Bolehkah Membuat Bank ASI?
Bank ASI memang belum diterapkan general di Indondesia tetapi ada segelintir orang yang ingin membawa praktek ini ke Indonesia. Dalam syariat yang menjadi permasalahan adalah tercampur dan ketidakjelasan nasab, karena persusuan bisa menyebabkan kemahraman.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَايَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Persusuan itu menyebabkan adanya hubungan mahram, sama seperti keturunan.”[1]
Memang ada beberapa pendapat mengenai masalah kontemporer ini. Secara ringkas pendapat-pendapat tersebut sebagai berikut:
Pendapat Pertama: hukumnya BOLEH
Dengan alasan susuan yang menjadikan mahram adalah menyusu secara langsung dari payudara ibu, sedangkan bank ASI tidak
Pendapat ini TIDAK TEPAT
Karena pendapat terkuat bahwa kemahraman karena persusuan terjadi juga walaupun tidak menyusu langsung. Karena yang yang menyebabkan kemahraman adalah persusuan yang menumbuhkan daging dan tulang, ASI dalam gelas atau bank ASI juga bisa termasuk dalam hal ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا رضاع إلا ما شد العظم وأنبت اللحم
“Tidak termasuk menyusui kecuali susu yang membentuk tulang dan menumbuhkan daging”[2]
Begitu juga dengan kisah Sahlah binti Suhail (istri Abu Hudzaifah) radhiallahu ‘anha ketika Salim bin Ma’qil (bekas budak Sahlah yang diambil anak oleh Abu Hudzaifah) sudah beranjak dewasa dan sering masuk ke rumah mereka, kemudian mereka merasa tidak enak dengan keberadaan Salim (karena anak angkat tetap bukan mahram bagi ibu angkatnya), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Sahlah untuk menyusui Salim supaya menjadi anak susuannya (dan ini adalah kekhususan bagi Sahlah ketika menyusui Salim yang sudah dewasa, karena batas umurnya adalah 2 tahun). Kemudian beliau bersabda,
أرضعيه تحرمي عليه
“Susuilah dia maka dia menjadi haram atasmu (menjadi mahram)”[3]
Maka jelas bahwa Salim radhiallahu ‘anhu tidak langsung menyusu dari payudara Sahlah karena saat itu dia bukan mahram Sahlah saat itu dan tidak layak karena dia sudah dewasa
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata,
ولعله هكذا كان رضاع سالم، يصبه في حلقه دون مسه ببعض أعضائه ثدي امرأة أجنبية
“Mungkin demikian yang terjadi ketika menyusui Salim, susu sampai ke tenggorokannya tanpa menyentuh payudara wanita asing dengan sebagian anggota badannya “[4]
Pendapat Kedua: hukumnya BOLEH dengan SYARAT yang KETAT
Yaitu Syaratnya ASI harus didaftar dan diregistrasi dengan baik, sehingga akan jelas nanti siapa yang mendonor ASIdan siapa yang menerima. Sehingga percampuaran nasab yang dikhawatirkan tidak terjadi.
Pendapat ini juga KURANG TEPAT
Karena dengan menimbang kaidah fiqhiyah yaitu,
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat
Maka menolak mafsadah lebih didahulukan, selain itu meskipun sudah teregestrasi dan tercatat lengkap, faktor kesalahan manusia pasti ada seperti tertukar atau salah catat. Bayi-bayi yang tidak mendapat ASI juga bisa mendapat asi dengan cara mencarikan ibu susu sehingga bank ASI benar-benar tidak diperlukan.
Pendapat Ketiga: hukumnya HARAM
Inilah pendapat yang TERKUAT
Berikut fatwa dan penjelasn Ulama mengenai hal ini.
Fatwa Majma’ Al-fiqh Al-Islami,
بعد أن عرض على المجمع دراسة فقهية، ودراسة طبية حول بنوك الحليب.
وبعد التأمل فيما جاء في الدراستين ومناقشة كل منهما مناقشة مستفيضة شملت مختلف جوانب الموضوع تبين :
1- أن بنوك الحليب تجربة قامت بها الأمم الغربية. ثم ظهرت مع التجربة بعض السلبيات الفنية والعلمية فيها فانكمشت وقل الاهتمام بها.
2- أن الإسلام يعتبر الرضاع لُحمة كلحمة النسب، يحرم به ما يحرم من النسب بإجماع المسلمين. ومن مقاصد الشريعة الكلية المحافظة على النسب، وبنوك الحليب مؤدية إلى الاختلاط أو الريبة.
3- أن العلاقات الاجتماعية في العالم الإسلامي توفر للمولود الخداج – إلقاء المرأة ولدها قبل أوانه لغير تمام الأيام، وإن كان تام الخلق – أو ناقصي الوزن أو المحتاج إلى اللبن البشري في الحالات الخاصة ما يحتاج إليه من الاسترضاع الطبيعي، الأمر الذي يغني عن بنوك الحليب.
وبناء على ذلك قرر :
أولاً : منع إنشاء بنوك حليب الأمهات في العالم الإسلامي.
ثانياً : حرمة الرضاع منها.
Setelah dipaparkan penjelasan secara fiqh dan penjelasan secara ilmu kedokteran tentang Bank ASI, dan setelah mempelajari pemaparan dari masing-masing bidang disiplin ilmu, dan diskusi yang melibatkan berbagai sudut pandang, maka disimpulkan bahwa:
1. Bank ASI telah diuji cobakan di masyarakat barat. Namun muncul beberapa hal negatif, dari sisi teknis dan ilmiah dalam uji coba ini, sehingga mengalami penyusutan dan kurang mendapatkan perhatian.
2. Syariat islam menjadikan hubungan persusuan sebagaimana hubungan nasab. Orang bisa menjadi mahram dengan persusuan sebagaimana status mahram karena hubungan nasab, dengan sepakat ulama. Kemudian, diantara tujuan syariah adalah menjaga nasab. Sementara Bank ASI menyebabkan tercampurnya nasab atau menimbulkan banyak keraguan nasab.
3. Interaksi sosial di masyarakat islam masih memungkinkan untuk mempersusukan anak kepada wanita lain secara alami. Keadaan ini menunjukkan tidak perlunya Bank ASI.”
Berdasarkan kesimpulan di atas maka diputuskan:
1.Terlarangnya mengadakan Bank ASI untuk para Ibu-ibu di tengah masyarakat islam.
2.Haramnya memberikan susu dari Bank ASI.[5]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ditanya mengenai hal ini, beliau menjawab,
حرام ، ولا يجوز أن يوضع بنك على هذا الوجه ما دام أنه حليب آدميات ؛ لأنه ستختلط الأمهات ، ولا يدرى من الأم ، والشريعة الإسلامية يحرم فيها بالرضاع ما يحرم بالنسب ، أما إذا كان اللبن من غير الآدميات فلا بأس .
“Haram. Tidak boleh membuat bank dengan bentuk penampungan semacam ini. Selama susu yang ditampung adalah susu manusia. Karena akan bercampur semua susu wanita, sehingga tidak diketahui siapakah ibu susuannya. Sementara syariat islam menjadikan hubungan susuan sebagaimana hubungan nasab. Adapun jika yang ditampung adalah susu selain manusia, maka tidak jadi masalah.”[6]
Disempurnakan di perpus FK UGM Yogyakarta
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
Artikel asli: https://muslimafiyah.com/bolehkah-membuat-bank-asi.html