Bagaimana ibadah Nabi dahulu di gua Hira?
Ketika masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebentar lagi tiba, di kalangan bangsa-bangsa lain, telah tersebar berita bahwa Allah Ta’ala akan mengutus seorang Nabi pada zaman ini dan masa itu telah dekat. Mereka yang mempunyai kitab mengenal hal tersebut dari kitab mereka. Sementara yang tidak memiliki kitab, mereka mengenalnya dari kitab-kitab lain.
Melanjutkan bahasan sebelumnya bahwasanya beliau banyak menyendiri sebelum diangkat menjadi seorang nabi.
Banyak riwayat yang menjelaskan tentang cara ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa itu. Az-Zarqani dalam kitab Syarh Al-Mawahib berkata, “Tidak ada kejelasan tentang cara ibadah beliau di gua Hira, maka secara umum dipahami bahwa sebatas menyendiri dan menjauhi masyarakatnya yang jahiliyah dan itulah bentuk ibadahnya. Selain itu, Ibnu Al-Murabith serta lainnya mengatakan bahwa beliau beribadah dengan tafakkur, dan ini sesuai dengan pendapat jumhur (mayoritas ulama).”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Tafsir Juz ‘Amma (hlm. 260) menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke gua Hira[1] kemudian ber-takhannuts (bersembunyi) dan beribadah kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Allah kepada beliau.
Karena tidak ada dalil tegas tentang jenis ibadah beliau, maka sikap kita adalah menyatakan seperti apa yang dinyatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas lebih tepat, yaitu beliau beribadah sesuai dengan petunjuk yang Allah berikan kepada beliau.
Siapakah Ahlul Kitab?
Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab.” (QS. Ali Imron: 20)
Berikut penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengenai ayat di atas.
Ayat ini ditujukan pada Ahli Kitab di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal ajaran ahli kitab yang hidup di zaman beliau sudah mengalami naskh wa tabdiil (penghapusan dan penggantian). Maka ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menisbatkan dirinya pada Yahudi dan Nashrani, merekalah ahli kitab. Ayat ini bukan khusus membicarakan ahli kitab yang betul-betul berpegang teguh dengan Al Kitab (tanpa penghapusan dan penggantian). Begitu pula tidak ada beda antara anak Yahudi dan Nashrani yang hidup setelah adanya penggantian Injil-Taurat di sana-sini dan yang hidup sebelumnya. Jika setelah adanya perubahan Injil-Taurat di sana-sini, anak Yahudi dan Nashrani disebut ahli kitab, begitu pula ketika anak Yahudi dan Nashrani tersebut hidup sebelum adanya perubahan Taurat-Injil, mereka juga disebut Ahli Kitab dan mereka kafir jika tidak mengimani Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Ta’ala tetap mengatakan kepada orang Yahudi dan Nashrani yang hidup di zaman beliau, “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab.” (QS. Ali Imron: 20) (Lihat Al-Iman, hlm. 49)
Syar’un Man Qablanaa
Yang dimaksud adalah hukum yang Allah syari’atkan pada umat sebelum kita dan disyari’atkan melalui para rasul sebelum kita, seperti syari’at Ahli Kitab.
Ada beberapa macam bentuk syar’un man qablanaa (syari’at sebelum kita), yaitu:
Pertama: Ada hukum yang disyari’atkan kepada umat sebelum kita, lalu Al-Qur’an dan As-Sunnah menyetujuinya. Contoh, syari’at puasa sebagaimana disebutkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Kedua: Hukum yang disyari’atkan pada umat sebelum kita, lalu Al-Qur’an dan As-Sunnah menghapusnya, maka hukum tersebut tidak menjadi hukum untuk kita.
Contoh, penghormatan di masa Nabi Yusuf dengan bersujud sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا
“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” (QS. Yusuf: 100)
Perbuatan di atas dihapus dalam syari’at kita dengan dalil berikut. Yaitu dari Qais bin Sa’ad, ia berkata bahwa ia pernah mendatangi Hirah, ia melihat bahwa orang-orang pada sujud kepada pemimpin mereka. Ia berkata bahwa kita lebih layak sujud kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ketika itu Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan yang ia saksikan tadi, maka Rasul bersabda setelah itu,
فَلاَ تَفْعَلُوا لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Janganlah lakukan seperti itu. Andai aku mau memerintah untuk sujud kepada yang lain tentu aku akan menyuruh istri untuk sujud kepada suaminya karena kewajiban yang besar bagi wanita yang telah Allah tetapkan kepadanya.” (HR. Abu Daud, no. 2140. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Ketiga: Hukum umat sebelum kita yang tidak terdapat dalil penyebutan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kita hanya tahu dari mereka, namun syari’at kita tidak membatalkannya. Seperti ini tidaklah menjadi syari’at kita tanpa ada beda pendapat di antara para ulama.
Seperti orang sebelum kita dari Ahli Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani, lantas mereka tafsirkan dalam bahasa Arab untuk orang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan ketika itu,
لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ ، وَقُولُوا ( آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ ) الآيَةَ
“Janganlah kalian benarkan apa yang diberitakan oleh Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya. Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang ia turunkan.’” (QS. Al-Baqarah: 136). (HR. Bukhari, no. 4485)
Keempat: Hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun tidak ada dalil yang menyatakan hukumnya menjadi syari’at bagi kita ataukah tidak. Para ulama beda pendapat dalam hal ini, ada yang menjadikan itu sebagai syari’at kita dan ada yang tidak.
Semoga Allah senantiasa memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat.
[1] Gua Hira berada pada gunung yang disebut Jabal Nur yang tingginya 281 m dengan panjang pendakian sekitar 645 meter.
Referensi:
- Al-Iman. Cetakan kelima, Tahun 1416 H. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Penerbit Al-Maktab Al-Islami;
- Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah;
- Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Juz ‘Amma. Cetakan ketiga, Tahun 1424 H.H,H Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Daruts Tsuraya;
- Taysir ‘Ilmi Ushul Al-Fiqh. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh ‘Abdullah bin Yusuf Al-Judai’. Penerbit Muassasah Ar-Rayah.
—
@ Perpus Rumaysho, 20 Rajab 1439 H, Jumat sore
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com