Fikih Riba (Bag. 4): Riba dalam Lintas Agama (1)
Telah jelas bahwa riba adalah hal yang haram dalam pandangan seorang yang beriman kepada agama Islam. Mengingat Islam telah mengharamkan riba secara jelas tanpa adanya kesamaran sedikitpun. Semua telah diterangkan melalui dalil-dalil dari wahyu yang Allah Ta’ala turunkan kepada Nabi-Nya atau melalui dalil-dalil yang disampaikan dari lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala adalah yang Rabb yang Maha Adil dan Bijaksana. Segala macam bentuk kezaliman telah Allah haramkan. Oleh karena itu, syariat-syariat-Nya begitu indah dan meliputi segala macam bentuk kemaslahatan yang kembali kepada kebahagiaan hamba di dunia dan di akhiratnya. Di antara bentuk kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan adalah dengan Allah mengharamkan riba untuk manusia seluruhnya.
Riba dalam lintas agama
Sebuah realita yang tidak dapat menutup mata darinya, syariat-syariat atau agama-agama yang Allah turunkan secara umum telah mengharamkan riba. Sehingga hal yang perlu diketahui bahwa riba bukan hanya diharamkan untuk agama Islam saja, namun untuk seluruh manusia. Mengingat riba adalah kezaliman terselubung yang dapat menghancurkan segalanya.
Mengenal riba dalam agama-agama lain setidaknya dapat memberikan wawasan tersendiri akan bahayanya riba dan dampaknya yang begitu besar dalam ekonomi individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Tidak sedikit keberkahan terkikis bahkan tercabut diakibatkan riba yang terlalu “candu” bagi kebanyakan orang. Tanpa terkecuali, kaum Muslimin pun ikut larut dalam praktik-praktik semacam ini.
Terdapat hadis yang menarik dari sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah, suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ka’ab,
يا كعبُ بنَ عُجرةَ إنَّهُ لا يربو لحمٌ نبتَ من سحتٍ إلَّا كانتِ النَّارُ أولى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah daging tumbuh (pada jasad) yang berasal dari keharaman, kecuali neraka yang lebih pantas untuknya.” (HR. At-Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Syekh Al-Albani)
Yakni, neraka lebih pantas untuk jasad yang tumbuh berasal dari daging-daging yang haram, dicari dari harta yang haram di antaranya adalah riba. Jelas di dalam Islam telah dilarang. Bagaimana dengan agama yang lain?
Riba dalam agama Yahudi
Mengingat riba adalah suatu keburukan dan di antara bentuk kezaliman, Allah telah melarang riba untuk orang-orang Yahudi. Hal ini telah dijelaskan dalam Perjanjian Lama (Al-Ahd Al-Qadīm) sebagai berikut,
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, yaitu orang miskin yang ada di antaramu, maka janganlah engkau bersikap sebagai penagih utang terhadapnya; janganlah engkau membebankan bunga kepadanya.” (Kitab Keluaran, 22: 25)
Dan pada bagian lain disebutkan, “Jika engkau meminjamkan uang kepada saudaramu, janganlah engkau mengambil darinya bunga atau keuntungan.” (Kitab Imamat, 25: 35) [1]
Secara hukum, orang-orang Yahudi telah dilarang oleh Allah Ta’ala dari memakan riba ataupun bertransaksi riba. Namun dalam praktiknya, mereka tidak berlaku demikian.
Syekh Dr. Said bin Wahf Al-Qahtani rahimahullah berkata, “Tidak dapat diragukan lagi bahwasanya orang-orang Yahudi memiliki tipu daya serta siasat yang banyak. Dengan itu, mereka melakukan tipu daya dan mengelabui Nabi-Nabi mereka ‘alaihimussalam. Di antara tipu daya mereka adalah mereka memakan riba yang padahal Allah telah melarang dan mengharamkannya.” [2]
Kemudian beliau membawakan firman Allah Ta’ala,
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبٰتٍ اُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَثِيْرًاۙ وَّاَخْذِهِمُ الرِّبٰوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۗوَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا
“Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami mengharamkan atas mereka (makanan-makanan) yang baik yang (dahulu) pernah dihalalkan bagi mereka. Juga karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah, melakukan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya; dan memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang sangat pedih.” (QS. An-Nisa: 160-161)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas,
إِنَّ اللَّهَ قَدْ نَهَاهُمْ – أَيْ: الْيَهُودَ – عَنِ الرِّبَا، فَتَنَاوَلُوهُ، وَأَخَذُوهُ، وَاحْتَالُوا عَلَيْهِ بِأَنْوَاعِ الْحِيَلِ، وَصُنُوفٍ مِنَ الشُّبُهَاتِ، وَأَكَلُوا أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melarang mereka (orang-orang Yahudi) dari riba. Namun mereka tetap melakukannya, mengambilnya, dan mensiasatinya dengan berbagai macam tipu daya dan beragam syubhat, serta memakan harta manusia dengan cara yang batil.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Perlu diketahui, di antara taktik atau tipu daya orang-orang Yahudi adalah dengan mengatakan bahwasanya riba itu diharamkan hanya ketika bermuamalah dengan sesama orang Yahudi. Adapun dengan selain orang Yahudi, maka riba diperbolehkan. Inilah di antara syubhat yang bercokol di hati mereka, sehingga dengan beraninya mereka mengubah syariat yang Allah tetapkan.
Hal ini sebagaimana yang dinukil oleh Syekh Dr. Umar bin Abdul Aziz Al-Mitrak rahimahullah di dalam kitabnya,
“Dalam Kitab Ulangan (Deuteronomy), pasal 23 ayat 20–21, yang dinisbatkan kepada Musa, disebutkan:
“Janganlah engkau mengambil riba dari saudaramu, baik riba uang, riba perak, riba bahan makanan, atau riba atas apa pun yang dipinjamkan dengan riba. Adapun kepada orang asing, engkau boleh meminjamkan dengan riba; tetapi kepada saudaramu, janganlah engkau meminjamkan dengan riba, agar Tuhan Allahmu memberkahi engkau dalam segala sesuatu yang engkau kerjakan di negeri yang akan engkau masuki untuk memilikinya.”
Kemudian beliau berkata, “Teks ini secara tegas menunjukkan bolehnya mengambil riba dari orang asing. Namun, Islam memandang nash ini sebagai nash yang dihapus (mansūkh).” [3]
Beliaupun menukilkan ta’liq (komentar) dari Syekh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah terhadap teks di atas. Beliau berkata, “Teks tersebut tidak dapat diterima jika dikatakan berasal dari Taurat yang dituliskan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam. Mengingat naskah tersebut telah tiada berdasarkan kesepakatan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Adapun Taurat yang ada sekarang ditulis setelah masa penawanan (Babilonia), dan telah terbukti mengalami perubahan dengan banyaknya bukti dan indikasi yang nyata.” [4]
Sehingga tidak benar jika dikatakan bahwasanya syariat atau Nabi Musa memperbolehkan untuk mengambil riba asal bukan dari sesama orang Yahudi. Karena ternyata tulisan tersebut telah diubah oleh tangan-tangan mereka sendiri! Untuk menghalalkan yang telah Allah haramkan.
Wallahu a’lam.
[Bersambung]
***
Depok, 28 Jumadal Akhirah 1447/ 18 Desember 2025
Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Syekh Dr. ‘Umar bin Abdul Aziz Al-Mitrak, Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mashrifiyah, hal. 13.
[2] Syekh Dr. Said bin Wahf Al-Qahtani, Ar-Riba, hal. 8.
[3] Syekh Dr. ‘Umar bin Abdul Aziz Al-Mitrak, Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mashrifiyah, hal. 14
[4] Syekh Dr. ‘Umar bin Abdul Aziz Al-Mitrak, Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mashrifiyah, hal. 14 (catatan kaki).
Referensi:
Al-Mitrak, ʿUmar bin ʿAbd al-ʿAzīz. Ar-Ribā wa al-Muʿāmalāt al-Maṣrifiyyah. Tahqīq: Bakr bin ʿAbdillāh Abū Zayd. Cet. ke-2. Riyadh: Dār al-ʿĀṣimah.
Al-Qaḥṭānī, Saʿīd bin Wahf. Ar-Ribā Ḍararuhu wa Āthāruhu fī Ḍhawʾ al-Kitāb wa as-Sunnah. Riyadh: Safīr.
Artikel asli: https://muslim.or.id/111131-fikih-riba-bag-4.html