Membongkar Akar Orientalisme
MEMBONGKAR AKAR ORIENTALISME
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc,
Setelah Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan ajaran ilahi kepada kaum Muslimin. Bangsa Arab khususnya dan kaum Muslimin umumnya menjadi umat yang bersatu seperti bangunan yang kokoh, saling melengkapi dan saling menunjang antar bagiannya. Sehingga tercipta suasana kehidupan mapan, nyaman dan mulia. Kehidupan mulia ini membuat umat-umat non Islam menyimpan kebencian dan hasad. Berlatar belakang kebencian dan dengki ada sebagian orang Yahudi dan Majusi menyebarkan dan memasukkan makar dan tipu daya. Mereka merencanakan konspirasi dengan cermat dan matang untuk menggoyang dan menghancurkan bangunan kokoh umat Islam tersebut.
Pertama kali mereka menanam ranjau-ranjau pada barisan kaum Muslimin dengan menyelundupkan dan membuat makar politik sehingga berhasil membunuh khalifah Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu dan membunuh khalifah Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu sepupu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus khalifah yang keempat. Makar mereka tidak berhenti sampai disini, mereka terus berusaha merongrong dan menghancurkan barisan kaum Muslimin.
Langkag kedua, setelah berhasil mencerai beraikan barisan kaum Muslimin secara politik, mereka mulai mengokohkan dan menegakkan kelompok-kelompok sesat tersebut dengan menyebarkan aqidah Yahudi, Nashrani dan Majusi serta paganisme yang rusak pada kaum Muslimin. Mereka menguatkan aqidah yang rusak ini dengan melakukan kedustaan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membuat hadits-hadits palsu. Melihat gelagat dan prilaku busuk ini, kaum Muslimin tidak tinggal diam. Mereka mulai bangkit untuk melawan dan berusaha menghancurkan makar dan tipudaya mereka ini. Mereka menyatukan barisan setelah al-Hasan bin Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu mengalah dan menyerahkan tumpuk kepemimpinan kaum Muslimin kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhu . Akhirnya urusan kaum Muslimin mulai teratur kembali dan barisan mereka bersatu lagi secara politik.[1]
Demikianlah umat Islam selalu menghadapi perang fisik dan pemikiran dengan para musuhnya. Para musuh Islam ini ingin menundukkan negara dan merampas tanah kaum muslimin serta aqidah mereka bukan karena dosa dan kesalahan yang diperbuat oleh kaum Muslimin. Gerakan mereka ini semata-mata karena kaum Muslimin menarik manusia kepada aqidah yang menuntun mereka agar beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla tidak kepada yang lain. Sebuah Aqidah yang menghormati fithrah dan akal manusia serta membimbing mereka menjadi insan berakhlak mulia dan jauh dari akhlak yang buruk dan rendah.
Meski tujuan Islam itu begitu mulia, namun tetap saja para musuh Islam tidak suka dengan ajaran Islam dan aqidahnya. Kebohongan demi kebohongan terus mereka buat terhadap Islam dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengerahkan segala kemampuan dan perangkat yang mereka miliki baik cetak maupun elektronik, audio maupun visual. Semuanya dikerahkan untuk menyerang kaum Muslimin dan ajaran Islam agar syubhat pemikiran dan kedustaan mereka masuk ke dalam aqidah dan akal pikiran kaum Muslimin.[2]
Salah satu tentara musuh Islam yang menjadi perintis penghancur kesucian dan kemuliaan ajaran Islam dan paling berbahaya bagi para pemuda Islam dan cendikiwan adalah orientalisme dan para tokohnya. Karena mereka bersembunyi dibalik propaganda penelitian ilmiyah yang obyektif dan penuh amanah ilmiyah. Dari sini para tokoh orientalis menulis buku-buku yang berhubungan dengan Islam dan aqidahnya. Sejak lebih dari seratus lima puluh tahun yang lalu hingga kini tokoh-tokoh orientalis telah menerbitkan lebih dari enam puluh ribu buku tentang Islam, kaum Muslimin dan negara mereka, sebagaimana disampaikan DR. Akram Dhiya’ al-Umari dalam buku Mauqif al-Mustasyriqin Minas Sirah was Sunnah, hlm 6-7.
Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Ignaz Goldziher (1850-1921) (197) dalam buku al-Aqîdah wa asy-Syarî’ah fil Islâm dan buku Târîkh Madzâhib at-Tafsîr al-Islâmi[3]. Demikian juga Arent Jan Wensinck (1882-1939) (417) dalam buku Aqîdah Islâmiyah, Nasy’atuha wa Tathawwuruha at-Târîkhi (dalam bahasa Inggris) dan buku Muhammed en de joden te Medina (dalam bahasa Belanda). Sir Hamilton Alexander Raskeen Gibb (1895-1971) (174) dalam buku Mohammedanism dan buku Modern Trends In Islam. Gustave E. Von Grunebaum (1909-1972) (182) dalam bukunya Medieval Islam (al-Islâm Fi al-‘Ashr al-Wasîth) dan buku Muhâwalât Fi Syarhil Islâm al-Mu’âshir.
Apa itu Orientalisme?
Para peneliti Islam mendefinisikan orientalisme dengan penelitian atau kajian akademi yang dilakukan non Muslimin dari non Arab baik dari negara timur (asia) ataupun barat terhadap aqidah, syariat, bahasa dan peradaban Islam dengan tujuan membuat keraguan pada agama yang lurus ini dan menjauhkan manusia darinya.[4]
Dengan demikian orientalis (al-mustasyriqûn) adalah istilah umum mencakup kelompok-kelompok non Arab yang bekerja di medan penelitian ilmu ketimuran secara umum dan Islam secara khusus. Tujuan mereka bukanlah untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan, akan tetapi tujuannya adalah membuat dan menebar keraguan pada kaum Muslimin terhadap agama mereka. Sehingga kalau kita perhatikan misalnya penelitian mereka seputar al-Qur’ân pasti kita akan dapati kerancuan dan upaya peraguan. Kalaupun tidak ada lafadz yang menunjukkan hal itu dengan terang-terangan, tapi mesti mereka menggunakan ibarat yang samar dan dapat mengakibatkan keraguan. [5]
Secara Resmi, Kapankah Orientalisme itu ada ?[6]
Para peneliti berbeda pendapat tentang sejarah permulaan orientalisme ini, namun secara resmi dimulai dengan terbitnya ketetapan Majma’ (konferensi) gereja Viena pada tahun 1312 H dengan membentuk sejumlah lembaga penelitian bahasa Arab di sejumlah universitas Eropa. Dengan demikian memungkinkan adanya orientalisme ini secara tidak resmi sebelumnya. Oleh karena itu ahli sejarah hampir sepakat bahwa abad ke-13 adalah permulaan orientalis bersifat resmi
Sejak itu, mereka tidak berhenti mempelajari Islam dan bahasa arab dan menterjemahkan makna kandungan al-Qur’an dan sebagian kitab-kitab berbahasa Arab dan sastranya hingga masuk abad ke-18 Masehi. Ternyata sejumlah pakar barat muncul sebagai 0rientalis dan menerbitkan majalah-majalah di seluruh kerajaan dan negara Eropa. Mereka mencari manuskrip-manuskrip berbahasa Arab di negara Arab dan Islam lalu membelinya dari pemilik manuskrip yang kurang mengerti atau mencurinya dari perpustakaan umum. Mereka memindahkannya ke negara dan perpustakaan mereka. Akhirnya sejumlah besar manuskrip berbahasa Arab yang langka pindah ke perpustakaan Eropa hingga pada awal abad ke-19 M didapati dua ratus lima puluh ribu jilid dan ini terus bertambah hingga sekarang ini.
Karakteristik (Khashâish) Pemikiran Orientalisme.[7]
Orientalisme memiliki karakteristik yang jelas dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian orientalisme. Diantara yang terpenting adalah:
- Terikat dan berhubungan erat dengan kolonialisme (imperalisme/penjajahan).
Khususnya penjajahan Inggris dan Prancis sejak akhir abad ke-18 hingga akhir perang dunia ke-2. Kemudian berhubungan erat dengan penjajahan Amerika Serikat hingga sekarang. Dimana penjajahan meluas maka meluas juga penelitian orientalisme. Kadah yang tidak dapat disangkal lagi bahwa penjajahan selalu ditemani orientalisme; karena ikatan antara keduanya adalah ikatan anggota bagiannya. Tidak ada satu negara kolonial kecuali memiliki lembaga orientalisme. - Terikat dan berhubungan langsung dengan misionaris (gerakan kristenisasi).
Sejarah kristenisasi terikat sekali dengan sejarah orientalisme. Keduanya tidak terpisahkan dalam sejarah kolonialisme politik, pemikiran dan akhlak.
- Memiliki ikatan dan hubungan erat sekali dengan pembuatan ketetapan politik melawan Islam dan kaum Muslimin.
Perencanaan orientalisme untuk kristenisasi dunia Islam atau penghancurannya membuatnya memiliki ikatan kuat dan erat antara penelitian orientalisme dan pembuatan keputusan politik melawan kaum Muslimin. Banyak sekali orientalis yang dahulu atau sampai sekarang masih menjadi penasehat pemerintah mereka dalam perencanaan politik kolonialisme dan kristenisasi. Sebagai contoh:
- Christiaan Snouck Hurgronje (8/2/1857-26/6/1936) [8]Orientalis Belanda ini bekerja sebagai penasehat politik pemerintah Belanda dalam melawan masyarakat Islam Indonesia banyak dikenal masyarakat Indonesia. Disertasinya tentang Het Mekkanche Feest’(Perjalanan Haji ke Mekah). Ia tinggal di Indonesia, sebagai jajahan Belanda hingga 17 tahun dimulai dari tahun 1889 M dengan kedudukan sebagai penasehat pemerintah Belanda di Indonesia. Pertama bekerja selama dua tahun sebagai penasehat pemerintah Belanda di Indonesia dalam masalah Islam dan tinggal di Jawa. Kemudian pada bulan maret 1891 pindah menjadi penasehat dalam bahasa negara timur dan syariat Islam pada kantor pemerintah penjajah Belanda dan tinggal di Aceh pada 1891-1892. Setelah itu ia belajar bahasa melayu dan melakukan perjalanan ke Sumatra hingga menguasai bahasa melayu dengan baik dan menulis buku De Atjehers’ (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894). Baru pada tahun 1906 ia pulang ke Leiden, Belanda dan diangkat sebagai penasehat pemerintah belanda bidang urusan arab dan dalam negeri pada bulan januari 1907 M.
- Duncan Black Macdonald (1863-1943 M) orientalis Inggris yang bekerja sebagau penasehat pemerintahnya dalam perncanaan politik melawan kaum muslimin di wilayah India.
- Louis Massignon (1883-1962 M).[9] Seorang penasehat pemerintah Prancis dalam merancang politiknyta melawan kaum Muslimin di Afrika Utara dan khususnya al-Jazaair.
- Tidak komitmen dengan obyektifitas dan tidak amanah ilmiyah.
Orientalis tidak bisa komitmen dengan obyektifitas dan amanah ilmiyah khususnya bila berhadapan dengan Islam. Bagaimanapun hebatnya mereka mendengungkan obyektifitas dan amanah ilmiyah, namun realitanya mendustakan hal tersebut. Nampaknya disebabkan oleh beberapa poin berikut:
- Pemeliharaan dan pembinaan gereja dan tokoh-tokohnya terhadap orientalis sejak permulaan perkembangannya hingga sekarang. Oleh karena itu seorang peneliti menyatakan bahwa para tokoh orientalis dalam karya-karya ilmiyahnya tidak mampu lepas dari pemikiran mereka yang terdahulu dan perasaan yang sudah terwarisi (dari agama mereka), sebagaimana banyak dari mereka memiliki tujuan-tujuan duniawi yang rusak dari penelitian orientalismenya. (lihat ar-Rasûl fi Kitâbât al-Mustasyriqin, hlm 16).
- Rusaknya Manhaj ilmi mereka karena tidak memperhatikan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab dasar pemikiran orientalisme dari anggapan al-Qur’ân adalah produk manusia dan tidak mengimani kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Tidak memperhatikan sumber-sumber dasar Islam yang pokok dan mencukupkan dengan penelitian yang bersumber dari sumber rujukan yang tidak pokok dan asli.
- Banyak melakukan penipuan dan kebohongan dalam penelitian dengan menampakkan obyektifitas dan komprehensif data penelitian, kemudian memasukkan racun yang merusak secara diam-diam dengan cara dan uslub yang menampakkan kebenaran, ketelitian dan keakuratan pemikiran tersebut. Padahal realitanya tidak demikian.
Sebab dan Pendorong di buatnya Orientalisme.
Ada sejumlah sebab yang mendorong tokoh orientalis melakukan kebohongan atas Islam, diantaranya:
1. Sebab Agama.
Perang Salib menyisakan pengaruh yang sangat dalam di jiwa orang-orang Eropa, karena mereka melihat kemenangan ketentaraan dan peradaban yang dimiliki kaum Muslimin. Disamping itu penyebaran Islam yang begitu cepat ditengah pengikut Nashrani, sehingga mereka masuk Islam dengan puas. Sebagaimana juga orang-orang Nashrani banyak yang merasa kagum terhadap Islam dan kaum Muslimin. Semua ini mendorong para pendeta untuk melakukan gerakan pempelajaran bahasa Arab dan menterjemahkan peninggalan Islam dengan tujuan merusak citra baik Islam dalam pandangan masyarakat Nashrani. Kemudian berkembang menjadi upaya membuat keraguan terhadap kemulian dan kesucian Islam pada kaum Muslimin dan upaya kristenisasi pada kaum Muslimin.
Pendeta besar Petrus berteriak menyatakan bahwa sungguh al-Qur’ân adalah sumber penyimpangan dan terorisme yang mengancam tatanan agama Nashrani (Kristen). Apabila ingin mengalahkannya maka harus mempelajarinya dan menyeru (kepada masyarakat) bahwa al-Qur’ân adalah kitab suci penuh kontradiksi dan pertentangan dan juga berisi hal-hal yang ditolak akal.
Demikian juga persekutuan mereka dengan orang-orang Yahudi mendorong mereka memunculkan orientalisme ini. Orang-orang Yahudi ini mampu membentuk diri mereka untuk menjadi satu bagian pondasi pada gerakan orientalisme Eropa yang beragama Nashrani. Orang-orang Yahudi tidak ingin bekerja didalam gerakan ini sebagai orientalis Yahudi hingga mereka tidak terpisah dan kemudian kecil pengaruh mereka. Oleh karena itu mereka bekerja dengan nama orientalis Eropa. Dengan demikian mereka mendapatkan dua keuntungan:
- Masuk secara langsung dalam gerakan orientalisme ini
- Merealisasikan tujuan mereka merusak Islam. Ini yang menjadi keinginan mayoritas orientalis Nashrani.
Dari sini mereka meniupkan racun melawan Islam dan masuk dalam medan ini dalam keadaan sembunyi dibawah slogan ilmu.
2. Sebab kolonialisme.
Walaupun sebab utamanya adalah agama namun ini menjadi perintis untuk penjajahan negara-negara Islam.
3. Sebab ilmiyah.
Memang masih ada beberapa individu yang masuk dalam orientalisme dengan sebab pendorong senang mengetahui peradaban manusia dan pengetahuan serta aqidahnya.
4. Sebab ekonomi dan perniagaan,
Disamping sebab-sebab di atas ada juga sebab ekonomi dan perniagaan. Orang-orang Eropa berusaha untuk menguasai negeri timur yang kaya dengan sumber daya alamnya untuk mendukung ekonomi mereka. Untuk itu diperlukan satu riset dan penelitian tentang kondisi alam dan lingkungan di negara timur tersebut. Riset penelitian inilah yang akan mendukung ekonomi Eropa dan kebangkitan industri mereka setelah revolusi industri yang terjadi setelah masa kebangkitan mereka.
Tujuan dan Target orientalisme
Dari penjelasan tentang faktor pendorong dan sebab dibangunnya gerakan orientalisme ke negeri timur umumnya dan negara Islam secara khusus, dapat diambil beberapa tujuan gerakan ini sebagai berikut:
- Gerakan orientalisme ini sejak awal bertujuan untuk menjaga penganut Nashrani untuk menyusup menjadi Muslim dengan konsentrasi merusak dan mencoreng wajah indah Islam agar orang-orang Nashrani yakin bahwa Islam itu tidak benar. (lihat lebih lanjut di kitab al-Mûjiz fil Adyân wal Madzâhib, hlm 181)
- Kemudian berubah arah penelitian orientalisme setelah itu kepada obyek umat Islam. Mulailah mereka membuat kebohongan dan kedustaan atas aqidah dan syariat serta sumber rujukannya, agar melemahkan ruh Islam pada kaum Muslimin dan menyebarkan perpecahan internal kaum Muslimin serta berusaha sekuat tenaga untuk mengkristenisasikannya.
- Kemudian terikat setelah itu dengan penjajahan di negara Islam dengan tujuan menguatkan kolonialisme tersebut. Dengan ini maka mereka mampu memaksa negeri-negeri tersebut tunduk menerima pemikiran mereka dan mengagungkan prinsip dasar kapitalis barat dan menghapus Islam dan orang yang komitmen dengannya.
Penulis buku al-Fikrul Islâmi al-Hadîts menyatakan bahwa tujuan dan target orientalis dengan segala jenisnya terfokus pada realisasi sikap jiwa yang rendah dan menimbulkan perasaaan kurang pada jiwa kaum Muslimin dan orang-orang timur serta membawa mereka dari jalan ini untuk ridha dan tunduk dengan bimbingan dan arahan barat. (hlm. 431)
Hal ini membuat para orientalis membuktikan kemajuan dan kehebatan Eropa dari satu sisi dan menampakkan semua gerakan yang mengajak kepada komitmen dengan Islam sebagai sesuatu yang kuno dan terbelakang.
Target dan tujuan yang dibawa para misionaris dan orientalis ini masih ada pada para murid mereka di negeri kita ini. Mereka menganggap kemajuan dan ketinggian peradaban hanya akan bisa dicapai dengan mengekor dan membeo kepada barat dan menjauhi Islam yang mereka gambarkan dengan bahasa fundamentalis dan lainnya.
Sarana Orientalisme melancarkan Serangannya.
Para tokoh orientalis mengetahui dengan pasti bahwa kaum Muslimin tidak bisa dilemahkan kecuali dengan menjauhi mereka dari aqidah dan syariat Islam yang benar. Mereka menggunakan semua sarana yang ada untuk mewujudkan hal ini. Diantara yang terpenting adalah:
Pertama : Dalam bidang karya tulis (at-ta’liif).
- Menulis buku-buku dalam tema yang beraneka ragam tentang Islam, pemikiran, Rasul dan al Qur`ân. Mayoritas karya tulis ini dipenuhi dengan tahrîf (penyimpangan) yang bersandar pada penukilan nash-nash atau memotong-motongnya. Juga dalam memahami realita sejarah dan hasilnya.
- Mereka bekerja sama menulis ensiklopedia tentang Islam yang diberi nama “Dâ`irah al-Ma’ârif al-Islâmiyah” dan menerbitkannya dalam berbagai bahasa. Demikian juga menerbitkan ringkasannya dan dicetak dalam berbagai bahasa seperti enseklopedia tersebut. Para peneliti Islam menganggap ensiklopedia ini sebagai karya terbaik para orientalis dalam mewujudkan tujuan mereka terhadap Islam. Titik bahayanya adalah para orientalis mencurahkan segala kemampuan dan pena mereka untuk menerbitkan inseklopedia ini. Sehingga sekarang sudah menjadi sumber rujukan (referensi) bagi banyak peneliti Muslim dalam penelitiannya. Padahal berisi banyak sekali kerancuan dan kekeliruan serta fanatis besar dalam melawan Islam dan kaum Muslimin.
Kedua : Dalam bidang Pendidikan dan Tarbiyah.
Para tokoh orientalis mengarahkan gerakannya ketengah-tengah lembaga pendidikan dan tarbiyah dan menggunakannya sebagai sarana merealisasikan tujuan mereka secara sempurna. Mereka berusaha menanamkan prinsip-prinsip dasar pendidikan barat (westernisasi pendidikan) dalan jiwa anak-anak kaum Muslimin.
Demikian juga mereka memberikan ceramah-ceramah umum di perguruan tinggi dan lembaga pendidikan islam. Hingga mereka dipanggil dan dijadikan dosen tamu untuk mengajarkan Islam di banyak universitas di Kairo, Damaskus, Baghdad, Karachi, Lahore, Indonesia dan negara-negara Islam lainnya. Sungguh berbahaya sekali bagaimana anak-anak kaum Muslimin mengambil agamanya dari mulut para musuh Islam ?
Para orientalis ternyata tidak cukup hanya dengan ini semua, mereka ingin yang lebih cepat dalam mewujudkan cita-cita mereka. Oleh karena itu mereka mendirikan universitas dan sekolah Nashrani di negara-negara Islam termasuk di Indonesia yang sudah bertebaran dimana-mana.
Ketiga : Dalam bidang kemasyarakatan dan sosial kemanusiaan.
Para misionaris dan orientalis mendirikan rumah sakit, lembaga sosial masyarakat (LSM), sekolah, penampungan pengungsi, panti asuhan dan lain-lain di negara Islam untuk mewujudkan tujuan mereka mengkristenkan dunia.
Keempat : Mu’tamar (konfrensi) dan Musyawarah dunia.
Pada abad ke-19 mulai mengadakan berbagai konferensi internasional untuk orientalis (al-Mu’tamar ad-Dauliyah) untuk memperkuat koordinasi dan kerjasama diantara mereka. Konferensi pertama mereka terjadi di Paris tahun 1873 M, kemudian mengadakan setelah itu beberapa konferensi lagi hingga mencapai lebih dari tiga puluh konferensi internasional.
Kelima : Majalah-majalah orientalisme.
Gerakan orientalisme ini bergerak menerbitkan majalah, buletin dalam jumlah yang besar dapat mencapai lebih dari 300 majalah dalam berbagai bahasa. Kita sebutkan sebagai contoh saja:
- Majalah “al-Islam” tahun 1895 M kemudian digantikan oleh majalah “al-‘Âlam al-Islâmi” tahun 1906 yaang di terbitkan oleh al-bi’tsah al-Ilmiyah al-Faransiyah di Maroko.
- Majalah “Der lslam” pada tahun 1910 M di Jerman.
- Majalah “Mirlslama” taahun 1912 M di Rusia
- Majalah “The Muslim Word “ di Inggris tahun 11911 M didirikan oleh Samuel Marinus Zwemer.
Begitu besar upaya dan kesungguhan musuh-musuh Islam dalam menghancurkan Islam dan memporakporandakan kesatuan kaum Muslimin. Semuanya dilakukan untuk menghalangi manusia dari jalan kebenaran.
Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi kita dan menyadarkan kita akan besar usaha musuh Islam menyesatkan kita semua.
Maraji’
- Min Iftirâ’ât al-Mustasyriqin ‘Ala al-Ushûl al-Aqîdah fi al-Islam, DR Abdulmun’im Fu’aad, Maktabah al-Ubaikaan, cetakan pertama tahun 1422/2001
- Zawâbi’ Fi Wajhis Sunnah Qadîman wa Hadîtsan karya Syaikh Shalâhuddin Maqbûl Ahmad, Majma’ al-Buhuts al-ilmiyah al-Islamiyah, India, cetakan pertama tahun 1411-1991.
- Mausû’ah al-Mustasyriqin , DR Abdurrahman Badawi, Darul Ilmi Lil Malayyin, Bairut, cet ketiga tahun 1993.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1] (diambil secara bebas dari tulisan Syeikh DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi dalam pengantar beliau atas kitab Zawâbi’ Fi Wajhis Sunnah Qadîman wa Hadîtsan karya Syaikh Shalâhuddin Maqbûl Ahmad, hlm 22).
[2] Min Iftirâ’ât al-Mustasyriqin ‘Ala al-Ushûl al-Aqîdah fi al-Islam, DR Abdulmun’im Fu’aad, Maktabah al-Ubaikaan, cetakan pertama tahun 1422/2001, hlm 6-7)
[3] Lihat Difâ’ ‘anis Sunnah karya Muhammad bin Muhammad Abi Syahbah, hlm 328
[4] Diambil dari Min Iftirâ’ât al-Mustasyriqin ‘Ala al-Ushûl al-Aqîdah fi al-Islam, hlm 18)
[5] Lihat at-Tabsyîr wal Istisyrâq Hamalât wa Ahqâd, Muhammad Izat ath-Tahthaawi, hlm 35)
[6] Diambil dari Min Iftirâ’ât al-Mustasyriqin ‘Ala al-Ushûl al-Aqîdah fi al-Islam, hlm 19-20)
[7] Diambil dari Min Iftirâ’ât al-Mustasyriqin ‘Ala al-Ushûl al-Aqîdah fi al-Islam dengan tambahan dari bebrapa referensi seperti Mausû’ah al-Mustasyriqin).
[8] (lihat Mausû’ah al-Mustasyriqin, Abdurrahman Badawi hlm 353-356).
[9] Lihat tentang orientalis ini di Mausû’ah al-Mustasyriqin hlm 529
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3850-membongkar-akar-orientalisme.html