Beranda | Artikel
Fikih Nikah (Bag. 7)
Senin, 28 Februari 2022

Baca pembahasan sebelumnya Fikih Nikah (Bag. 6)

Istri Meminta Cerai, Bagaimanakah Hukumnya?

Perselisihan di dalam pernikahan tentu saja pasti terjadi dan terkadang berujung pada perceraian. Saat sudah tidak ada solusi selain cerai, adakalanya suami enggan untuk menceraikan. Islam memberikan jalan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai. Gugatan ini tentu saja didasari pada alasan yang dibenarkan, bukan hanya karena semata-mata ingin berpisah. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR. Abu Daud no. 2226, Tirmidzi no. 1187, dan Ibnu Majah no. 2055. Abu Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.)

Hadis di atas menjadi dalil terlarangnya seorang wanita meminta cerai atau melakukan gugat cerai, kecuali jika ada alasan yang dibenarkan. Karena kenikmatan yang pertama kali dirasakan penduduk surga adalah mendapatkan baunya surga. Inilah yang didapatkan oleh orang-orang yang berbuat baik. Sedangkan yang disebutkan dalam hadis adalah wanita tersebut tidak mendapatkan bau surga itu. Hal ini menunjukkan ancaman bagi istri yang memaksa minta diceraikan tanpa alasan.

Hadis di atas merupakan dalil bolehnya istri melakukan gugat cerai (baca: khulu’). Hal ini juga berdasarkan ayat,

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Tentu saja istri bisa mengajukan gugatan cerai lewat lembaga yang resmi, yaitu melakukan Kantor Urusan Agama atau Pengadilan Agama. Merekalah yang berhak memproses hal itu.

Baca Juga: 86: Menunda Nikah Karena Pekerjaan

Sudah Terjadi di Zaman Nabi

Yaitu kisah istri salah seorang sahabat yang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta agar diceraikan dari suaminya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

جَاءَتِ امۡرَأَةُ ثَابِتِ بۡنِ قَيۡسِ بۡنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَتۡ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا أَنۡقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ، إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الۡكُفۡرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (تَرُدِّينَ عَلَيۡهِ حَدِيقَتَهُ؟) فَقَالَتۡ: نَعَمۡ، فَرَدَّتۡ عَلَيۡهِ، وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا

“Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama, tidak pula dalam hal akhlak. Hanya saja aku mengkhawatirkan kekufuran.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau bisa mengembalikan kebunnya kepadanya?’ Istri Tsabit menjawab, ‘Iya.’ Dia pun mengembalikannya kepada Tsabit dan Nabi memerintahkan Tsabit untuk menceraikannya.” (HR. Bukhari no. 5276)

Di dalam riwayat lain disebutkan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama, tidak pula dalam hal akhlak. Akan tetapi, aku tidak mampu hidup bersamanya.” (HR. Bukhari no. 5275)

Di dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan alasan mengapa istri Tsabit bin Qais radhiyallahu ‘anhuma ini menggugat cerai, Tsabit Ibnu Qais itu jelek rupanya, dan istrinya berkata, ‘Seandainya aku tidak takut murka Allah, jika ia masuk ke kamarku, aku ludahi wajahnya.’” (Bulughul Maram, Bab Khulu’, hadis no. 1096).

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa kisah ini merupakan permintaan cerai pertama di dalam Islam.

Pengertian Khulu’ (Gugat Cerai) dan Dalil Pensyariatannya

Secara bahasa, khulu’ berarti melepas. Sedangkan menurut istilah, khulu’ berarti perpisahan suami istri dengan keridaan keduanya, dengan ada timbal balik (kompensasi) yang diserahkan oleh istri pada suami. Sehingga maksud khulu’ adalah gugatan cerai dari istri pada suami dengan adanya kompensasi.

Disyariatkannya gugat cerai ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” (QS. Al Baqarah: 229)

Di dalam Tafsir As-Sa’di dijelaskan bahwa maksud bayaran di ayat ini adalah kompensasi yang diberikan agar terjadi perpisahan. Inilah dalil yang menunjukkan dibolehkannya khulu’ jika hikmah yang dimaksud dalam ayat tidak mampu dijalankan. Dan berdasarkan juga hadis Tsabit bin Qais yang sudah kita sebutkan sebelumnya. Serta sudah menjadi kesepakatan ulama’ tentang adanya syariat khulu’ (gugat cerai) ini.

Kapan Istri Dibolehkan Menggugat Cerai?

Khulu’ atau gugat cerai termasuk salah satu syariat yang hukumnya berubah-ubah berdasarkan keadaan, kadang dihukumi haram, yaitu jika tanpa sebab dan alasan. Khulu’ kadang dihukumi boleh. Kadang juga dihukumi sunah. Lalu, bagaimana khulu’ atau gugat cerai ini bisa dibolehkan?

Khulu’ bisa dihukumi boleh, jika:

Pertama, istri membenci keadaan suami sebagaimana hadis Tsabit bin Qais radhiyallahu ‘anhu.

Kedua, istri khawatir tidak bisa menunaikan kewajiban terhadap suami.

Ketiga, istri tidak bisa menunaikan kewajiban terhadap Allah Ta’ala dengan baik di dalam pernikahan tersebut.

Dalam kondisi ini, istri diperbolehkan untuk gugat cerai dengan syarat membayar kompensasi tertentu. Dan di zaman ini, permasalahan gugat cerai sudah ada prosedurnya di Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama serta besaran kompensasinya pun akan ditentukan oleh pengadilan. Namun, jika suami masih mencintai istrinya dan masih menginginkan untuk mempertahankan pernikahannya, tentu inilah yang lebih baik.

Baca Juga: Karena Agamanya Kunikahi Dia

Gugat Cerai karena Suami Lalai Beribadah, Bolehkah?

Saat seorang istri diberikan cobaan berupa suami yang lalai di dalam beribadah, jarang salat berjemaah atau bahkan meninggalkan salat wajib atau yang lebih parah lagi, salat jum’at pun tidak dilakukan, maka hal pertama yang harus ia lakukan adalah terus menasihati suami. Disertai dengan terus mendoakan kebaikan baginya, agar suami mendapatkan hidayah. Itu yang harus dilakukan terlebih dahulu.

Namun, jika ternyata setelah bertahun-tahun istri mengingatkan dan suami tetap saja enggan untuk berubah, lebih banyak meninggalkan salat dari pada mendirikannya, apakah istri boleh menggugat cerai suami?

Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya perihal hal ini, lalu beliau menjawab,

“Jika keadaannya seperti yang Engkau ceritakan wahai saudari penanya, dia hanya salat di waktu tertentu dan bahkan lebih banyak meninggalkannya, maka tidak boleh bagimu untuk tinggal bersamanya. Karena meninggalkan salat termasuk kufur akbar menurut pendapat yang lebih kuat, walaupun orang tersebut tidak mengingkari kewajibannya. Sudah menjadi kewajibanmu untuk mengakhiri hubunganmu dengan dia dan tidak boleh bagimu untuk mempertahankan pernikahan ini. Menurut pendapat yang rajih, akad nikah semacam ini menjadi batal, berhati-hatilah. Dan jika suamimu tidak mau mentalak-mu, maka yang bisa kamu lakukan adalah mengajukan perkara ini ke pengadilan.” (web resmi Syekh Bin Baz rahimahullah)

Dan di antara keadaan-keadaan lainnya di mana gugat cerai (khulu’) dihukumi sunah (dianjurkan) adalah:

Pertama, suami memiliki akidah yang rusak atau telah melakukan pembatalan keislaman.

Kedua, suami menjadi pecandu obat-obatan terlarang atau narkoba.

Ketiga, suami memerintahkan istri untuk melakukan keharaman seperti tidak menutup aurat.

Wallahu A’lam Bisshowaab.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keluarga kita dan memberkahinya dengan kebaikan.

[Bersambung]

Baca Juga:

Penulis: Muhammad Idris, Lc.


Artikel asli: https://muslim.or.id/72567-fikih-nikah-bag-7.html