Penyebab Perceraian dan Kiat Mengantisipasinya(1)
PENYEBAB PERCERAIAN DAN KIAT MENGANTISIPASINYA?
Oleh
Syaikh Dr. Muhammad Nasir Al-Humaid
Sebab-sebab Perceraian dan Solusinya
Pertama : Suami tidak menunaikan kewajiban -yang dibebankan Allah kepadanya- terhadap istri, yang dikarenakan faktor jahil (tidak mengerti), lalai, atau karena sengaja menentang syari’at Allah.
Selayaknya, seorang suami belajar untuk mengetahui tentang hak-hak istrinya. Tidak menggagap hal ini sepele, dan hendaklah dia takut kepada Allah dalam mempergauli istrinya. dengan demikian, diharapkan bahtera rumah tangga yang mereka arungi bersama akan tetap langgeng di bawah naungan syari’at Islam yang mulia. Diantara hak-hak istri terhadap suaminya, yaitu agar suami memperlakukan istri dengan baik, memberinya nafkah, menghormatinya, berlemah-lembut, memaklumi kekurangan istrinya, dan berhias di hadapannya.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku sangat senang dan berupaya untuk berhias di hadapan istriku, sebagaimana akupun senang jika dia berdandan untuk diriku, karena Allah berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Bagi mereka (para istri) terdapat hak-hak yang wajib ditunaikan (terhadap suami mereka), sebagaimana mereka memiliki hak-hak yang wajib ditunaikan suami. [Al-Baqarah/2:228][1]
Kedua : Tidak mematuhi wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (yaitu) agar menikahi wanita yang taat agama, sebagaimana dalam sabdanya,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذاَتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, maupun agamanya; maka carilah yang taat beragama.[2]
Ketika salah seorang dari pasangan tersebut taat beragama, sementara yang lainnya tidak taat, pasti akan terjadi berbagai macam prahara antara keduanya. Seorang yang taat beragama akan berbuat hal-hal yang diridhai Allah, sedangkan pasangannya yang tidak taat, pasti akan menurutkan hawa nafsunya.
Seyogyanya, seorang pria yang akan meminang wanita agar mengindahkan pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, untuk mencari pasangan yang taat beragama -walaupun harus menunggu lama- hingga mendapatkan wanita tersebut. Dengan menikahi wanita yang taat beragama, niscaya suami akan dapat mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh bahagia, dengan izin Allah tentunya.
Seorang suami memiliki tanggung jawab yang besar untuk mendakwahi istrinya dan menasihatinya dengan penuh kesabaran, bijaksana dan lemah-lembut. Allah Subhanahu wa Ta’alal berfirman,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
Dan perintahkan keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah atasnya.[Thaha/20 : 132].
Allah juga berfirman.
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
Dan serulah manusia ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik. [An-Nahl/16 : 125].
Dengan demikian, diharapkan istri akan dapat menjadi lebih baik dengan izin Allah.
Ketiga : Kondisi rumah tangga yang jauh dari suasana religius serta taat kepada Allah, apalagi jika di dalam rumah itu terdapat berbagai macam sarana yang merusak, seperti: siaran televisi, majalah-majalah ataupun video-video yang meruntuhkan sendi-sendi moral.
Selayaknya, dalam rumah seorang mukmin selalu dibaca Al Qur’an, khususnya surat Al Baqarah yang memiliki keutamaan. Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفُرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ
Janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan; sesungguhnya syetan-syetan akan berlari menjauh dari rumah-rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah.[3]
Dengan demikian jelaslah, bahwa rumah yang tidak pernah dibacakan Al Qur’an, bahkan justru dipenuhi dengan sarana-sarana maksiat yang mengundang murka Allah, (maka rumah itu) akan digandrungi syetan-syetan. Akhirnya, ketenangan dan ketenteraman pun sirna, yang berakibat hancur luluhnya mahligai rumah tangga yang telah dibina.
Seyogyanya, pasangan suami-istri berupaya menjaga rumah mereka agar tidak dimasuki syetan-syetan, sebagaimana mereka menjaganya agar tidak dimasuki pencuri. Keduanya harus menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya, daripada sibuk bergelimang maksiat yang dapat membinasakannya. Hiasilah rumah dengan dzikrullah, ataupun siaran tilawah Al Qur’an. Itulah sebaik-baik teman di rumah. Allah berfirman.
أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Ingatlah dengan dzikir kepada Allah, hati menjadi tenteram. [Ar- Ra’du/13 : 28].
Seorang mukmin yang berakal jangan terkecoh, jika melihat rumah tangga yang penuh bergelimang kemaksiatan dan kemungkaran, namun seolah-olah kedua pasangan suami-istri (tersebut) hidup dengan rukun dan damai tanpa ada perselisihan. Dalam satu hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الله يُعْطِيْ الدُّنْيَا مَنْ أَحَبَّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ وَلَا يُعْطِيْ الدِّيْنَ إِلَّا ِلمَنْ أَحَبَّ
Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan nikmat dunia kepada orang-orang yang dicintainya maupun yang dibencinya; tetapi Dia tidak akan memberikan nikmat beragama, kecuali kepada orang-orang yang dicintaiNya semata.[4]
Allah sengaja memberi tangguh kepada para pelaku kemaksiatan, sebagaimana dalam firmanNya,
لاَيَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلاَدِ ؛ مَتَاعُُ قَلِيلُُ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
Janganlah tertipu dengan perbuatan orang-orang kafir di muka bumi. Sesungguhnya itu hanyalah kenikmatan sesaat, kemudian mereka akan dimasukkan ke neraka Jahannam. Itulah seburuk-buruk tempat. [Al Imran/3 : 196-197].
Sebagaimana firmanNya,
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِئَايَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَيَعْلَمُونَ ؛ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ ؛
Dan orang-orang yang mendustakan ayat Kami, akan Kami beri tangguh mereka, tanpa mereka ketahui. kemudian akan Aku berikan mereka tempo waktu. Sesungguhnya, tipu dayaKu sangat kuat. [Al- A’raf/7 : 182-183].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الله لَيُمْلِيْ لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذاَ أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ
Sesungguhnya, Allah sengaja menangguhkan (hukuman) terhadap seorang yang zhalim, ketika sampai masanya, maka Allah akan menghukumnya dengan tanpa memberi peluang lagi.[5]
Orang yang mau memperhatikan rumah-rumah yang di dalamnya penuh kemaksiatan, akan mendapati, bahwa tidak selamanya mereka hidup dengan damai. Pasti banyak diantara mereka yang hidup dalam kegoncangan dan kegelisahan. Firman Allah Ta’ala,
مَّنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَانَشَآءُ لِمَن نُّرِيدُ
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka akan kami berikan kepada siapa-siapa yang kami kehendaki. [Al-Isra/17 : 18].
Jelaslah, bahwa tidak semua orang yang menginginkan kesenangan dunia akan mendapatkannya.
Keempat : Suami yang tidak penyabar. Mungkin, faktor ini terjadi karena kelalaiannya, ataupun ketidaktahuannya watak dasar dan tabiat wanita yang Allah ciptakan. Wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
استوصوا بالنساء خيرا فإنهن خلقن من ضلع وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه, فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء خيرا
Berbuat baiklah kalian dalam mempergauli wanita. Sesungguhnya, mereka tercipta dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya, tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling di atas. Jika engkau berusaha untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Jika engkau biarkan, maka dia akan tetap bengkok. Maka, berbuat baiklah kalian kepada mereka.[6]
Dalam riwayat lain,
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضَلْعٍ وَلَنْ تَسْتَقِيْمَ عَلىَ طَرِيْقَةٍ فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ, وَ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا, وَكَسْرُهَا طَلَاقُهَا
Sesungguhnya, wanita tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, dan dia tidak akan mungkin dapat tetap istiqomah dengan satu kondisi. Jika engkau bersenang-senang dengannya, maka engkau akan dapati itu padanya, namun dia tetap akan bengkok. Jika engkau berusaha untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya, mematahkannya berarti engkau menceraikannya.[7]
Hendaklah suami menyadari tabiat dasar dan fitrah wanita, agar dapat menyikapinya dengan bijak dan sabar, karena ini adalah kodrat semua wanita. Dengan demikian, suami dapat memaklumi kekeliruan-kekeliruan yang mereka perbuat dan tidak perlu diambil hati. Hasan Basri rahimahullah berkata, “Seorang lelaki mulia tidak akan terlampau memperhitungkan segala kekeliruan istrinya.”[8]
Kelima : Kemarahan yang meluap banyak menjadi penyebab suami terlampau cepat menjatuhkan thalak. Bahkan, sebagaian suami ada yang memiliki tabiat jelek, (yaitu) selalu mengancam akan menceraikan istri, jika melanggar apa yang dibencinya, walaupun hanya sepele.
Seharusnya suami dapat menahan gejolak kemarahan, dan berupaya untuk diam. Jangan sampai suami berbicara semaunya, hingga tanpa sadar mengeluarkan kata-kata “thalak”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Bukanlah orang kuat itu yang dapat menjatuhkan lawan dalam berkelahi, (tetapi) orang yang kuat ialah orang yang dapat meredam kejolak marah, ketika dia akan marah.[9]
Dalam suatu riwayat, pernah seseorang datang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata,”Berilah aku nasihat,” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah engkau marah,” dia kembali bertanya dan Nabi masih terus mengulangi,”Janganlah engkau marah.” [10]
Kiat Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam Mengantisipasi Marah.
- Berusaha untuk diam ketika akan marah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ, وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ
Jika engkau marah, maka diamlah. Jika engkau marah, maka diamlah.[11]
- Berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk.
Sulaiman Ibnu Sard Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, pernah dua orang saling mencerca satu sama lainnya di hadapan Rasulullah. Sementara itu, kami sedang duduk di sisinya. Salah seorang dari mereka menghina yang lainnya dengan marah, hingga merah mukanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالهَاَ لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَو قَالَ: أَعُوْذُ بِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku mengetahui suatu kalimat, jika diucapkan olehnya (laki-laki yang merah mukanya, red.), maka akan hilang kemarahannya. Hendaklah dia berkata: Audzubillahi minasysyaithannirrajim (aku berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk).[12]
- Jika sedang marah, berusahalah untuk duduk. Jika ternyata masih marah, maka hendaklah berbaring. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذاَ غَضَبَ أَحَدُكُمْ وَ هُوَ قَائِمٌ فًلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ و َإِلَّا فَلْيَضْطَجْع
Jika salah seorang kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri, maka hendaklah duduk. Jika masih belum reda marahnya, maka hendaklah berbaring.[13]
- Berwudhu, sebab wudhu dapat memadamkan kemarahan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ نَارٍ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النًارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya, kemarahan itu berasal dari syetan. Dan syetan tercipta dari api. Dan sesungguhnya, api itu dapat dipadamkan dengan air. Jika salah seorang diantara kalian marah, maka berwudhulah.[14]
- Keluar dari rumah guna menghidari pertengkaran.
Dalam hal ini pernah terjadi pada Ali, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahl Ibn Sa’ad, dia menceritakan, Rasulullah mendatangi rumah Fatimah, namun beliau tidak menemukan Ali. Maka beliau bertanya kepada Fatimah,”Mana anak pamanmu (Ali)?”Fathimah menjawab,”Kami sedang bertengkar yang membuat aku marah, maka dia keluar dan tidak tidur siang di rumahku.” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang,”Carilah dimana dia!” Kemudian orang tadi datang dan berkata,”Wahai Rasulullah, dia di masjid sedang tidur,” maka Rasulullah mendatanginya dalam keadaan berbaring, selendangnya terjatuh dari bahunya dan badannya berdebu, maka Rasulullah mengusap debu darinya dan berkata,”Bangunlah wahai Abu Turaab, bangunlah wahai Abu Turaab!”[15]
Kedua suami-istri hendaklah berusaha untuk tidak memancing kemarahan pasangannya, apalagi keduanya telah saling memahami tabiat masing-masing. Dalam hal ini, istri harus berupaya menghindari hal-hal yang membuat suami emosi, dan akhirnya menjatuhkan thalak.
Keenam : Perilaku suami yang jelek acapkali membuat istri menuntut khulu’ (minta diceraikan dengan mengembalikan mahar yang diberikan suami). Banyak suami yang memiliki perangai yang jelek, bermulut keji, selalu mengumpat, melaknat ataupun selalu memukul istri.
Hendaklah para suami takut kepada Allah dalam mempergauli istri. Seharusnya dia bersyukur kepada Allah yang telah memberinya istri. Yang sang istri ini dapat meredam gejolak syahwatnya dan menjadikannya iffah (menjaga kesucian diri), apalagi jika istri telah melahirkan anak-anaknya. Bukankah hal ini sepatutnya menjadikannya bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat.
إِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
Berbuat baiklah kalian dalam mempergauli para istri.
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
Ingatlah, berbuat baiklah kalian dalam mempergauli para istri. Sesungguhnya, mereka adalah ‘awanin[16] (tawanan) di sisi kalian.[17]
Rasulullah bersabda,”Janganlah kalian pukul para istri kalian,” maka Umar datang kepada Rasulullah dan berkata,”Zu’irna[18] an nisa (para istri telah berani menentang para suami),” maka Rasulullah memperbolehkan para suami untuk memukul istrinya. Setelah itu, datanglah para wanita ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadu perlakuan suami mereka, maka Rasulullah berkata,”Banyak para wanita datang ke rumah keluarga Muhammad mengadukan perlakuan suami mereka. Sesungguhnya, para suami yang berbuat itu (memukul istri) bukanlah orang-orang yang terbaik diantara kalian.” [19]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.
لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ
Janganlah salah seorang kalian memukul istrinya seperti memukul hamba, kemudian dia mencampurinya di penghujung hari.[20]
Dalam riwayat lain disebutkan.
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ
Kenapa salah seorang kalian memukul istrinya sebagaimana memukul hamba, kemudian menyetubuhinya di penghujung hari?[21]
Ketujuh : Suami ingin menguasai harta istri, atau memaksa istri agar memberikan harta yang dimilikinya itu kepadanya. Kasus ini banyak menimpa para istri yang memiliki pekerjaan. Biasanya akan merusak hubungan antara keduanya, dan tidak sedikit berakhir dengan perceraian.
Allah berfirman.
وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَآءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلآَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ
Janganlah kalian menahan mereka (para istri) (untuk dapat menikah) agar kalian dapat membawa sebagian dari harta yang mereka berikan kepada kalian, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. [An-Nisa/4:19].
Allah berfirman.
فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
Jika mereka dengan rela memberikan kepada kalian harta mereka, maka makanlah dengan baik-baik. [An-Nisa/4 : 4].
Tidak halal bagi suami mengambil harta istri, kecuali dengan kerelaannya atau jika istri berbuat nuzus. Ketika seorang pria menikahi wanita yang berharta, jika menginginkan harta istrinya, maka dituntut darinya untuk berlemah-lembut. Cara ini lebih efektif baginya untuk mendapatkan keinginannya. Cara lain yang diizinkan untuknya, yaitu dengan mengajukan persyaratan, bahwa istri harus membantunya dengan memberikan sebagian dari hasil gajinya. Dan hal ini sah-sah saja; apalagi dengan bekerjanya sang istri, akan mengurangi sedikit banyak perhatian dan kewajibannya terhadap suami. Demikian ini tidak dapat diingkari, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Kaum muslimin wajib menepati janji (kesepakatan) yang mereka perbuat, kecuali kesepakatan yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan yang haram.[22]
Berapa banyak rumah tangga hancur berantakan ketika istri tidak memberikan apa yang diharapkan suami. Para istri hendaklah memahami hal ini, demi menjaga kelangsungan rumah tangga dan demi kemaslahatan anak-anak agar tidak terlantar. Allah berfirman, وَالصُّلْحُ خَيْرٌ (Sesungguhnya berdamai itu lebih baik). Perbuatan wanita memberikan sebagian harta kepada suami adalah merupakan upaya untuk berdamai. Semoga Allah akan memberikan kepadanya ganjaran terbaik. Allah berfirman.
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ
Barangsiapa yang memaafkan dan berbuat islah, maka ganjaran pahalanya di sisi Allah. [Asy-Syura/42 : 40]
Kedelapan : Sikap acuh suami terhadap istri.
Banyak para suami tidak memberikan perhatian yang cukup dan lebih senang tidur di luar rumah daripada berkumpul dan berkomunikasi dengan istri. Apalagi, terkadang kesibukannya di luar rumah dalam hal-hal yang sepele dan tidak bermanfaat.
Seorang suami dituntut untuk dapat memberikan waktu dan perhatian yang cukup kepada istri. Tidak dibenarkan terus-menerus meninggalkan istri, walaupun dengan dalih sibuk mengerjakan ibadah-ibadah, seperti puasa sunnah maupun shalat malam. Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Jasadmu memiliki hak (beristirahat), matamu memiliki hak (untuk tidur), dan istrimu memiliki hak atas dirimu.[23]
Pernah seorang wanita mendatangi Umar Ibn Al Khathab untuk mengadu,”Wahai, Amirul Mukminin. Suamiku seorang yang selalu berpuasa dan shalat malam. Aku sebenarnya enggan melaporkannya kepadamu karena sikapnya yang selalu melaksanakan ibadah-ibadah sunnah1.” Umar menjawab,”Alangkah bagusnya suamimu,” namun wanita itu masih mengulangi perkataannya, dan Umar menjawab jawaban yang sama. Akhirnya, Ka’ab Al Asadi berkata,”Wahai, Amirul Mukminin. Wanita ini sebenarnya mengadukan sikap suaminya yang tidak peduli lagi padanya,” maka Umar berkata,”Sebagaimana yang engkau pahami dari wanita ini, maka engkau kuserahkan untuk mengadili perkara ini.” Akhirnya Ka’ab memanggil suami wanita itu. Ketika (suami wanita itu) datang, Ka’ab berkata kepadanya,”Istrimu mengadukan engkau kepada Amirul Mukminin.” Dia bertanya,”Karena apa? Apakah karena tidak kuberi makan ataupun minum?” Ka’ab menjawab,”Tidak.”
Akhirnya wanita itu berkata:
يَاأَيُّهَا الْقَاضِي الْحَكِيْمُ رُشْدُهُ أَلْهَى خَلِيْلِيْ عَنْ فِرَاشِي مَسْجِدُهُ
زَهَدَهُ فِي مَضْجَعِي تَعَبُّدُهُ فَاقْضِ الْقُضَا كَعْبُ وَلاَ تُرَدِّدُهُ
نَهَارُهُ وَلَيْلُُهُ مَا يَرْقُدُهُ فَلَسْتُ فِي أَمْرِ النِِّسَاءِ أَحْمَدُهُ
Wahai hakim yang bijaksana,
Masjid telah melalaikan suamiku dari tempat tidurku
Beribadah membuatnya tidak membutuhkan ranjangku
Adililah perkara ini, wahai Ka’ab dan jangan kau tolak
Siang dan malam tidak pernah tidur
Dalam hal mempergauli wanita, aku tidak memujinya
Kemudian suaminya menjawab:
زَهَدَنِي فِي فِرَاشِهَا وَفِي الْحَجَلِ أَنِّي امْرُؤٌ أَذْهَلَنِي مَا قَدْ نَزَلَ
فِي سُوْرَةِ النَّحْلِ وَفِي السَّبْعِ الطُّوْلِ وَفِي كِتَابِ اللهِ تَخْوِيْفٌ جَلَحَ
Aku Zuhud tidak mendatangi ranjang dan biliknya
Karena aku telah dibuat sibuk dan binggung dengan apa yang telah turun
Yaitu surat An Nahl dan tujuh surat yang panjang
Dan Kitab Allah membuat hatiku takut dan risau
Setelah mendengar ini, Ka’ab berkata:
إِنَّ لَهَا عَلَيْكَ حَقًّا يَا رَجُلُ نَصِيْبُهُا فِي أَرْبَعَ لِمَنْ عَقَلَ
فَاعْطِهَا ذَاكَ وَدَعْ عَنْكَ الْعِلَلَ
Dia memiliki hak atasmu, wahai lelaki
Jatahnya empat hari bagi orang yang berakal
Berikah hak itu, dan tinggalkan cela yang ada padamu [24]
(Tulisan ini merupakan karya seorang ulama Dr. Muhammad Nasir Al Humaid. Staf pengajar di Jami’ah Islamiyah Al Madinah KSA)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/1424H/2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tafsir Ibn Katsir 1/ 237
[2] Shahih Al Bukhari, hadits no. 5090, dan Shahih Muslim, hadits no. 1466.
[3] Shahih Muslim, hadits no. 780
[4] Musnad Imam Ahmad, 1/387. Al Mustadrak, 1/33. Dishahihkan Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Hadits ini adalah mauquf dari Ibn Mas’ud. Lihatlah komentar muhaqqiq Al Musnad (Syaikh Al Arna’uth) 6/189-191
[5] Shahih Bukhari, hadits no. 4686
[6] Shahih Bukhari, hadits no. 5186 dan Shahih Muslim hadits no. 1468
[7] Shahih Muslim, hadits no. 1468
[8] Tafsir Al Baghawi 4/364.
[9] Shahih Al Bukhari, hadits no. 611 dan Shahih Muslim, hadits no. 2609
[10] Shahih Al Bukhari, hadits no. 6116.
[11] Musnad Imam Ahmad 1/283-365. Hadits ini hasan lighairihi. Lihatlah komentar muhaqqiq Al Musnad 1/39. Dan Haitsami berkata,”Para perawinya tsiqat.” Majma’ Az Zawaid 8/70
[12] Shahih Al Bukhari, hadits no. 6115. Dan Shahih Muslim, hadits no. 2610
[13] Musnad Imam Ahmad, 5/152. Al Haitsami berkata,”Para perawinya perawi shahih.” Majma Az Zawaid, 8/70
[14] Musnan Imam Ahmad, 4/226, Sunan Abu Daud, hadits no. 4784. Hadis ini hasan. Lihatlah Jami’ Al Ushul, tahqiq Al Arna’uth, 8/439
[15] Shahih Al Bukhari, hadits no. 441, Shahih Muslim, hadits no. 2406
[16] An Nihayah, karya Ibn Atsir 3/314
[17] Sunan At Tirmidzi hadits no. 1163, dia berkata,”Hasan shahih.”
[18] Lihat An Nihayah, karya Ibn Atsir 2/151. Aku berkata,”Dari hadits ini, jelas disyari’atkan bolehnya memukul istri dan dampaknya yang positif dalam mendidik, selama tidak melampaui batas ketetentuan syari’at.
[19] Sunan Abu Dawud hadits no. 2146 dan sanadnya dishahihkan Ibn Hajar, lihat Isabah 1/101, perawi hadits ini adalah Iyas Ibn Abdullah Ibn Abi Ziyab yang masih diperselisihkan, apakah dia sahabat. Lihat At Taqrib no. 590.
[20] Shahih Al Bukhari hadits no. 5204.
[21] Shahih Al Bukhari hadits no. 4942, Shahih Muslim hadis no 2855
[22] Sunan At Tirmidzi hadits no. 1352. At Tirmidzi berkomentar,”Hasan shahih.” Imam Bukhari meriwayatkannya secara al muallaq dengan lafazh المسلمون عند شروطهم. Kitab Ijarah, Bab Ujratus Simsarah
[23] Shahih Al Bukhari hadits no. 5199, Shahih Muslim hadits no. 1159
[24] Tafsir Al Qurtubi 5/11
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2994-penyebab-perceraian-dan-kiat-mengantisipasinya1.html