Perbedaan Mathla Antar Wilayah
PERBEDAAN MATHLA’ ANTAR WILAYAH
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro
Yang dimaksud dengan mathla’ yaitu “saat terbitnya hilal di suatu wilayah (negara)’. Seiring dengan perjalanan bulan dan matahari, pergantian siang dan malam, sehingga menyebabkan perbedaan terbitnya hilal di masing-masing wilayah. Tidak mustahil memunculkan perbedaan, manakala hendak menentukan pelaksanaan perkara-perkara ibadah, seperti shaum, hari ‘Id ataupun haji, dan aktifitas ibadah lainnya.
Bagaimanakah kita menyikapinya ? Berikut uraian singkat berkaitan dengan perbedaan masalah mathla’.
Berlakukah Perbedaan Mathla’ Hilal?
Ada dua pendapat yang kuat untuk menjawab pertanyaan di atas. Terlepas dari itu semua, permasalahan tersebut tidak lebih seperti persoalan khilafiah lainnya. Dalam hal ini, yang memegang suatu pendapat harus saling berlapang dada dan menghormati pendapat lainnya. Di kalangan ulama, permasalahan ini sebenarnya merupakan salah satu perselisihan yang sangat panjang. Karenanya, ditulis karangan-karangan. Dan setiap madzhab berusaha memenangkan madzhabnya.[1]
Fatwa Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta menyebutkan : “Masalah perbedaan memberlakukan mathla’ atau tidaknya, termasuk ke dalam permasalahan perbedaan-perbedaan pandangan, dan dalam hal ini ijtihad mengambil porsinya. Perselisihan tidak bisa dihindari bagi orang-orang yang mempunyai peran dalam ilmu dan agama, dan itu termasuk perselisihan yang diperbolehkan. Yang benar, akan memperoleh dua pahala. Yaitu pahala ijtihad dan pahala karena benar. Dan yang salah, memperoleh satu pahala, yaitu pahala ijtihad”[2]
Khilaf Dalam Pemberlakuan Mathla’, Begitu Pentingkah?
Berbicara tentang keafdholan dan idealnya sebuah hari raya, memang menjadi harapan semua kaum muslimin dapat berhari raya secara bersamaan. Suara takbir bergemuruh di setiap pelosok dunia Islam, sehingga syiar Islam bersinar.
Tetapi kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Jangankan berangan-angan untuk menyatukan semua kaum muslimin, menyatukan mereka di setiap negeri untuk berhari raya secara bersamaan pun terasa amat sulit. Jalannya berbelit-belit. Meskipun begitu, tidak akan membuat kita berputus asa, tetapi yang seharusnya selalu diupayakan adalah langkah secara nyata.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah bekata ; “Tidak diragukan lagi, sesungguhnya puasa kaum muslimin dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan di negeri mereka tinggal. Itulah yang lebih dekat kepada zhahir dalil-dalil syari’at. Tetapi jika tidak memungkinkan, maka yang lebih dekat kepada kebenaran, yaitu yang telah kami sebutkan di atas (yaitu berpuasa bersama pemerintah,-pent). Wallahu waliyyut taufiq”.[3]
Ha’iah Kibar Ulama menyimpulkan : “Hendaknya dipahami, perselisihan dalam pemasalahan ini, tidak mempunyai akibat yang perlu ditakutkan. Semenjak empat belas abad agama ini muncul, kami tidak mengetahui pernah terjadi bersatunya umat Islam dalam satu ru’yah. Maka semua anggota Ha’iah Kibar Ulama berpendapat, agar permasalahan ini dibiarkan sebagaimana biasanya, dan tidak diperkenankan untuk mengungkitnya. Setiap negeri Islam mempunyai hak ikhtiar melalui ‘alim ulama negeri tersebut, dari dua pendapat yang telah disebutkan di atas, karena setiap pendapat mempunyai dalil dan sandarannya”[4]
Berhari Raya Bersama Pemerintah
Tatkala syari’at menyeru kaum muslimin untuk bersatu dan berpegang teguh dengan tali Allah, serta melarang dari perpecahan dan perselisihan setelah datang kebenaran[5], maka “mentaati dan mematuhi pemerintah muslim menjadi salah satu landasan aqidah Salaf (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)”. Sangat jarang sebuah kitab tidak menerangkan, mensyarah dan tidak menjelaskannya. Itu semua karena sangat pentingnya masalah ini. Sebab dengan mentaati dan mematuhi pemerintah, akan memperlancar secara bersamaan kemaslahatan agama dan dunia. Sedangkan membangkang terhadap pemerintah –baik dengan ucapan atau perbuatan- akan mengakibatkan kerusakan pada dunia dan agama.
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata tentang para penguasa : “Mereka memegang lima urusan kita, yaitu : Jum’at, Jama’ah, Hari Raya, Menjaga Perbatasan dan Menegakkan Hukum. Demi Allah, apa yang Allah perbaiki melalui mereka, itu lebih banyak dari apa yang mereka rusak. Bagaimanapun, demi Allah, mentaati mereka suatu keharusan. Dan menyelisihi mereka merupakan perbuatan kufur”[6]
Rasulullah memerintahkan kita untuk tetap menjaga syi’ar Islam di bawah pemerintahan, sekalipun telah terjadi penyelewengan dalam sebagian pelaksanaannya. Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dan yang lainnya, dari riwayat Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah.
كَيْفَ أَنْتُمْ؟ أَ,ْ قَالَ : كَيْفَ أَنْتَ إِذَاَبَقِيْتَ فِي قَوْمٍ يُؤَخِّرُوْنَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ قَلْتُ : مَا تَا مُرُنِي؟ فَصَلِّ الصَّلاَةِ لِوَقْتِهَا ثُمَّ إِنَّ أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَصَلِّ مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا زِيَادَةُ خَيْرِ
“Bagaimana kalian ?” Atau “Bagaimana jika engkau tinggal di tengah kaum (dalam riwayat lain, disebutkan mereka adalah para penguasa, -pen) yang mengakhirkan shalat dari waktunya?” Aku bertanya. “Dengan apa engkau perintahkan aku?” (Jawab Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Shalatlah engkau pada waktunya. Kemudian, jika shalat ditegakkan, maka shalatlah bersama mereka. Sesungguhnya hal itu menambah kebaikan”[7]
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Hadits ini menunjukkan anjuran untuk mengikuti penguasa pada selain maksiat, agar persatuan tidak terpecah dan tidak terjadi fitnah”[8]
Demikian juga ketika melihat Amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu menyempurnakan shalatnya di Mina, Abdullah bin Mas’ud mengingkarinya, akan tetapi dia tetap shalat bersamanya. Kemudian Abdullah bin Mas’ud berkata, “Berselisih itu semuanya buruk”[9]
Dalam shahihain, dari Abdullah bin Umar, dari Nabi, bahwasanya beliau bersabda.
َلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةِ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعصِيَةِ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَا عَةَ
“Hendaklah seorang muslim mendengar dan mematuhi pada perkara yang dia sukai atau tidak, kecuali dia diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak perlu didengarkan dan dipatuhi”[10]
Dalam Syarah At-Tirmidzi, Syaikh Mubarakfuri berkata : “Jika penguasa memerintahkan dengan sesuatu yang mustahab atau mubah, (hukumnya) menjadi wajib”[11]
Berdasarkan keterangan di atas, maka hendaknya kaum muslimin berhari raya bersama pemerintahnya. Untuk memperjelas masalah ini, pembaca dapat menyimak fatwa-fatwa seputar berhari raya dengan pemerintah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Perkataan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Jibrin hafizhahullah, Fatwa Ramadhan 1/152
[2] Fatawa Ramadhan (1/114), juga (1/123)
[3] Fatawa Ramadhan (1/143)
[4] Fatawa Ramadhan (1/124)
[5] Lihat Majmu’ Fatawa (25/127)
[6] Mu’amalatul Hukkam, Abdus Salam bin Barjas rahimahullah, hal. 5
[7] Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh Muslim, Kitab Shalat, Bab Masajid (41 no. 1.468)
[8] Syarah Shahih Muslim (3/150)
[9] Atsar di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitab Manasik, Bab Ash-Shalatu bi Mina (76 no. 1.960)
[10] HR Bukhari, Kitab Al-Ahkam, Bab As-Sam’u Wath Tha’atu Lil Imam Ma Lam Takum Ma’shiah, Fathul Bari (13/121) dan Muslim, Kitabul Imarah (3 no. 1.469)
[11] Tuhfatul Ahwazi 95/565), Cet. As-Salafiah, Madinah
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3948-perbedaan-mathla-antar-wilayah.html