Keikhlasan
Keikhlasan merupakan kajian Islam yang disampaikan oleh: Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan, M.A. dalam pembahasan Amalan-Amalan Hati. Kajian ini disampaikan pada Jum’at, 15 Muharram 1447 H / 11 Juli 2025 M.
Kajian Tentang Keikhlasan
Di antara dalil yang beliau sebutkan, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Bayyinah ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ…
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
حُنَفَآءَ dalam kondisi di mana mereka selalu mengarah kepada keikhlasan dan meninggalkan berbagai hal yang akan menudai keikhlasan itu. Inilah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴿١٦٣﴾
“Katakanlah (Wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya shalatku, penyembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb alam semesta. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada-Nya).`” (QS. Al-An‘am [6]: 162–163)
Semua ibadah itu hanya untuk Allah. Karena Dialah Rabb yang menciptakan alam semesta ini, maka Dialah yang berhak untuk diibadahi. Tiada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana tiada sekutu dalam penciptaan langit dan bumi serta pengaturan seluruh urusan alam semesta, maka tidak ada sekutu bagi-Nya dalam ibadah. Itu adalah perintah Allah kepada Nabi-Nya. Maka, itulah hakikat keikhlasan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ ﴿٢﴾
“Yaitu (Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya. Dia Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 2)
Kemudian Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menukil perkataan Imam Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah yang menjelaskan makna dari firman Allah “أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا” (siapa di antara kalian yang terbaik amalnya). Kata beliau Rahimahullah, “Yang terbaik amalannya adalah yang paling ikhlas dan paling benar.” Beliau juga ditanya, “Apa itu amalan yang paling ikhlas?”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya amalan apabila ikhlas, tulus, namun tidak benar, maka amalan tersebut tidak diterima. Apabila amalannya benar, tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Keikhlasan itu adalah bahwa amalan dilakukan semata-mata karena Allah. Sedangkan yang benar adalah amalan yang berlandaskan sunnah.”
Kemudian beliau membacakan firman Allah dalam surah Al-Kahfi ayat 110:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ﴿١١٠﴾
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya hendaklah melakukan amal shalih dan tidak melakukan kesyirikan dalam beribadah kepada Tuhannya.`” (QS. Al-Kahfi [18]: 110)
Itulah hakikat keikhlasan. Terdapat dua syarat. Pertama, amalannya harus benar, yaitu yang sesuai dengan sunnah. Kedua, tidak berbuat kesyirikan dalam beribadah kepada Allah.
Maka pada hakikatnya, substansi dari seluruh ilmu agama Islam yang disampaikan oleh para ulama kembali kepada dua hal ini yaitu keikhlasan dan mengikuti sunnah. Oleh karena itu, pembahasan tentang keikhlasan dan mengikuti sunnah adalah ciri khas dakwah yang benar. Jika dalam berbagai kesempatan seperti kajian ilmu, penyuluhan kepada masyarakat, penyampaian nasihat, atau pembicaraan tentang Islam, jika dua perkara ini tidak dikaitkan, maka sesungguhnya telah terjadi ketimpangan dan kekurangan dalam menjelaskan eksistensi serta hakikat ajaran Islam itu sendiri. Ini merupakan indikator adanya ketidaksempurnaan dalam memberikan nasihat dan wejangan kepada kaum muslimin.
Islam dibangun di atas dua hal: keikhlasan dan syariat. Maka, jangan pernah lari dari dua hal ini. Ketimpangan dalam masalah keikhlasan akan menimbulkan problem besar, yaitu kesyirikan. Akibatnya, amalan bisa sirna atau pahalanya berkurang.
Ketimpangan atau ketidakpedulian terhadap prinsip kedua, yaitu berjalan di atas sunnah akan menimbulkan berbagai bentuk bid‘ah serta tata cara ibadah dan pelaksanaan agama yang menyimpang, yang bertentangan dengan syariat Allah dan pedoman hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Keikhlasan bukan sekadar teori atau hafalan dalil, tetapi membutuhkan kesungguhan dalam penerapannya. Masih berkaitan dengan dalil yang menjelaskan tentang keikhlasan, di antara yang disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah adalah firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 125:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا ﴿١٢٥﴾
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang ia pun berbuat baik dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 125)
Kata Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah , اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ (menyerahkan wajah kepada Allah) maksudnya adalah mengikhlaskan tujuan, niat, dan amalan. Sedangkan وَهُوَ مُحْسِنٌ (sedang ia berbuat kebajikan), maksudnya adalah berbuat kebaikan dalam amalannya.
Allah telah menjelaskan prinsip utama dalam Al-Qur’an, dan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun telah menjelaskan landasan utama agama yang beliau wariskan kepada kita. Landasan utamanya adalah dua hal: keikhlasan dan mengikuti sunnah. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan. Barang siapa yang memisahkan, atau berusaha memisahkan keduanya, maka ia seperti seseorang yang berusaha memisahkan dua kalimat syahadat.
Dua Syahadat: Satu Kesatuan yang Tak Terpisahkan
Dua kalimat syahadat adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Seseorang tidak dianggap masuk Islam hanya dengan mengucapkan أشهد أن لا إله إلا الله tanpa mengucapkan وأشهد أن محمدًا رسول الله. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang hanya mengucapkan أشهد أن محمدًا رسول الله tanpa mengucapkan أشهد أن لا إله إلا الله, belum dianggap sebagai seorang muslim.
Barulah seseorang disebut muslim, serta selamat dari lingkaran kekufuran, setelah mengucapkan dua kalimat syahadat secara utuh.
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Namun, ibadah yang dilakukan tidak akan bernilai di sisi-Nya, tidak diterima, dan tidak mendatangkan pahala, kecuali jika dilakukan dengan dua syarat utama: ikhlas karena Allah dan sesuai dengan syariat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Jika seseorang hanya bermodalkan keikhlasan, tetapi tidak mengikuti sunnah dan tuntunan syariat, maka amalannya ditolak. Sebaliknya, jika mengikuti sunnah namun tidak ikhlas, amalan itu pun tidak diterima oleh Allah.
Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menasihati Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhu mengenai pentingnya keikhlasan. Beliau bersabda:
إنك لن تُخلّف فتعمل عملاً تبتغي به وجه الله إلا ازددت به درجة ورفعة
“Sesungguhnya tidaklah engkau diberi kesempatan hidup kemudian melakukan suatu amalan yang engkau niatkan untuk mencari wajah Allah (yaitu dengan penuh keikhlasan), kecuali engkau akan ditinggikan derajat dan diangkat kedudukanmu karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan mengharap wajah Allah adalah beramal dengan penuh ketulusan dan keikhlasan. Amal tanpa keikhlasan tidak akan diterima, sedangkan amalan yang dilakukan hanya untuk Allah akan meninggikan derajat pelakunya di dunia dan akhirat.
Download MP3 Kajian Keikhlasan
Podcast: Play in new window | Download
Raihlah pahala dan kebaikan dengan membagikan hasil rekaman ataupun link kajian yang bermanfaat ini, melalui jejaring sosial Facebook, Twitter, dan yang Anda miliki. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55316-keikhlasan/