Sunnah, Sumber Agama
SUNNAH, SUMBER AGAMA
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammd Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar Beliau mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapapan menuju cahaya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya, menunaikan amanah, menyampaikan risalah dan menasihati ummat. Sehingga tidaklah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kecuali agama Islam telah sempurna, nyata, terang-benderang, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali pasti binasa.
Kemudian, risalah Islam ini diteruskan oleh generasi-generasi terbaik umat ini. Mereka menerima dan menyampaikan yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa Al Qur’an dan As Sunnah.
Al Qur’an, kitab suci yang tidak ada kebatilannya semenjak diturunkan, karena memang dijaga oleh Allah Al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa), Al ‘Alim (Yang Maha Mengetahui). Dan As Sunnah, merupakan penjelasan Al Qur’an. Seperti telah disepakati oleh seluruh umat Islam yang terdahulu semuanya, bahwa Sunnah Nabi merupakan sumber kedua di dalam syari’at Islam dalam seluruh sisi kehidupan beragama.
Dalam tulisan ini, secara ringkas akan kami sampaikan dalil-dalil dari para ulama tentang kewajiban berpegang dengan Sunnah, dalam seluruh sisi kehidupan. Namun sebelumnya, kami akan menyampaikan arti As Sunnah secara ringkas, agar tidak terjadi salah pemahaman.
Secara bahasa, arti As Sunnah ialah jalan atau ajaran. Meliputi jalan yang baik atau yang buruk. Adapun Sunnah yang dimaksudkan dalam tulisan ini, ialah Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih, yaitu berupa dalil-dalil agama yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bukan berupa Al Qur’an, meliputi qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), dan taqrir (penetapan, pengakuan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[1]. Yang dimaksudkan dalam tulisan ini bukan Sunnah dalam istilah ahli fiqih, yang semakna dengan mustahab, mandub, tathawwu’, atau nafilah. Juga bukan Sunnah dalam istilah ulama aqidah atau ulama Salaf, yang bermakna ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang lawannya adalah bid’ah. Tetapi Sunnah yang dimaksudkan dalam tulisan ini, yaitu menurut istilah ulama ushul fiqih, sebagaimana di atas. Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Sunnah merupakan hujjah dan satu sumber agama yang wajib diikuti.
Dalil Al-Qur’an
1. Perintah Mentaati Allah Dan Rasul
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan RasulNya jika kamu adalah orang-orang beriman“. [Al Anfal/8 :1].
Dalam menafsirkan ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: “Sesungguhnya keimanan itu mengajak kepada ketaatan kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana jika orang yang tidak mentaati Allah dan RasulNya, maka dia bukanlah seorang mukmin” [2].
Mentaati Allah, yaitu dengan mentaati Al Qur’an, dan mentaati RasulNya ialah dengan mentaati Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Berpaling Dengan Tidak Mentaati Allah Dan Rasul, Merupakan Sifat Orang-Orang Kafir.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan RasulNya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir“. [Ali Imran/3:32].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini menunjukkan, bahwa menyelisihi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam thariqah (jalan, ajaran) merupakan kekafiran. Allah tidak menyukai orang-orang yang bersifat dengannya, walaupun dia mengaku dan menyangka pada dirinya bahwa dia mencintai Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, sampai dia mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, penutup seluruh rasul, dan utusan Allah kepada jin dan manusia”[3]
3. Perintah Mengembalikan Segala Perkara Yang Diperselisihkan Kepada Allah Dan RasulNya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri (ulama dam umara’) diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“. [An Nisaa/4:59].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya. Allah mengulangi kata kerja (yakni: ta’atilah!) sebagai pemberitahuan bahwa mentaati RasulNya wajib secara mutlak, dengan tanpa meninjau (mengukur) apa yang beliau perintahkan dengan Al Qur’an. Bahkan jika Beliau memerintahkan, maka wajib ditaati secara mutlak, baik yang beliau perintahkan itu terdapat dalam Al Qur’an ataupun tidak. Karena sesungguhnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi Al Qur’an dan yang semisalnya”[4]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata: “Kemudian Allah memerintahkan orang-orang beriman agar mengembalikan permasalahan yang mereka perselisihkan kepada Allah dan RasulNya, jika mereka benar-benar orang-orang yang beriman. Dan Allah memberitahu mereka, bahwa hal itu lebih utama bagi mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya. Ini mengandung beberapa perkara.
Pertama : Orang-orang yang beriman terkadang berselisih pada sebagian hukum-hukum. Perselisihan pada sebagian hukum tidak mengakibatkan mereka keluar dari keimanan (tidak kufur), jika mereka mengembalikan masalah yang mereka perselisihkan kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana yang Allah syaratkan. Dan tidak disanksikan lagi, bahwa satu ketetapan hukum yang diterikat dengan satu syarat, maka ketetapan itu akan hilang jika syaratnya tidak ada.
Kedua : Firman Allah “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu”, (maksudnya) mencakup seluruh masalah yang diperselisihkan oleh orang-orang yang beriman, berupa masalah agama, baik kecil atau yang besar, yang terang dan yang samar.
Ketiga : Manusia telah sepakat bahwa mengembalikan kepada Allah, maksudnya mengembalikan kepada kitabNya. (Dan) mengembalikan kepada RasulNya adalah mengembalikan kepada diri Beliau di saat hidupnya dan kepada Sunnahnya setelah wafatnya.
Keempat : Allah menjadikan “mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allah dan RasulNya” termasuk tuntutan dan konsekwensi iman. Sehingga jika itu tidak ada, imanpun hilang.[5]
4. Hidayah (Petunjuk) Hanyalah Dengan Mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam.
قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَاحُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّاحُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَاعَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ
“Katakanlah: “Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban Rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang“. [An Nuur/24:54].
Dalam menafsirkan ayat “Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk”, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata : “Menuju jalan yang lurus dalam perkataan dan perbuatan. Sehingga tidak ada jalan bagimu menuju petunjuk, kecuali dengan mentaatinya. Tanpa itu, tidak mungkin, bahkan mustahil”[6]
5. Ancaman Keras Terhadap Orang-Orang Yang Menyelisihi Perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih“. [An Nuur/24:63].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “FirmanNya ‘Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya’, (perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu jalan, ajaran, Sunnah, dan syari’at Beliau. Sehingga seluruh perkataan dan perbuatan ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Beliau. Yang sesuai dengan itu diterima, dan yang menyelisihinya dikembalikan kepada orang yang mengatakannya atau orang yang melakukannya, siapa pun orang itu”.
Hendaklah orang yang menyelisihi syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, secara lahir atau batin, takut (akan ditimpa fitnah, cobaan, musibah), yakni di dalam hati mereka, yang berupa kekufuran atau kemunafikan atau bid’ah. (Atau ditimpa azab yang pedih), yakni di dunia dengan pembunuhan, had (hukuman), penahanan atau semacamnya”[7]
6. Perintah Mengikuti Wahyu yang Diturunkan Allah Kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang Mencakup Al Qur’an Dan As Sunnah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
اتَّبِعُوا مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)“. [Al A’raf/7 : 3].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan dariNya secara khusus. Dia memberitahukan, barangsiapa mengikuti selainNya, maka dia telah mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya”[8]
Ketahuilah, bahwa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As Sunnah), sebagaimana Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَمَآأَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ
“Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah“. [Al Baqarah/2 : 231].
وَأَنزَلَ اللهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“Dan Allah telah menurunkan Al Kitab dan Al Hikmah kepadamu“. [An Nisaa/4:113]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Allah menyebutkan Al Kitab, yaitu Al Qur’an. Dan menyebutkan Al Hikmah. Aku telah mendengar orang yang aku ridhai, yaitu orang yang ahli ilmu Al Qur’an mengatakan, ‘Al Hikmah adalah Sunnah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[9]
7. Wajib Menyerah Terhadap Hukum Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya“. [An Nisaa/4:65].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan diriNya yang mulia, yang suci, bahwa seseorang tidak beriman sehingga menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim di dalam segala perkara. Apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam putuskan adalah haq, wajib dipatuhi secara lahir dan batin. Oleh karena itu Allah berfirman ‘kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya’. Yaitu jika mereka telah menjadikanmu sebagai hakim, mereka mentaatimu di dalam batin mereka, kemudian tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya lahir batin, dan menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa menolak dan membantah”[10]
8. Wajib Tunduk Tanpa Pilihan, Terhadap Keputusan Allah Dan Keputusan RasulNya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata“. [Al Ahzab/33 : 36].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat ini umum dalam segala perkara. Yaitu, jika Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun menyelisihinya, dan tidak ada pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak juga ada pendapat dan perkataan”[11]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata : “Sesungguhnya tidak ada perbedaan antara keputusan Allah dengan keputusan RasulNya. Orang mukmin tidak ada pilihan untuk menyelisihi keduanya. Dan maksiat kepada Rasul (sama artinya) seperti maksiat kepada Allah. Yang demikian itu merupakan kesesatan yang nyata”[12]
9. As Sunnah Adalah Penjelas Al Qur’an, Maka Keduanya Tidak Bisa Dipisahkan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan Adz Dzikr (peringatan, Al Qur’an) kepadamu, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan“. [An Nahl/16 : 44].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Firman Allah ‘Dan Kami turunkan Adz Dzikr (peringatan) kepadamu -yakni Al Qur’an- agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka -yaitu dari Rabb mereka-‘. Karena pengetahuanmu terhadap makna yang telah Allah turunkan, dan karena keinginanmu terhadapnya dan engkau mengikutinya, dan karena pengetahuan Kami bahwa engkau adalah sebaik-baik makhluk dan penghulu anak Adam, sehingga engkau memerinci apa yang (Al Qur’an) menyebutkan secara global, dan engkau menjelaskan kepada mereka apa yang susah difahami (supaya mereka memikirkan), yaitu memperhatikan diri mereka, kemudian mendapatkan petunjuk, lalu meraih keberuntungan dengan keselamatan di dua negeri (dunia dan akhirat)”[13]
Dengan demikian, orang-orang yang berusaha memisahkan Al Qur’an dengan As Sunnah, dengan sangkaan bahwa sebagian Sunnah bertentangan dengan Al Qur’an atau dengan akal, maka alangkah jauhnya mereka dari akal yang sehat, jalan yang lurus, dan dari iman yang benar!
10. Larangan Mendahului Allah Dan RasulNya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“. [Al Hujurat/49 : 1]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata : “Yaitu janganlah engkau berkata sebelum dia ( Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata. Janganlah engkau memerintah sebelum dia (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) memerintah. Janganlah engkau berfatwa sebelum dia ( Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) berfatwa. Janganlah engkau memutuskan perkara sebelum dia ( Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang memutuskan perkara padanya dan melangsungkan keputusannya”[14]
Dalil As-Sunnah
1. Wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam Untuk Berpegang Dengan Sunnahnya Dan Sunnah Khulafaur Rasyidin.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagimu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan“. [HR Abu Dawud, no. 4.607; Tirmidzi, 2.676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah].
2. Kewajiban Mentaati Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Dan Diantara Penyebab Kebianasaan Umat, Ialah Karena Menyelisihi Para Nabinya.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Biarkan aku apa yang aku tinggalkan. Sesungguhnya orang-orang sebelum engkau binasa disebabkan oleh pertanyaan mereka dan penyelisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka. Jika aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah ia, dan jika aku memerintahkanmu dengan sesuatu, maka lakukanlah semampumu” [HR Bukhari, no. 7.288, dari Abu Hurairah].
3. Apa yang Diharamkan Oleh Nabi Shallallahu Alihi wa Sallam Wajib Diterima, Sebagaimana Apa yang Diharamkan Oleh Allah.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السَّبُعِ وَلَا لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلَّا أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ
“Ingatlah, sesungguhnya aku diberi Al Kitab (Al-Qur’an) dan (diberi) yang semisalnya (yaitu As Sunnah) bersamanya. Ingatlah, hampir ada seorang laki-laki yang kenyang berada di atas tempat tidurnya yang dihiasi, dia akan berkata : “Kamu wajib berpegang dengan Al Qur’an ini. Apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang halal, maka halalkanlah ia! Dan apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang haram, maka haramkanlah ia!” Ingatlah, tidak halal bagi kamu daging keledai jinak, dan (tidak halal) seluruh yang bertaring dari binatang buas, dan (tidak halal) barang temuan milik orang kafir mu’ahid[15], kecuali jika pemiliknya tidak membutuhkannya. Barangsiapa bertamu kepada satu kaum, maka mereka wajib menjamunya. Jika mereka tidak menjamunya, maka dia berhak mengambil dari mereka dengan semisal jamuannya“. [HR Abu Dawud, no. 4.604; Tirmidzi, Ahmad, dan Al Hakim dari Al Miqdam bin Ma’di Karib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
Dalam riwayat lain dengan lafazh :
يُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدَّثُ بِحَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِي فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلَّا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
“Hampir ada seorang laki-laki yang bersandar di atas tempat tidurnya yang dihiasi, disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku, lalu dia akan berkata: “Diantara kami dan kamu ada kitab Allah k . Apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang halal, maka kita menghalalkannya. Dan apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang haram, maka kita mengharamkannya!” Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti apa yang diharamkan oleh Allah“. [HR Ibnu Majah, no. 12, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
4. Mentaati Rasul Merupakan Jalan Ke Surga.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Seluruh umatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan!” Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah! Siapakah yang enggan?” Beliau menjawab,”Siapa saja mentaatiku dia masuk Surga, dan siapa saja bermaksiat kepadaku, maka dia benar-benar enggan (masuk Surga).”. [HR Bukhari, no. 7.280, dari Abu Hurairah].
5. Berpegang Dengan Al Kitab Dan As Sunnah Merupakan Jaminan Terhindar Dari Kesesatan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan untukmu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya. (Yaitu) Kitab Allah dan Sunnah RasulNya“. [Hadits shahih lighairihi, HR Malik; Al Hakim; Al Baihaqi; Ibnu Nashr; Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali di dalam At Ta’zhim Wal Minnah Fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13].
Dari keterangan di atas, jelaslah kedudukan As Sunnah terhadap Al Qur’an. Pertama. Memiliki kedudukan yang sama sebagai sumber agama, karena As Sunnah dan Qur’an, keduanya merupakan wahyu. Kedua. Memiliki kedudukan yang sama sebagai hujjah (argumen) dan wajib untuk diikuti.
Kesimpulannya, Al Qur’an dan As Sunnah adalah dua yang saling menyatu, tidak berpisah. Dua yang saling mencocoki, tidak bertentangan. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004MM. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat kitab-kitab ushul fiqih dalam Bab: As Sunnah
[2] Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat Al Anfal/8 : 1
[3] Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali ‘Imran/3: 32
[4] I’lamul Muwaqqi’in (1 atau 2/46), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002 H.
[5] Diringkas dari I’lamul Muwaqqi’in (2/47-48), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002 H.
[6] Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat An Nuur/24 : 54
[7] Tafsir Ibnu Katsir, surat An Nuur/24 : 63
[8] I’lamul Muwaqqi’in (2/46), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Tahun 1422 H / 2002 H
[9] Ar Risalah, hlm. 32, 33.
[10] Tafsir Ibnu Katsir, surat An Nisa’/4: 65
[11] Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Ahzaab/33 : 36
[12] Al Hadits Hujjatun Binafsihi, hlm. 33.
[13] Tafsir Ibnu Katsir, surat An Nahl/16 : 44
[14] I’lamul Muwaqqi’in (2/49), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002 H.
[15] Orang kafir yang ada perjanjian keamanan dengan kaum muslimin
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2862-sunnah-sumber-agama.html