Setelah sebelumnya kami mengkaji tips persiapan safar dan tips ketika safar, saat ini kita akan memberikan tips sekembali dari safar. Semoga sajian ini bermanfaat dan bisa diamalkan.
Pertama, memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga ketika ingin kembali dari safar. Bahkan tidak disukai jika datang kembali dari bepergian pada malam hari tanpa memberitahukan pada keluarga terlebih dahulu.
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَطْرُقَ أَهْلَهُ لَيْلاً
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk pulang dari bepergian lalu menemui keluarganya pada malam hari.”[1]
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلاً وَكَانَ يَأْتِيهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak pulang dari bepergian lalu menemui keluarganya pada malam hari. Beliau biasanya datang dari bepergian pada pagi atau sore hari.”[2]
Kedua, berdo’a ketika kembali dari safar.
Do’a ketika kembali dari safar sama dengan do’a ketika hendak pergi safar yaitu mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, kemudian membaca,
سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ
“Subhanalladzi sakhkhoro lana hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamunqolibuun[3]. Allahumma innaa nas’aluka fi safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli.” (Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga)
Dan ditambahkan membaca,
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
“Aayibuuna taa-ibuuna ‘aabiduun. Lirobbinaa haamiduun (Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji Rabb kami).”[4]
Ketiga, melakukan shalat dua raka’at di masjid ketika tiba dari safar.
Dari Ka’ab, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tiba dari safar pada waktu Dhuha, beliau memasuki masjid kemudian beliau melaksanakan shalat dua raka’at sebelum beliau duduk.”[5]
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. Tatkala kami tiba di Madinah, beliau mengatakan padaku,
ادْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Masukilah masjid dan lakukanlah shalat dua raka’at.”[6]
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Semoga safar kita menjadi lebih berkah.
Direvisi ulang 13 Ramadhan 1431 H, 23 Agustus 2010 di Panggang-Gunung Kidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] HR. Bukhari no. 1801
[2] HR. Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1928.
[3] QS. Az Zukhruf: 13-14
[4] HR. Muslim no. 1342, dari ‘Abdullah bin ‘Umar
[5] HR. Bukhari no. 3088
[6] HR. Bukhari no. 3087
:: Beberapa Keringanan Ketika Safar ::
Pertama, diperbolehkan bagi musafir untuk tidak berpuasa jika mengalami kesulitan untuk berpuasa ketika safar. Jabir bin ‘Abdillah mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.[33] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
Namun apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak tentu lebih menyenangkan daripada berpuasa sendiri.
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[34] [35] Kedua, mengqoshor shalat yaitu meringkas shalat yang berjumlah empat raka’at (Dzuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua raka’at. Mengqoshor shalat di sini hukumnya wajib sebagaimana hadits dari ‘Aisyah,
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِى الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِى صَلاَةِ الْحَضَرِ.
“Dulu shalat diwajibkan dua raka’at dua raka’at ketika tidak bersafar dan ketika bersafar. Kewajiban shalat dua raka’at dua raka’at ini masih berlaku ketika safar. Namun jumlah raka’atnya ditambah ketika tidak bersafar.” [36] Catatan: Perlu diingat bahwa mengqoshor shalat tetap boleh dilakukan walaupun safar yang dilakukan penuh kemudahan. Keringanan qoshor shalat itu ada karena melakukan safar dan bukan karena alasan mendapat kesulitan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ
“Allah ‘azza wa jalla melepaskan dari musafir separuh shalat.”[37] Lihatlah, dalam hadits ini qashar shalat dikaitkan dengan safar dan bukan dikaitkan dengan kesulitan. Sehingga walaupun safar yang ditempuh penuh kemudahan, tetap masih diperbolehkan untuk mengqoshor shalat.
Ketiga, meninggalkan shalat-shalat sunnah rawatib. Sebagaimana ada beberapa dalil yang menunjukkan hal ini. Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberi keringanan bagi musafir dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Seandainya shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.” [38] Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih melakukan shalat sunnah qabliyah shubuh ketika bersafar. Begitu pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap mengerjakan shalat witir. Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.”[39] Begitu pula untuk shalat malam, shalat Dhuha, shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah muthlaq lainnya, boleh dilakukan ketika safar sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawanya (15/258).