Faedah-Faedah dari Hadis Niat
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin (pemimpin kaum beriman), Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّما الأعمالُ بالنِّيَّاتِ وإنَّما لِكلِّ امرئٍ ما نوى فمن كانت هجرتُهُ إلى اللَّهِ ورسولِهِ فَهجرتُهُ إلى اللَّهِ ورسولِهِ ومن كانت هجرتُهُ إلى دنيا يصيبُها أو امرأةٍ ينْكحُها فَهجرتُهُ إلى ما هاجرَ إليْهِ
‘Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.’” (HR. Bukhari [Kitab Bad’i Al-Wahyi, hadis no. 1, Kitab Al-Aiman Wa An-Nudzur, hadis no. 6689] dan Muslim [Kitab Al-Imarah, hadis no. 1907])
Hadis yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek. (Syarh Arba’in Li An-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam Ad-Durrah As-Salafiyah, hal. 26)
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Bukhari mengawali kitab Sahihnya (Sahih Bukhari) dengan hadis ini dan dia menempatkannya laiknya sebuah khotbah (pembuka) untuk kitab itu. Dengan hal itu, seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan dengan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah, maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.” (Jami’ Al-‘Ulum, hal. 13)
Ibnu As-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadis tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non-ibadah tidak akan bisa membuahkan pahala, kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri (kepada Allah). Seperti contohnya adalah makan. Bisa mendatangkan pahala apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari [1: 17]. Lihat penjelasan serupa dalam Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id Al-Fiqh Al-Kulliyah, hal. 129, Ad-Durrah As-Salafiyah, hal. 39-40)
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan bahwa hadis ini juga merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat (yang benar). Sementara niat (yang benar) untuk melakukan sesuatu tidak akan benar, kecuali setelah mengetahui hukumnya. (Fath Al-Bari [1: 22])
Baca Juga: Bahaya Salah Niat dalam Menuntut Ilmu
Macam-macam niat
Istilah niat meliputi dua hal, yaitu: (1) menyengaja melakukan suatu amalan (niyat al-‘amal) dan (2) memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu (niyat al-ma’mul lahu).
Yang dimaksud niyatu al-‘amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain. Misalnya mandi, harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk mandi biasa ataukah mandi besar. Dengan niat semacam ini, akan terbedakan antara perbuatan ibadah dan non-ibadah/ adat. Demikian juga, akan terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan jenis ibadah lainnya. Misalnya, ketika mengerjakan salat (2 raka’at), harus dibedakan di dalam hati antara salat wajib dengan yang sunah. Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitab-kitab fikih.
Sedangkan niyat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak memiliki tujuan lain, kecuali dalam rangka mencari keridaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. Inilah maksud kata niat yang sering disebut dalam kitab akidah atau penyucian jiwa yang ditulis oleh banyak ulama salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di dalam Al-Qur’an, niat semacam ini diungkapkan dengan kata-kata iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari). (Diringkas dari keterangan Syekh As-Sa’di dalam Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, sebagaimana tercantum dalam Ad-Durrah As-Salafiyah, hal. 36-37 dengan sedikit penambahan dari Jami’ Al-‘Ulum oleh Ibnu Rajab hal. 16-17)
Baca Juga: Faedah Penting Menata Niat
Pentingnya Ikhlas
Allah Ta’ala berfirman,
ٱلَّذِی خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَیَوٰةَ لِیَبۡلُوَكُمۡ أَیُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلࣰاۚ
“Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Begitu pula, apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas sunah/tuntunan, (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat Al-Auliya’ [8: 95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid Al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul Al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hal. 19)
Pada suatu saat sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian orang-orang terhadap dirinya. Maka, beliau pun berdoa kepada Allah, ”Ya Allah. Engkaulah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.” (Kitab Az-Zuhd, Nu’aim bin Hamad, dinukil dari Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 119)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hal. 19). Ibnu Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hal. 19)
Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ”Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim Fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)
Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata, ”Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim Fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Begitu pula ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau, maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid, ”Wahai Abu Bakar. Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri, maka ucapan orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim Fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Ad-Daruquthni rahimahullah mengatakan, ”Pada awalnya, kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah. Akan tetapi, ternyata ilmu enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim Fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Asy Syathibi rahimahullah mengatakan, ”Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang saleh adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al-I’tisham, dinukil dari Ma’alim Fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Di dalam biografi Ayyub As-Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan, ”Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim Fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Seorang ulama mengatakan, ”Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya.” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim Fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, ”Tahun ibarat sebatang pohon, sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya, dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barangsiapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan, maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent). Sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit.
Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal, sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akhirat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik, maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akhirat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surah Ibrahim.” (Al-Fawa’id, hal. 158).
Syekh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Ikhlas dalam beramal karena Allah Ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal saleh. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah Ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal saleh yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid Al-Ittiba’ Fi Bayan Asbab Tafadhul Al-A’mal, hal. 49)
Baca Juga:
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel asli: https://muslim.or.id/77443-faedah-faedah-dari-hadits-niat.html