wajib untuk membayar kafarat yamin.
  2. Nadzar ketika marah : yaitu ketika mengikat nadzarnya dengan suatu syarat yang bertujuan untuk tidak melaksanakannya, atau agar bisa melaksanakannya, atau untuk meyakinkannya ataupun juga untuk mendustakannya, seperti perkataan: Apabila berbicara terhadapmu, maka saya harus melaksanakan haji, pada saat ini dia diberi pilihan antara melaksanakan apa yang dia nadzarkan atau dengan membayar kafarat.
  3. Nadzar melakukan perbuatan mubah : seperti dia yang bernadzar untuk memakai pakaiannya atau menunggangi hewan tunggangannya ataupun lainnya, pada kesempatan inipun dia diberi pilihan antara pelaksanaan nadzar dan kafarat yamin.
  4. Nadzar makruh : seperti nadzar untuk bercerai dan semisalnya, pada kesempatan ini dia dianjurkan untuk membayar kafarat dan tidak melaksanakan nadzarnya.
  5. Nadzar maksiat : seperti dia yang bernadzar untuk membunuh seseorang, meminum homer, berzina ataupun untuk berpuasa pada hari lebaran, nadzar yang seperti ini tidak dibenarkan dan haram untuk dilaksanakan, baginyapun kafarat yamin, sebagaimana sabda Rasulullah:

لا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ، وَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ». أخرجه أبو داود والترمذي.

Tidak ada nadzar dalam kemaksiatan, dan kafaratnya adalah kafarat yamin” HR. Abu Dawud dan Tirmidzi[1]

  1. Nadzar ta’at : Baik itu secara mutlak, seperti mengerjakan shalat, puasa, haji, umroh, I’tikaf dan semisalnya dengan niat bertakarrub kepada Allah, yang seperti ini wajib untuk dilaksanakan.

Atau juga yang bentuknya mu’allaq (bergantung pada sesuatu), seperti: apabila Allah menyembuhkan penyakitku atau apabila aku mendapatkan keuntungan, maka atas nama Allah aku harus mengeluarkan sekian untuk sedekah atau aku harus berpuasa dan semisalnya. Apabila apa yang dia syaratkan tercapai, maka dia wajib untuk melaksanakannya. Pelaksanaan nadzar merupakan suatu ibadah yang wajib untuk dilaksanakan. Allah telah memuji kaum Mukminin karena mereka melaksanakan nadzarnya.

Allah berfirman tentang sifat orang-orang yang berbuat kebajikan:

 يُوفُونَ بِٱلنَّذۡرِ وَيَخَافُونَ يَوۡمٗا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيرٗا [الانسان: ٧] 

Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana” [Al-Insaan/76 : 7]

Allah berfirman:

وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوۡ نَذَرۡتُم مِّن نَّذۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُهُۥۗ [البقرة: ٢٧٠] 

Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” [Al-Baqarah/2: 270]

عن عائشة رضي الله عنها عن النبي- صلى الله عليه وسلم- قال: «مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ الله فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلا يَعْصِهِ». أخرجه البخاري.

Dari Aisyah Radhiyallahu anha: bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang bernadzar untuk melaksanakan keta’atan terhadap Allah maka hendaklah dia melaksanakannya, dan barang siapa yang bernadzar untuk bermaksiat terhadap-Nya maka hendaklah dia tidak memaksiati-Nya” HR. Bukhori[2].

Barang siapa yang telah bernadzar untuk melaksanakan suatu keta’atan dan dia meninggal sebelum melaksanakannya, maka hendaklah dia dilaksanakan oleh walinya.

Barang siapa yang telah bernadzar untuk melaksanakan keta’atan kemudian dia tidak mampu melaksanakannya, maka dia wajib untuk membayar kafarat yamin.

Nadzar merupakan suatu yang berhukum makruh, sebagaimana perkataan Ibnu Umar : Nabi Shaallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nadzar dan bersabda:

ابن عمر رضي الله عنهما: نهى النبي- صلى الله عليه وسلم- عن النذر وقال: «إنَّهُ لا يَرُدُّ شَيْئاً وَلَكِنَّهُ يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ البَخِيلِ». متفق عليه

Sesungguhnya dia tidak menolak sesuatu, akan tetapi dia bersumber dari seorang kikir” Muttafaq Alaihi[3].

Nadzar dimakruhkan terhadap segala sesuatu yang memberatkan seorang hamba dari amalan serta keta’atan.

Barang siapa yang bernadzar dengan sesuatu yang tidak dia sanggupi dan mendatangkan kesulitan besar baginya, seperti dia yang bernadzar untuk melaksanakan tahajjud semalam penuh, berpuasa selamanya, bersedekah dengan seluruh hartanya, pergi haji atau umroh dengan berjalan kaki, maka yang demikian tersebut tidak wajib untuk dilaksanakan, dan dia berkewajiban untuk membayar kafarat yamin.

Penerima Nadzar
Penerima nadzar keta’atan sesuai dengan apa yang telah diniatkan oleh pengucapnya, sesuai dengan batasan-batasan yang ada dalam syari’at, apabila ketika bernadzar dengan daging dan lainnya dia niatkan untuk fakir miskin, maka dia sendiri tidak boleh memakannya.

Apabila niat yang dia nadzarkan adalah keluarga, pendamping ataupun teman-temannya, maka dia boleh untuk ikut makan bersama, karena dia termasuk salah seorang darinya.

Barang siapa yang mencampurkan dalam nadzarnya antara keta’atan dan maksiat, maka dia berkewajiban untuk melaksanakan keta’atannya dan meninggalkan maksiatnya.

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: بينا النبي- صلى الله عليه وسلم- يخطب إذا هو برجل قائم، فسأل عنه فقالوا: أبو إسرائيل نذر أن يقوم ولا يقعد، ولا يستظل، ولا يتكلم، ويصوم. فقال النبي- صلى الله عليه وسلم-: «مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ، وَلْيَسْتَظِلَّ، وَلْيَقْعُدْ، وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ». أخرجه البخاري

Berkata Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma : Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, tiba-tiba beliau melihat seseorang yang sedang berdiri, maka beliaupun bertanya tentangnya, lalu dijawab oleh para sahabat: itu adalah Abu Israil yang bernadzar untuk berdiri dengan tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara dan berpuasa. Maka berkatalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ، وَلْيَسْتَظِلَّ، وَلْيَقْعُدْ، وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ»..

Perintahkan dia untuk berbicara, berteduh, duduk dan menyempurnakan puasanya” HR. Bukhori[4].

Hukum seseorang yang bernadzar puasa beberapa hari namun bertabrakan dengan hari raya (lebaran)
Dari Ziad bin Jubair dia berkata:

عن زياد بن جبير قال: كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ، فَسَألَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: نَذَرْتُ أنْ أصُومَ كُلَّ يَوْمِ ثُلاثَاءَ أوْ أرْبِعَاءَ مَا عِشْتُ، فَوَافَقْتُ هَذَا اليَوْمَ يَوْمَ النَّحْرِ، فَقَالَ: أمَرَ الله بِوَفَاءِ النَّذْرِ، وَنُهِينَا أنْ نَصُومَ يَوْمَ النَّحْرِ، فَأعَادَ عَلَيْهِ، فَقَالَ مِثْلَهُ، لا يَزِيدُ عَلَيْهِ. متفق عليه.

Suatu waktu saya sedang bersama Ibnu Umar, lalu dia ditanya oleh seseorang: saya bernadzar untuk selalu berpuasa pada hari selasa atau rabu seumur hidupku, dan saya bertemu dengan iedul adha, maka dijawab oleh Ibnu Umar: sesungguhnya Allah memerintahkan untuk melaksanakan nadzar dan melarang kita untuk berpuasa pada hari lebaran, orang tersebut mengulangi lagi pertanyaannya dan Ibnu Umarpun tetap menjawab dengan jawaban yang sama, tanpa menambahkan apa-apa sedikitpun. Muttafaq Alaihi[5].

[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي   (Ringkasan Fiqih Islam Bab :  Qishas dan khudud كتاب القصاص والحدود ). Penulis Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri  Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]
_______
Footnote
[1] Riwayat Tirmidzi no (1524), shohih Sunan Tirmidzi no (1231)
[2] Riwayat Bukhori no (6696).
[3] Muttafaq Alaihi, riwayat Bukhori no (6693), lafadz ini darinya dan Muslim no (1639).
[4] Riwayat Bukhori no (6704).
[5] Muttafaq Alaihi, riwayat Bukhori no (6706), lafadz ini darinya dan Muslim no (1139).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/85668-nadzar.html