Tulisan kali ini adalah lanjutan dari bahasan Rumaysho dari kitab Bulughul Maram, bagaimana menyikapi qunut shubuh.
Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Kitab Shalat
بَابُ صِفَةِ الصَّلاَةِ
Menyikapi Qunut Shubuh
Hadits #304
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم قَنَتَ شَهْراً، بَعْدَ الرُّكُوعِ، يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنَ أحياء الْعَرَبِ، ثمَّ تَرَكَهُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqunut bakda rukuk selama sebulan untuk mendoakan kejelekan sebagian bangsa Arab kemudian beliau meninggalkannya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 4089 dan Muslim, no. 677, 304]
Hadits #305
وَلأحْمَدَ وَالدَّارَقُطْنيِّ نَحْوُهُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ، وَزَادَ: فَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.
Menurut Imam Ahmad dan Ad-Daruquthni, ada hadits yang serupa dari jalur yang lain dengan tambahan, “Adapun pada shalat Shubuh, beliau selalu berqunut hingga meninggal dunia.” [HR. Ahmad, 20:95; Ad-Daruquthni, 2:39. Hadits ini dhaif menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan karena jeleknya hafalan Abu Ja’far Ar-Razi, lalu Ar-Rabi’ bin Anas Al-Bakri itu shaduq (jujur), tetapi memiliki awham (kekeliruan). Hadits ini juga menyelisihi hadits yang ada dalam shahihain. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:125-126].
Hadits #306
وَعَنْهُ أَنَّ النَّبيَّ صلّى الله عليه وسلّم كَانَ لاَ يَقْنُتُ إلا إذَا دعَا لِقَوْمٍ، أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ. صَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berqunut kecuali mendoakan kebaikan kepada suatu kaum atau mendoakan kebinasaan kepada suatu kaum. (Hadits ini sahih menurut Ibnu Khuzaimah). [HR. Ibnu Khuzaimah, 620. Hadits ini sahih menurut Syaikh Al-Albani, sebagaimana dinukil dalam Minhah Al-‘Allam, 3:126]
Hadits #307
وعَنْ سَعد بْنِ طَارقٍ الأشْجَعِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قُلْتُ لأبِي: يَا أَبَتِ! إنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم، وَأَبِي بكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَليٍّ، أَفَكانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْفَجْرِ؟ قَالَ: أَيْ بُنَيَّ، مُحْدَثٌ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ، إلاَّ أَبَا دَاوُدَ.
Dari Sa’ad bin Thariq Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku katakan kepada bapakku, ‘Wahai bapakku, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, lantas apakah mereka berqunut dalam shalat Fajar?” Bapakku menjawab, “Wahai anakku, itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh imam yang lima kecuali Abu Daud). [HR. An-Nasai, 2:203; Tirmidzi, no. 402; Ibnu Majah, no. 1241; dan Ahmad, 25:214. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:126]
Faedah hadits
- Ketiga hadits di atas menjadi dalil disyariatkannya qunut nazilah. Qunut ini disyariatkan ketika kaum muslimin dikuasai oleh musuh. Doa ini berarti meminta diberikan keselamatan suatu kaum dan meminta kehancuran pada musuh.
- Imam hendaklah membaca doa qunut yang ringkas dengan doa yang sesuai keadaan. Hendaklah imam tidak berpanjang lebar dalam doa qunut ini, atau tidak menjadikan doa itu secara detail. Doa yang ringkas yang sesuai dengan keadaan itu lebih menghadirkan hati, dekat pada maksud, dan tidak memberatkan makmum.
- Qunut ini dilakukan ketika bangkit dari rukuk. Inilah penjelasan dari banyak hadits. Qunut juga boleh dilakukan sebelum rukuk sebagaimana penjelasan dari Anas bin Malik.
- Hikmah qunut ketika iktidal–bukan ketika sujud padahal saat sujud itu lebih berpeluang terkabulnya doa–adalah karena qunut nazilah dilakukan oleh imam dan makmum, walau makmum hanya mengaminkan saja. Itu paling mungkin dilakukan ketika iktidal, bukan sujud.
- Qunut dibaca jahar (keras).
- Qunut nazilah dilakukan pada shalat Shubuh. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai shalat yang dibacakan qunut nazilah. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa setelah bangkit dari rukuk di akhir rakaat dari setiap shalat fardhu lima waktu, itu disyariatkan qunut nazilah. Jika kesulitan semakin ringan, qunut cukup ketika shalat Shubuh dan Maghrib saja. Jika kesulitan semakin ringan lagi, qunut cukup ketika shalat Shubuh saja.
- Hadits dari Sa’ad bin Thariq Al-Asyja’i Al-Kuufi yang bertanya kepada ayahnya, Thariq Al-Asyja’i menunjukkan bahwa qunut Shubuh terus menerus itu tidak disyariatkan. Qunut Shubuh hanya dilakukan ketika hajat pada beberapa keadaan. Menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam (3:129-130) bahwa hadits yang menunjukkan qunut Shubuh terus menerus itu dhaif, tidak bisa dijadikan sebagai dalil dan hadits tersebut bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.
Pendapat ulama Syafiiyah
Adapun hadits ini,
فَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.
“Adapun pada shalat Shubuh, beliau selalu berqunut hingga meninggal dunia.” Hadits ini disahihkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’, 3:504.
Ulama yang menganjurkan qunut Shubuh terus menerus adalah Imam Malik dan Imam Syafii. Imam Nawawi bahkan mengatakan bahwa inilah pendapat kebanyakan ulama salaf. Pihak yang pro qunut Shubuh juga memiliki dalil dalam hal ini. Bahkan dalil-dalil lengkap dari kalangan sahabat dan tabi’in telah disebutkan dalam Kitab Ikmal At-Tadris, 1:178-181.
Lihat pula bahasan Tashil Al-Intifa’ bi Matn Abi Syuja’ wa Syai’ mimma Ta’allaqa bihi min Dalilin wa Ijma’ min Ath-Thaharah ila Al-Hajj, hlm. 138-139.
Baca juga:
Sikap bijak ditunjukkan oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahbab dalam Ad-Duror As-Saniyyah fii Al-Ajwibah An-Najdiyyah (hlm. 12, cetakan kedua, tahun 1433 H) menyebutkan,
إِذَا أَمَّ رَجُلٌ قَوْمًا وَهُمْ يَرَوْنَ القُنُوْتَ أَوْ يَرَوْنَ الجَهْرَ بِالبَسْمَلَةِ وَهُمْ يَرَى غَيْرَ ذَلِكَ وَالأَفْضَلُ مَا رَأَى فَمُوَافَقَتُهُمْ أَحْسَنُ وَيُصِيْرُ المفْضُوْلْ هُوَ الفَاضِلَ
“Jika ada seseorang mengimami suatu kaum yang menganggap adanya syariat qunut atau menganggap basmalah dalam shalat itu dibaca jahar, sedangkan ia menganggap berbeda dari itu. Afdalnya adalah pandangan mereka. Ia hendaknya menyesuaikan diri dengan mereka, itu lebih baik. Akhirnya, perkara mafdhul (kurang afdal) menjadi fadhil (afdal) saat itu.”
Kami sendiri berpandangan bahwa qunut Shubuh adalah masalah ikhtilaf dari para ulama kita sejak dahulu kala. Kalau ada imam yang berqunut dan kami menjadi makmumnya, kami akan tetap mengangkat tangan dan mengaminkannya sebagaimana sikap dari Imam Ahmad dalam hal ini. Marilah kita sikapi hal ini dengan bijak dan tetap menjaga persatuan kaum muslimin. Wallahu waliyyut taufiq.
Baca juga: Anjuran Mengangkat Tangan Ketika Qunut
Referensi:
- Ad-Duror As-Saniyyah fii Al-Ajwibah An-Najdiyyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H.
- Ikmal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaqut An-Nafiis. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Sami bin Muhammad Basyakil. Penerbit Dar Madarij Al-‘Ulum.
- Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:124-130.
- Tashil Al-Intifa’ bi Matn Abi Syuja’ wa Syai’ mimma Ta’allaqa bihi min Dalilin wa Ijma’ min Ath-Thaharah ila Al-Hajj. Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin Husain Al-Qadiri. www.alukah.net.
—
Selasa pagi, 21 Jumadal Akhirah 1443 H, 25 Januari 2022
@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com