Membaca kata broker, apa persepsi yang muncul dipikiran kita? Persepsi kita bisa berarti orang yang suka minta komisi, ada unsur percaloan. Broker sendiri berarti pedagang perantara. Mungkin takala zaman belum seperti sekarang, seorang produsen yang menciptakan suatu produk disebabkan memiliki keterbatasaan waktu dan tenaga untuk menjual dan memasarkan produknya, kemudian menggunakan jasa broker dengan imbalan komisi bagi yang mampu membawa pembeli.
Broker bertindak sebagai pedagang perantara, berfungsi mempertemukan penjual dan pembeli sehingga mempercepat dan membantu kelancaran proses negoisiasi. Hasil akhir adalah memperoleh komisi dari jasa layanan mereka. Broker menjual informasi tentang apa yang dibutuhkan pembeli, dan mencari pemasok-pemasok mana yang menyediakan barang kebutuhan tersebut.
Di bidang property, seorang broker memiliki peran untuk menegosiasikan penjualan property antara penjual dan pembeli dengan imbalan komisi tertentu. Sebagai broker professional mereka harus bertindak bagi kepentingan penjual dan pembeli dan buka untuk dirinya sendiri, selain itu juga harus bisa menjadi problem solver, mencari solusi bila ada ketidak sesuaian antara penjual dan pembeli dengan pendekatan win-win solution.
Prospek mencari listing (maksudnya mencari pemilik yang sedang/ingin menjual atau menyewa property dan mempercayakan kita untuk memasarkannya), bisa kita dapatkan melalui kawan, kerabat, iklan baris disurat kabar, atau lagi jalan-jalan dan menemukan tanda didepan rumah pemilik. Semuanya itu bisa kita prospek agar bersedia diajak kerja sama dengan kita. Bila kita mendapatkan pembeli kita tawarkan mau tidak sang pemilik memberi komisi kepada kita, atau bekerja sama untuk deal harga, atau sistemnya jual harga dengan cara pemilik menentukan harga terserah kita mau menjual dengan harga berapa. Selisihnya itu menjadi milik kita.
Bagaimana komisi yang didapatkan broker, halal ataukah tidak? Simak bahasan berikut.
Tinjauan Islam Terhadap Komisi Broker (Makelar)
Coba kita lihat fatwa komisi fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah berikut ini:
Pertanyaan:
أخذت زبونا إلى أحد المصانع أو المحلات لشراء بضاعة، فأعطاني صاحب المصنع أو المحل عمولة على الزبون. هل هذا المال حلال (العمولة)؟ وإذا زاد صاحب المصنع مبلغا معينا على كل قطعة يأخذها الزبون، وهذه الزيادة آخذها أنا مقابل شراء الزبون لهذه البضاعة، فهل هذا جائز؟ إذا كان غير جائز فما هي العمولة الجائزة؟
Saya pernah membawa seorang konsumen ke salah satu pabrik atau toko untuk membeli suatu barang. Lalu pemilik pabrik atau toko itu memberi saya komisi atas konsumen yang saya bawa. Apakah komisi yang saya peroleh itu halal atau haram? Jika pemilik pabrik itu memberikan tambahan uang dalam jumlah tertentu dari setiap item yang dibeli konsumen tersebut, dan saya mau menerima tambahan tersebut sebagai atas pembelian konsumen tersebut, apakah hal tersebut dibolehkan? Dan jika hal itu tidak dibolehkan, lalu apakah komisi yang dibolehkan?
Jawaban:
إذا كان المصنع أو التاجر يعطيك جزءا من المال على كل سلعة تباع عن طريقك؛ تشجيعا لك لجهودك في البحث عن الزبائن، وهذا المال لا يزاد في سعر السلعة، وليس في ذلك إضرار بالآخرين ممن يبيع هذه السلعة، حيث إن هذا المصنع أو التاجر يبيعها بسعر كما يبيعها الآخرون – فهذا جائز ولا محذور فيه. أما إن كان هذا المال الذي تأخذه من صاحب المصنع أو المحل، يزاد على المشتري في ثمن السلعة، فلا يجوز لك أخذه، ولا يجوز للبائع فعل ذلك؛ لأن في هذا إضرار بالمشتري بزيادة السعر عليه.
Jika pihak pabrik atau pedagang memberi Anda sejumlah uang atas setiap barang yang terjual melalui diri Anda sebagai balas jasa atas kerja keras yang telah Anda lakukan untuk mencari konsumen, dan uang tersebut tidak ditambahkan pada harga barang, dan tidak pula memberi mudharat pada orang lain yang menjual barang tersebut, di mana pabrik atau pedagang itu menjual barang tersebut dengan harga seperti yang dijual oleh orang lain, maka hal itu boleh dan tidak dilarang.
Tetapi, jika uang yang Anda ambil dari pihak pabrik atau toko dibebankan pada harga barang yang harus dibayar pembeli, maka Anda tidak boleh mengambilnya dan tidak boleh juga bagi penjual untuk melakukan hal tersebut. Sebab, pada perbuatan itu mengandung unsur yang mencelakakan pembeli karena harus menambah uang pada harga barangnya.
Wabillaahit taufiq. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[1]
Fatwa di atas menunjukkan bahwa pengambilan komisi dari broker atau makelar (dari pihak buyer/pembeli) dirinci sebagai berikut:
1. Jika komisi bagi broker dibebankan pada harga yang mesti dibayar pembeli tanpa sepengetahuan pembeli, maka tidak dibolehkan karena merugikan pembeli.
2. Jika komisi bagi broker tidak dibebankan pada pembeli atau dibebankan pada pembeli dengan seizinnya, maka dibolehkan.[2]
Contoh: Bila A memiliki toko bahan bangunan, yang biasanya menjual genteng @ Rp 1.000,- (seribu rupiah), akan tetapi karena konsumen B datang ke toko tersebut dibawa oleh C yang biasanya berprofesi sebagai tukang bangunan, maka A menjual gentingnya kepada B seharga @ Rp. 1.050,- (seribu lima puluh rupiah), dengan perhitungan: Rp 1.000,- adalah harga genteng sebenarnya, dan Rp 50,- adalah fee untuk C yang telah berjasa membawa konsumen ke toko A. Sudah barang tentu, ketika A menaikkan harga penjualan dari Rp 1.000,- menjadi Rp 1.050,- dengan perhitungan seperti di atas, tanpa sepengetahuan B. Dengan demikian, pada kasus seperti ini B dirugikan, karena ia dibebani Rp 50,- sebagai fee untuk C, tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu. Dan ini tentu bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa’: 29)
Adapun bila pemilik toko memberi fee kepada C tanpa menaikkan harga jual, sehingga tetap saja ia menjual genteng tersebut seharga @ Rp 1.000,- maka itu tidak mengapa.
Atau, bila sebelumnya pemilik toko memberitahukan kepada pembeli bahwa harga genting, ditambah dengan fee yang akan diberikan kepada mediator, dan ternyata pembeli mengizinkan, maka praktek semacam ini dibenarkan.[3]
Jika broker tadi adalah dari pihak penjual (seller), maka rinciannya sebagai berikut:
- Jika si broker menaikkan harga tanpa izin atau sepengetahuan si penjual, maka ini tidak dibolehkan.
- Jika si broker menaikkan harga dengan izin atau sepengetahuan si penjual (baik kadar kenaikannya diserahkan kepada broker atau ditentukan oleh pemilik barang), ini dibolehkan.
Broker Harus Jujur dan Amanah
Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah menerangkan, “Hendaklah si broker (makelar) adalah orang yang paham terhadap info yang ia dapat dari penjual atau apa yang diinginkan pembeli. Sehingga dari sini ia tidak merugikan penjual atau juga pembeli, yang awalnya disangka ia punya info, tak tahunya hanya bualan belaka. Si broker juga harus memiliki sifat amanah dan jujur. Si broker tidak boleh hanya menguntungkan salah satu dari keduanya (merugikan lainnya). Jika ada ‘aib (kejelekan) dari produk yang dijual, ia harus menerangkannya dengan amanah dan jujur. Ia pun tidak boleh melakukan penipuan kepada penjual atau pembeli.”[4]
Wallahu a’lam bish showab.
Riyadh-KSA, 27 Rabi’uts Tsani 1432 H (31/03/2011)
Artikel asli: https://rumaysho.com/1671-hukum-komisi-bagi-broker-makelar.html