Apa hukum merayakan tahun baru dalam Islam bagi seorang muslim?
Hukum merayakan tahun baru bagi seorang muslim adalah haram
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab no. 240949 menyatakan bahwa ikut serta dalam merayakan tahun baru, ini adalah suatu kemungkaran yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim. Karena sudah diketahui bersama bahwa kaum muslimin hanya memiliki dua hari raya yaitu Idulfitri dan Iduladha, juga hari besar pekanan yaitu hari Jumat. Meniru-niru perayaan non-muslim tidaklah keluar dari dua perkara:
- Bid’ah, jika perayaan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti perayaan Maulid Nabi.
- Tasyabbuh dengan orang kafir (menyerupai orang kafir), jika perayaan yang dilakukan sebagai bentuk mengikuti adat (kebiasaan), bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
- Dilihat dari sejarah lahirnya, tahun baru pertama kali dirayakan oleh orang kafir pada 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Perayaan ini berarti bukan dari Islam.
- Merayakan tahun baru berarti mengikuti perayaan orang kafir, inilah namanya tasyabbuh. Tasyabbuh pada perayaan orang kafir itu terlarang.
- Merayakaan tahun baru berarti membuat hari raya baru padahal hari raya umat Islam hanyalah Idulfitri dan Iduladha.
- Mengucapkan selamat tahun baru atau happy new year merupakan ucapan selamat yang tidak dibolehkan karena perayaannya tidak disyariatkan.
- Merayakan tahun baru bisa sampai meninggalkan shalat padahal meninggalkan shalat sekali saja telah melakukan dosa besar yang lebih parah dari berzina dan main judi.
- Merayakan tahun baru termasuk begadang tanpa ada keperluan, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang begadang setelah Isya tanpa ada hajat.
- Merayakan tahun baru termasuk tabdzir, buang-buang harta untuk tujuan yang salah.
- Pada malam tahun baru, kaum muslimin ikut-ikutan membunyikan terompet dan lonceng yang merupakan syiarnya orang Yahudi dan Nasrani.
Baca juga:
Kita seharusnya tidak meniru-niru non-muslim
Yang kita ikuti bukanlah non-muslim atau ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) karena setiap rakaat dalam shalat, kita terus memohon kepada Allah jalan yang lurus yang bukan jalannya orang Yahudi dan Nasrani.
Dalam surah Al-Fatihah disebutkan,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Jalaluddin Al-Mahalli rahimahullah dalam Tafsir Jalalain menerangkan ayat di atas, “Orang-orang yang mendapatkan hidayah itu bukanlah orang-orang Yahudi dan bukan orang-orang Nasrani.” Lihat Tafsir Jalalain, hlm. 10.
Kalau mereka (Yahudi dan Nasrani) tidak mendapatkan hidayah, kenapa sampai perayaan mereka diikuti oleh umat Islam, apalagi yang menjadi mayoritas di negeri ini?
Baca juga: Tafsir Surah Al-Fatihah ayat 6 dan 7, Memahami Shirathal Mustaqim (Jalan yang Lurus)
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah, serta menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.
—
Malam Selasa di Darush Sholihin, 14 Jumadal Ula 1442 H, 29 Desember 2020
Artikel Rumaysho.Com