Pengaruh Keimanan dan Pendidikan dari Peran Masjid
MASJID DAN PENGARUHNYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Pengaruh Keimanan dan Pendidikan dari Peran Masjid
1. Saling Mengenal dan Persaudaraan Islami
Sesungguhnya at-ta’aruf (saling mengenal) merupakan bagian dari prinsip-prinsip adab islami. Bahkan ia termasuk kebutuhan mendesak dalam berinteraksi di tengah-tengah manusia. Seorang tetangga membutuhkan tetangganya, dan tidak mungkin salah seorang dari mereka dapat bergaul dengan yang lainnya, kecuali jika keduanya saling berkenalan terlebih dahulu. Setiap orang pasti membutuhkan orang lain. Maka bagaimana orang lain dapat bergaul dengannya tanpa di dahului dengan ta’aruf (aktifitas saling berkenalan) terlebih dahulu di antara keduanya? Allah berfirman Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿13﴾ سورة الحجرات
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[Al-Hujurat/49:13].
Dan masjid dapat menjamin menghadirkan penjajakan pengenalan persaudaraan dan keimanan yang tiada terlupakan. Hal tersebut karena orang-orang yang shalat di masjid biasanya berada dalam satu komplek perumahan yang sama, dan kebanyakan mereka tidak bertemu di masjid, kecuali saat menunaikan shalat fardhu. Dan jika majelis taklim di masjid menjadi faktor yang merekatkan mereka di adakan, maka sesungguhnya pertemuan di antara mereka itu, terbilang lebih banyak lagi intensitasnya. Belum lagi pada moment shalat dua hari raya, dan shalat jum’at serta lain sebagainya. Sesungguhnya penduduk warga yang berdomisili di kompleks perumahan yang sama itu, mereka dalam jangka waktu yang singkat, sudah dapat saling mengenal disebabkan intensitas tatap muka dan jabatan tangan sebagian mereka dengan sebagian yang lainnya, serta pertemuan mereka pada majelis-mejelis ilmu bersama dengan ulama-ulama mereka, dan demikianlah keadaannya.
Namun ta’aruf di antara kaum muslimin, bukanlah sekedar mengetahui nama personal, nama ayah, gelar, dan profesinya semata. Sesungguhnya yang dikehendaki adalah lebih daripada itu, yaitu menguatkan unsur-unsur ukhuwah imaniyah (persaudaran keimanan) yang memuat seluruh aktifitas yang dapat menguatkannya, seperti rasa cinta, saling berkunjung, saling berhubungan, menjengut yang sakit, menghadiri undangan, membantu orang yang lemah dan membutuhkan, menyebarkan salam, muka yang berseri dan perkataan yang baik, rendah hati, menerima kebenaran, pemaaf, dermawan, menolak keburukan dengan yang lebih baik, mengutamakan orang lain, berbaik sangka, menolong orang yang terzhalimi, menutupi aib saudaranya yang muslim, mendidik orang yang bodoh, berbuat baik kepada tetangga, menghormati tamu, menunuaikan hak-hak kepada yang berhak, memberikan nasehat kepada setiap muslim, dan kesemuanya ini titik tolaknya adalah baitullah (masjid).
Juga dengan menjauhkan diri dari setiap hal yang melemahkan ikatan persaudaraan keimanan (ukhuwah imaniyah), dari sikap kesewenang-wenangan, hasad, menyepelekan, mengejek, ghibah, adu domba, memboikot, memutuskan silaturahmi, dan sikap-sikap yang dapat menimbulkan keraguan dan kerisauan terhadap saudaranya yang muslim. Bersaing yang tidak sehat di beberapa urusan duniawi yang disyariatkan, seperti membeli barang yang telah dibeli, berpidato saat ada ceramah, berbohong dan berdusta.
Sungguh pemaknaan-pemaknaan yang agung ini dari ukhuwah imaniyah dan mengambil segala unsur yang dapat memperkuatnya, serta menjauhkan segala faktor yang dapat melemahkannya, kesemuanya eksis dalam gambaran yang paling tertinggi saat kita melihat masjid dengan eksistensinya yang paling tinggi dalam bentuk peranannya di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan di zaman para kepemimpinan khulafa’ur rasyidin. Dimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kala itu mengikat tali persaudaraan pertama, yaitu mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar yang dinaungi oleh masjid mereka yang mulia. Persaudaraan mereka diikat dengan dua kalimat persaksian (syahadatain), mereka dipersatukan debawah panji jihad di jalan Allah, sampai-samapai salah seorang dari anshar bertekad untuk menurunkan sebagian harta yang dimilikinya dan salah seorang istrinya yang ditalak untuk diserahkan kepada saudaranya dari kalangan muhajirin. Sehingga tiadalah dari kalangan Muhajirin melainkan mengatakan kepada orang-orang Anshar :
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ
“Semoga Allah menganugerahi keberkahan atasmu, keluargamu dan hartamu.” HR. Al-Bukhari.
Demikian keadaan ahlul masjid (para pemakmur masjid). Maka dimana tingkat pengenalan kaum muslimin saat ini? Realitanya, ada seorang tetangga yang tinggal berdampingan dengan tetangganya yang lain, atau di depannya. Keduanya keluar pada waktu yang bersamaan untuk keperluan aktifitas keduanya, dan keduanya pulang ke rumahnya masing-masing pada waktu yang bersamaan pula, terkadang mereka bertemu di lift yang sama, keduanya turun dan naik. Terkadang seorang dari keduanya tidak memberikan salam kepada yang lainnya. Terkadang salah seorang dari mereka memberikan salam, namun yang lainnya tidak menjawabnya. Terkadang dijawab, namun ia membelakanginya, tidak melihat senyum saudaranya. Terkadang ada yang meninggal dunia hingga sudah dikafani, sementara ia tidak mengetahuinya. Terkadang ada yang keduanya berada dalam satu institusi yang sama, namun salah seorang dari keduanya tidak mengenal yang lainnya. Maka dimana ta’aruf al-masjid (nilai perkenalan masjid)mu, wahai Umat Islam ??!!
2. Mendalami Pengetahuan Agama dan Mengadili kasus-kasus pertikaian [1]
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang duduk di dalam sebuah masjid dan para sahabatnya Radhiyallahu ‘Anhum bertanya kepadanya, kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Fatwa-fatwa dan keputusan-keputusan hukum beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam masjid sudah umum diketahui dan masyhur. Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya secara mu’allaq (Bab. Orang yang menetapkan dan memutuskan hukum di masjid)[2], kemudian berkata : “Umar menetapkan keputusan hukum saat di Mimbar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Demikian pula dengan Syuraih, asy-Sya’bi dan Yahya bin Ya’mar yang menetapkan keputusan hukum di dalam masjid. Juga Marwan menetapkan hukum atas Zaid bin Tsabit di Yaman saat di atas mimbar. Pernah al-Hasan dan Zurarah bin Aufa yang keduanya menetapkan keputusan hukum saat di Rahbah, di luar masjid.
Kemudian kembali ia berkata, “Bab Orang yang memtuskan hukum di dalam masjid.” Dan menyampaikan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata :
أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعًا قَالَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ
“Seorang lelaki mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sementara beliau sedang berada di dalam masjid. Maka ia memanggilnya lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sesungguhnya aku telah melakukan zina’, lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpaling darinya. Maka ketika ada yang memberikan saksi atas diri orang tersebut sebanyak 4 (empat) orang saksi, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Apakah anda menderita sakit jiwa?!.’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak.’ Beliau menginstruksikan, ‘Bawalah ia, lalu rajamlah dia’.”[3]
Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum setelah masa kenabian, diantaranya para khulafa’ur rasyidin berfatwa dan memutuskan hukum di masjid-masjid, dengan demikian bahwa masjid merupakan balai fatwa dan mahkamah pengadilan.
Demikian juga sebagai tempat untuk mendamaikan orang yang sedang bertikai. Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan :
أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِي الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ فَنَادَى يَا كَعْبُ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ضَعْ مِنْ دَيْنِكَ هَذَا وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَيْ الشَّطْرَ قَالَ لَقَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُمْ فَاقْضِهِ
“Bahwa ia memperkarakan hutang Ibnu Abi Hadrad di Masjid, lalu suara keduanya meninggi hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengarnya, sementara beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat itu sedang di rumahnya. Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar ke arah keduanya, sampai-sampai beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuka tirai kamarnya, kemudian berkata, ‘Hai Ka’ab.’ Ka’ab menjawab, “Aku mendengar panggilanmu, ya Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Taruhlah ini pada hutangmu’, sambil menunjuk ke arahnya, yaitu (bantuan) separuhnya. Ka’ab berkata, ‘Sudah kulaksanakan, wahai Rasulullah.’ Belaiau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Berdirilah, lalu putuskanlah.”[4]
3. Menggagalkan Perbuatan Keji Dan Akibat Buruknya Bagi Masyarakat Muslim [5]
Ketika masjid memiliki tempat di hati masyarakat muslim, dimana orang-orang Islam sudah tidak lagi menunda-nunda kehadirannya untuk melaksanakan shalat berjama’ah, mulailah terkristalisasi keimanan di dalam hati-hati mereka, sehingga mereka cinta kepada keimanan, dan mencintai Allah dan Rasul-Nya, berbuat amal shalih. Mereka membenci kekufuran dan kefasikan, serta kemaksiatan. Shalat mereka mampu mencegah diri-diri mereka dari perbuatan keji dan mungkar serta kesewenang-wenangan. Mereka tidak melakukan kecuali yang disenangi Allah, mereka berhenti pada batasan-Nya dan mendukung kebenaran yang sejatinya.
Allah berfirman :
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿45﴾ سورة العنكبوت
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Ankabut/29:45].
Diantara sifat orang-orang beriman, adalah menegakkan shalat, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ ﴿71﴾ سورة التوبة
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat.” [At-Taubah/9:71].
Diantara sifat orang-orang mukmin yang mengeakkan shalat, bahwa mereka tidak menginginkan menjalarnya perbuatan keji (al-fahisyah) dan menyebarnya kemungkaran. Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ﴿19﴾ سورة النور
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” [An-Nuur/24:19].
Imam al-Qurthubi –semoga dirahmati Allah Ta’ala– mengomentari firman Allah Ta’ala :
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ ﴿45﴾ سورة العنكبوت
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” [Al-Ankabut/29:45].
Dimaksudkan bahwa shalat fardhu yang lima waktu merupakan penggugur dosa-dosa yang terjadi di sela-sela waktu tersebut. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا
“Apa pendapat kalian kalau ada sebuah sungai (mengalir) melalui pintu salah seorang kalian, dimana ia mandi dari air tersebut setiap hari sebanyak 5 (lima) kali. Apakah (masih) ada sesuatu yang tersisa dari kotoran (tubuh)nya?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada sedikitpun yang tersisa dari kotorannya.” Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maka demikianlah permisalan shalat fardhu lima waktu, Allah menghapus segala kesalahan-kesalahan dengan shalat fardhu yang lima itu.”[6]
Selanjutnya mengabarkan bahwa shalat dapat mencegah pelakunya dan pelaksananya dari perbuatan keji dan mungkar. Dari bacaan al-Qur`an yang dibaca di dalamnya mengandung petuah, sedang shalat menjadikan fisik orang yang shalat menjadi beraktifitas. Saat pelaku shalat masuk ke dalam mihrabnya, lalu hatinya khusyu’ dan merendahkan diri kepada Rabbnya, dan ia sadar bahwa ia sedang berdiri di hadapan-Nya, dan bahwa Dia Maha Mengetahui dan Melihatnya, dengan itu jiwanya dibaikan dan ditundukkan, serta masuk ke dalam pengawasan Allah Ta’ala, rasa takutnya terhadap-Nya tampak pada raganya, dan hampir-hampir ia tidak pernah merasakan lelah dari aktifitas shalatnya tersebut, hingga datang naungan shalat lainnya yang denganya ia kembali memasuki sebaik-baiknya keadaan (afdhal halatin), yaitu berdiri menghadap Rabbnya.[7]
Daftar Pustaka
- Al-Islam wa al-Hadharah wa Daur asy-Syabab al-Muslim, an-Nadwah al-‘Alamiyah li asy-Syabab al-Islami (WAMY), 8, th.1405H-1406H
- Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur`an, karya al-Qurthubi.
- Ad-Daur at-Tarbawi lil Masjid, Faraghli Jad Ahmad (Majalah Asy-Syari’ah wa ad-Dirasat al-Islamiyah), edisi.6, 1406H, Rabi’ul Awwal
- Min Qadhaya al-Fikr al-Islami, an-Nadwah al-‘Alamiyah li asy-Syabab al-Islami (WAMY), 1406H, Cet.3
- Al-Masjid wa Dauruhu at-Ta’limi ‘Ibar al-‘Ushur min Khilal al-Halaqat al-‘Ilmiyah, Abdullah Qasim al-Wusyaili, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, 1408 H
- Manahij at-Ta’lim fi al-Masajid wa Uslub at-Tadris fiha, Muhammad ‘Abdul Alim Mursi, bersumber dari sub Pembahasan Pengantar untuk Konferensi Islam II, di London (Bertajuk: Kaum Muslimin di Barat), 1-3, 1414 H.
- Watsa`iq Mu`tamarat Wa Wizara` al-Auqaf Wa asy-Syu`un al-Islamiyah (Kumpulan Dokumen Konferensi-konferensi dan Kementerian Wakaf serta Urusan Islam) Kerajaan Saudi Arabiyah, Konferensi I, II, III, th.1409H.
[Disalin dari الأثر التربوي للمسجد Penulis Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan (Dosen Pasca Sarjana Fakultas Syari’ah, Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah), Penerjemah : Muhammad Khairuddin Rendusara SAg, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]
______
Footnote
[1] Manahij at-Ta’lim fi al-Masajid wa Uslub at-Tadris fiha (hal.10)
[2] Shahih al-Bukhari, XIII/156, beserta ulasannya di Fathul Qadir.
[3] HR. Bukhari (Hukum-hukum, no.6747)&Shahih al-Bukhari (no.7167); HR. Muslim (Hudud, no.1691); HR. At-Tirmidzi (Hudud, no.1428); HR. An-Nasa’i (Jenazah, no.1956); HR. Abu Daud (Hudud, no.4428); HR. Ahmad, II/453.
[4] HR. Bukhari (Shalat, no.445) & dalam Shahih al-Bukhari (no.457); HR. Muslim (Irigasi, no.1558); HR. An-Nasa’i (Etika Hakim, no.5408); HR. Abu Daud (Hukum Peradilan, no.3595); HR. Ibnu Majah (Hukum-hukum, no.3595); HR. Ad-Darimi (Jual Beli, 2587).
[5] Daur al-Masjid fi at-Tarbiyah wa al-A’dad (hal.117-119)
[6] HR. Bukhari (Waktu-waktu Shalat, no.505); HR. Muslim (Masjid-masjid dan tempat-tempat shalat, no.667), HR. At-Tirmidzi (Permisalan-permisalan, no.2868) & (no.2516), HR. An-Nasa’i (Shalat, No.462), HR. Ahmad, II/379, HR. Ad-Darimi (Shalat, no.1183).
[7] Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur`an (XIII/347-348).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/62892-pengaruh-keimanan-dan-pendidikan-dari-peran-masjid.html