Meninjau Istilah Wahabi Lingkungan: Tinjauan Islam tentang Konservasi Alam (Bag. 2)
Islam menempatkan hubungan manusia dan alam dalam sebuah amanah besar. Pemanfaatan bumi, pemeliharaannya, serta dampak dari aktivitas manusia atasnya bukanlah persoalan teknis semata, melainkan bagian dari tanggung jawab keagamaan yang melekat pada penciptaan manusia itu sendiri.
Manusia sebagai khalifah dan pemakmur bumi
Manusia, yang Allah ciptakan sebagai khalifah di muka bumi, menggantikan bangsa jin dalam mengemban amanah kuasa pengelolaan bumi. Manusia juga saling berganti-gantian dalam berkuasa di bumi satu generasi ke generasi lainnya. Allah Ta‘ala berfirman,
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu (Allah) berkata kepada para malaikat, ‘Aku akan menjadikan khalifah (pengganti) di bumi’” (QS. al-Baqarah: 30)
Ibnu katsir dan para ahli tafsir klasik rahimahumullah menjelaskan bahwa di antara maksud ayat di atas adalah,
قوما يخلف بعضهم بعضا قرنا بعد قرن وجيلا بعد جيل
“Satu kaum dengan kaum yang lain akan saling menggantikan, dari masa ke masa, dari generasi ke generasi.” [12]
Para ahli tafsir klasik, di antaranya Imam at-Thabari rahimahullah juga menjelaskan bahwa khalifah (pengganti) pada ayat tersebut juga berarti bahwa manusia yang mengganti bangsa jin. Beliau rahimahullah menyebutkan dalam tafsirnya,
عن ابن عباس قال : أول من سكن الأرض الجن فأفسدوا فيها وسفكوا فيها الدماء وقتل بعضهم بعضا . فبعث الله إليهم إبليس في جند من الملائكة ، فقتلهم إبليس ومن معه حتى ألحقهم بجزائر البحور وأطراف الجبال . ثم خلق آدم فأسكنه إياها
“Ibnu Abbas mengatakan, ‘Makhluk yang pertama menghuni bumi adalah bangsa jin, kemudian mereka merusak bumi, menumpahkan darah, dan saling membunuh satu dengan yang lain. Maka, Allah utus mereka Iblis (yang bergabung) dengan pasukan malaikat. Ia dan pasukannya memerangi para jin (ke seluruh penjuru bumi) sampai lautan dan gunung-gunung. Kemudian Allah menciptakan Adam dan Ia jadikan Adam penghuni bumi (menggantikan bangsa jin).” [13]
Allah menempatkan mereka di bumi dan memberi mereka amanah untuk berkuasa atas bumi dengan melakukan pemakmuran, perbaikan, serta pelestarian bumi. Allah Ta‘ala berfirman,
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
“Dia-lah yang menciptakan kalian dari bumi dan meminta kalian untuk memakmurkannya.” (QS. Hud: 61)
Maka dari itu, setelah kita mengetahui bahwa memakmurkan bumi dan kelestariannya menjadi salah satu tugas utama manusia, manusia yang beriman kepada Allah haruslah menjadi garda terdepan dalam menyuarakan serta mengusahakan kemakmuran dan kelestarian bumi. Ketika orang-orang yang beriman berhasil mempunyai kuasa atas kemakmuran bumi, maka lingkungan akan menjadi lebih baik. Sebagaimana yang telah menjadi sunnatullah, bahwa kaum perbaikan-lah yang Allah tugaskan mereka untuk mengganti kaum perusak. Allah Ta‘ala berfirman,
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka.” (QS. an-Nur: 55)
Allah menginginkan orang-orang beriman yang membawa perbaikan dan kemakmuran di dunia mengganti orang-orang yang membawa kerusakan agar keamanan itu benar-benar dirasakan oleh setiap makhluk tanpa adanya ketakutan kerusakan yang diakibatkan oleh diri-diri mereka. Sudah menjadi keharusan, bagi setiap orang-orang yang beriman untuk memperhatikan kemakmuran bumi dan kelestarian alam. Syekh Mahmud Ahmad Syauq rahimahullah dalam kitabnya, al-Ittijāhāt al-Ḥadīthah fī Takhṭīṭ al-Manāhij ad-Dirāsiyyah fī Ḍaw’ at-Taujīhāt al-Islāmiyyah, menjelaskan hal ini,
واستخلاف الله -سبحانه وتعالى- للمسلم في عمارة الأرض يجعل العلم فريضة عليه. فعمارة الأرض لا يقف مداها عند حدود زمنية أو مكانية. بل هي ممتدة بامتداد الأزمنة كلها، منتشرة بانتشار الأمكنة كلها، بمعنى أن المسلم مطالب بعمارة الأرض حيثما يكون ووقتما يكون
“Penetapan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā terhadap kaum muslimin sebagai khalifah (pengelola) di muka bumi menjadikan ilmu sebagai kewajiban bagi mereka. Sebab, pemakmuran bumi tidak dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Ia terus berlangsung sepanjang seluruh zaman dan tersebar di seluruh tempat. Artinya, seorang muslim dituntut untuk memakmurkan bumi di manapun ia berada dan kapanpun ia berada.” [14]
Dengan kemakmuran bumi dan kelestarian alam seluruh makhluk hidup yang bergantung dengannya akan mendapat kebaikan darinya, sehingga manfaat yang didapatkan darinya tidak hanya dirasakan oleh manusia pada zaman, tempat, ataupun strata tertentu, melainkan seluruh makhluk.
Bumi sebagai tempat mencari rezeki
Allah menyiapkan bumi sebagai sarana untuk mencari rezeki. Selain beribadah, manusia juga diperbolehkan mencari rezeki di dunia agar dapat menyuplai kegiatan peribadatan mereka kepada Allah. Allah Ta‘ala berfirman,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi. Carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10)
Syekh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah memberi penjelasan untuk firman-Nya, فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ “Bertebaranlah kamu di muka bumi” dalam kitabnya,
لطلب المكاسب والتجارات
“Untuk mencari pencaharian dan perdagangan.” [15]
Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan ayat tersebut,
أذن لهم بعد الفراغ في الانتشار في الأرض والابتغاء من فضل الله. كما كان عراك بن مالك رضي الله عنه إذا صلى الجمعة انصرف فوقف على باب المسجد، فقال : اللهم إني أجبت دعوتك، وصليت فريضتك، وانتشرت كما أمرتني، فارزقني من فضلك، وأنت خير الرازقين
“Diizinkan bagi mereka (umat Islam) setelah selesai untuk bertebaran di permukaan bumi dan untuk mencari keutamaan Allah (rezeki) sebagaimana yang dilakukan Irak bin Malik radhiyallahu `anhu setelah salat Jumat ia berdiri di depan pintu masjid lalu berkata, ‘Ya Allah telah kupenuhi panggilanmu, telah kutuntaskan salat wajib, dan aku telah bertebaran di muka bumi sebagaimana Engkau perintahkan diriku, maka berilah aku rezeki. Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baiknya pemberi rezeki’.” [16]
Pada ayat tersebut, para ulama menjelaskan hukum bertebaran mencari rezeki setelah salat dilaksanakan menjadi mubah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin rahimahullah,
الأمر في قوله: {فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ} ليس للوجوب ولا للاستحباب، ولكنه للإباحة
“Adapun perintah pada firman-Nya, ‘maka bertebaranlah di muka bumi’ tidak berarti wajib maupun sunah, tetapi mubah.” [17]
Hukum mubah pada asalnya adalah hukum yang fleksibel dan bergantung pada hukum lainnya, karena hukum ini dapat berubah mengikuti tujuan, akibat, dan konteks perbuatannya. Syekh Dr. ‘Abd al-Fattāḥ bin Muḥammad Miṣilḥī rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya, Jāmi‘ al-Masā’il wa al-Qawā‘id fī ‘Ilm al-Uṣūl wa al-Maqāṣi,
إنه ليس لذاته، ولكن لتعلقه أحيانًا بأمور خارجية تغير حكمه إلى واجب أو مندوب أو محرم أو مكروه، فليس التكليف في المباح، وإنما فيما يتعلق به.
“Sesungguhnya (hukum mubah) itu bukan karena zat perbuatannya sendiri, tetapi karena terkadang ia berkaitan dengan faktor-faktor eksternal yang mengubah hukumnya menjadi wajib, sunah, haram, atau makruh. Maka taklif (pembebanan hukum) bukan terletak pada perkara mubah itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang melekat dan berkaitan dengannya.” [18]
Maka dari itu, bertebaran di bumi untuk mencari rezeki pada asalnya berhukum mubah, dan hukumnya berubah sesuai dengan tujuan pelakunya. Apabila aktivitas tersebut diniatkan sebagai sarana untuk menunaikan kewajiban ibadah kepada Allah, maka hukumnya dapat menjadi wajib, karena ibadah itu sendiri wajib. Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan kaidah,
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.
“Apa yang kewajiban menjadi tidak sempurna dengannya, maka hukumnya juga menjadi wajib.” [19]
Dengan demikian, mencari rezeki di berbagai penjuru bumi dapat berhukum wajib ketika ia menjadi sarana yang niscaya untuk menunaikan kewajiban kepada Allah. Bumi telah Allah siapkan sebagai medan ikhtiar manusia agar kebutuhan dunianya terpenuhi. Allah Ta‘ala berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ
“Dia-lah yang menjadikan bumi ini mudah untuk kalian, maka berjalanlah ke segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya (yang kamu dapat).” (QS. al-Mulk: 15)
Allah-lah yang memudahkan bumi ini untuk diambil rezekinya, maka kita ditugaskan untuk berikhtiar untuk mencari dan mengambil rezeki-Nya. Syekh as-Sa’di rahimahullah mengatakan,
هو الذي سخر لكم الأرض وذللها، لتدركوا منها كل ما تعلقت به حاجتكم، من غرس وبناء وحرث، وطرق يتوصل بها إلى الأقطار النائية والبلدان الشاسعة، فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا) أي: لطلب الرزق والمكاسب
“Dialah (Allah) yang menundukkan bumi untuk kalian dan memudahkannya, agar kalian dapat meraih darinya segala sesuatu yang menjadi kebutuhan kalian, seperti bercocok tanam, membangun, bertani, serta jalan-jalan yang mengantarkan ke berbagai penjuru dan negeri-negeri yang jauh. (Firman-Nya), ‘Maka berjalanlah di segala penjurunya’, artinya, untuk mencari rezeki dan berbagai bentuk penghasilan.” [20]
Penjelasan-penjelasan menunjukkan bahwa sejatinya manusia diberi akses oleh Allah untuk memanfaatkan sumber daya alam di bumi ini dan mereka diminta untuk mencari rezeki darinya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Karena ketika seseorang mendapatkan kehidupan dunia yang baik, hal itu dapat memudahkannya mencari akhirat dengan baik. Seorang manusia hendaklah mencari rezeki dari bumi yang telah Allah siapkan dengan niat untuk beribadah kepada Allah. Namun, kebolehan tersebut tidak bersifat mutlak dan tidak lepas ataupun liar dari batasan syariat. Setiap pemanfaatan selalu disertai amanah dan tanggung jawab, sehingga di sinilah sikap tawasuth menjadi penentu arah pemanfaatan bumi.
Sikap tawasuth (pertengahan) dalam mengelola sumber daya alam dan kelestariannya
Islam tidak melarang pemanfaatan lingkungan, bahkan manusia diizinkan untuk mengelola sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Namun di sisi lain, Islam juga memerintahkan kita untuk memakmurkannya dan melarang berlebihan memanfaatkannya tanpa mempertimbangkan hal lain,
وَهُوَ الَّذِىۡۤ اَنۡشَاَ جَنّٰتٍ مَّعۡرُوۡشٰتٍ وَّغَيۡرَ مَعۡرُوۡشٰتٍ وَّالنَّخۡلَ وَالزَّرۡعَ مُخۡتَلِفًا اُكُلُهٗ وَالزَّيۡتُوۡنَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَّغَيۡرَ مُتَشَابِهٍ ؕ كُلُوۡا مِنۡ ثَمَرِهٖۤ اِذَاۤ اَثۡمَرَ وَاٰتُوۡا حَقَّهٗ يَوۡمَ حَصَادِهٖ ۖ وَلَا تُسۡرِفُوۡا ؕ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الۡمُسۡرِفِيۡنَ
“Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-An`am: 141)
Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia diberi izin untuk memanfaatkan bumi dan mencari rezeki darinya, namun izin itu dibatasi oleh larangan isrāf (berlebihan). Karena ketika sikap berlebihan menguasai diri, ia akan melahirkan kerusakan dan menghilangkan semangat perbaikan, sebagaimana disebutkan,
أن الإسراف إذا استمكن في النفس ترتب عليه ذلك الفساد وعدم الإصلاح
“Bahwa isrāf (berlebihan) jika ada pada jiwa seorang, maka hal tersebut akan berkonsekuensi kepada kerusakan dan tidak adanya perbaikan.” [21]
Dari prinsip inilah Islam kemudian menegaskan kewajiban agar tidak melakukan isrāf (berlebihan) dalam memberdayakan sumber daya alam, karena berlebihan akan berdampak kerusakan. Mengambil sumber daya alam secara berlebih akan berpengaruh pada makhluk lain. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep Islam yang memperjuangkan ishlah (perbaikan) dan menolak fasad (kerusakan).
Berbagai penelitian ilmiah mutakhir menunjukkan bahwa eksploitasi alam oleh manusia menjadi penyebab utama rusaknya keanekaragaman hayati. Sebuah studi global berskala besar yang diterbitkan dalam Science Advances, Jauregui Berry dkk (2022) menegaskan bahwa deforestasi, konversi habitat, serta eksploitasi langsung seperti penebangan, perburuan, dan penangkapan ikan berlebihan merupakan faktor dominan menurunnya populasi spesies di seluruh dunia. Temuan ini memperlihatkan bahwa kerusakan biodiversitas bukan proses alamiah, melainkan akibat langsung dari aktivitas manusia yang memanfaatkan bumi tanpa kendali dan keseimbangan. [22]
Eksploitasi alam yang dilakukan manusia secara berlebihan tidak hanya berdampak pada penurunan keanekaragaman hayati, tetapi juga berkontribusi langsung terhadap perubahan pola cuaca dan meningkatnya risiko bencana alam. Sebagaimana yang dikemukakan Lamichhane dkk (2025) bahwa deforestasi, degradasi lahan, dan perubahan tata guna lahan mengganggu keseimbangan sistem iklim lokal dan regional, seperti siklus hidrologi, distribusi curah hujan, serta stabilitas suhu permukaan. Hilangnya tutupan vegetasi mengurangi kemampuan bumi dalam menyerap air dan panas, sehingga meningkatkan frekuensi kejadian banjir, kekeringan, longsor, dan pemanasan global. [23]
Jangankan menyebabkan kerusakan alam yang berpengaruh pada kelangsungan hidup biodiversitas dan lingkungan, menyiksa kucing saja Islam haramkan. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ في هِرَّةٍ سَجَنَتْها حتَّى ماتَتْ، فَدَخَلَتْ فيها النَّارَ، لا هي أطْعَمَتْها ولا سَقَتْها، إذْ حَبَسَتْها، ولا هي تَرَكَتْها تَأْكُلُ مِن خَشاشِ الأرْضِ (رواه البخاري ومسلم)
“Seorang wanita disiksa lantaran seekor kucing yang mati karena ia kurung, maka karenanya ia pun masuk neraka. Sebab ia tidak memberinya makan atau minum ketika ia mengurungnya dan juga tidak melepasnya sehingga kucing itu mencari makan dari hewan-hewan kecil.” (Muttafaq ‘alaih) [24]
Berbuat buruk kepada satu makhluk saja dapat menyebabkan manusia disiksa, apalagi perbuatan buruk yang bersifat eksplosif dan berdampak buruk kepada banyak makhluk, maka keharamannya akan lebih besar.
Manusia memang dihalalkan untuk mencari rezeki dari bumi Allah, namun jika aktivitas tersebut malah dapat menyebabkan kemudaratan yang lebih besar, maka hukumnya dapat berubah menjadi haram karena mencegah kemudaratan lebih diutamakan dari mengambil kemaslahatan. Sebagaimana kaidah fikih yang cukup lumrah disebutkan para ulama,
إِذا دَار الْأَمر بَين دَرْء مفْسدَة وجلب مصلحَة، كَانَ دَرْء الْمفْسدَة أولى من جلب الْمصلحَة
“Apabila suatu perkara berada di antara menolak kemudaratan dan mengambil kemaslahatan, maka menolak kemudaratan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.” [25]
Oleh karena itu, manakala eksploitasi alam menimbulkan kemudaratan yang lebih besar daripada kemaslahatan, maka menurut kaidah درء المفاسد مقدم على جلب المصالح, tindakan tersebut dapat berubah dari mubah menjadi haram.
[Selesai]
***
Penulis: Muhammad Insan Fathin
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[12] Ibnu Kathīr, Ismā‘īl bin ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm.
[13] ath-Ṭabarī, Muḥammad bin Jarīr. Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān.
[14] Syeikh Maḥmūd Aḥmad. (2001). al-Ittijāhāt al-Ḥadīthah fī Takhṭīṭ al-Manāhij ad-Dirāsiyyah fī Ḍaw’ at-Taujīhāt al-Islāmiyyah, hal. 133.
[15] as-Sa‘dī, ‘Abd ar-Raḥmān as-Sa‘dī. Tafsīr as-Sa‘dī.
[16] Ibnu Kathīr, Ismā‘īl bin ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm.
[17] Ibnu ‘Utsaimin. Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Surah An-Nisa’, 2: 155.
[18] ‘Abd al-Fattāḥ bin Muḥammad. Jāmi‘ al-Masā’il wa al-Qawā‘id fī ‘Ilm al-Uṣūl wa al-Maqāṣid, 1: 318.
[19] Ibnu Taimiyah, Ahmad bin ‘Abdul Halim. (2004). Majmū‘ al-Fatāwā, 20: 159.
[20] as-Sa‘dī, ‘Abdurraḥmān bin Nāṣir. Tafsīr as-Sa‘dī QS. al-Mulk: 15.
[21] Zahrah at-Tafāsīr, 10: 5393.
[22] Pedro Jaureguiberry dkk. The direct drivers of recent global anthropogenic biodiversity loss. Science Advances, 8(45): eabm9982.
[23] Lamichhane, K dkk. (2025). Unraveling the causes and impacts of increasing flood disasters in the Kathmandu Valley: Lessons from the unprecedented September 2024 floods. Natural Hazards Research, 5(4): 875-897.
[24] HR. al-Bukhāri dalam Ṣhaḥīḥ al-Bukhārī, no. 3482 dan Muslim dalam Ṣhaḥīḥ Muslim, no. 2242.
[25] ‘Imam al-Mardawi al-Ḥanbalī. At-Taḥbīr Sharḥ at-Taḥrīr fī Uṣūl al-Fiqh, 8: 3851.
Daftar Pustaka
Abū Zahrah, Muḥammad bin Aḥmad bin Muṣṭafā. Zahrah at-Tafāsīr. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī. Diakses melalui Maktabah Syamilah.
ad-Daylamī, ‘Abd al-Wahhāb bin Luṭf. Subul al-Istifādah min an-Nawāzil (al-Fatāwā wa al-‘Amal al-Fiqhī fī at-Taṭbīqāt al-Mu‘āṣirah): Ḍawābiṭ al-Fatwā fī Ḍaw’ al-Kitāb wa as-Sunnah wa Manhaj as-Salaf aṣ-Ṣāliḥ. Majallat Majma‘ al-Fiqh al-Islāmī at-Tābi‘ li Munazzamat al-Mu’tamar al-Islāmī. Jeddah: Munazzamat al-Mu’tamar al-Islāmī. Diakses melalui Maktabah Syamilah.
al-Ahdal, ‘Abdullāh Qādirī. as-Sibāq ilā al-‘Uqūl. Riyadh: Kementerian Wakaf Arab Saudi. Diakses melalui Maktabah Syamilah.
al-‘Aql, Nāṣir ibn ‘Abd al-Karīm. Islāmiyyah lā Wahhābiyyah. Riyadh: Dār Kunūz Isybīliyyā li an-Nasyr, 1425 H. Diakses melalui Maktabah Syamilah.
al-Maḥallī, Jalāl ad-Dīn Muḥammad bin Aḥmad. Syarḥ al-Waraqāt fī Uṣūl al-Fiqh. Tahqīq dan taqdīm: Ḥusām ad-Dīn bin Mūsā ‘Affānah. Palestina: Jāmi‘at al-Quds, 1999. Diakses melalui Maktabah Syamilah.
al-Mardāwī, ‘Alā’ ad-Dīn Abū al-Ḥasan ‘Alī bin Sulaymān ad-Dimashqī aṣ-Ṣāliḥī al-Ḥanbalī. At-Taḥbīr Sharḥ at-Taḥrīr fī Uṣūl al-Fiqh. Tahqīq: ‘Abd ar-Raḥmān al-Jibrīn, ‘Awaḍ al-Qarnī, Aḥmad as-Sarrāḥ. Riyadh: Maktabat ar-Rushd, 2000. Diakses melalui Maktabah Syamilah.
as-Sa‘dī, ‘Abd ar-Raḥmān as-Sa‘dī. Tafsīr as-Sa‘dī. Penjelasan Q.S. al-Jumu‘ah ayat 10. Diakses melalui Quran.ksu.edu.sa.
ath-Ṭabarī, Muḥammad bin Jarīr. Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān. Penjelasan Q.S. al-Baqarah ayat 30. Diakses melalui Quran.ksu.edu.sa.
Ibnu Jibrīn, ‘Abdullāh bin ‘Abd ar-Raḥmān. Syarḥ ‘Umdat al-Aḥkām. Riyadh: Tafrịgh ad-Durūs aṣ-Ṣawtiyyah. Diakses melalui Maktabah Syamilah.
Ibnu Kathīr, Ismā‘īl bin ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Penjelasan Q.S. Hūd ayat 117 dan Q.S. al-Jumu‘ah ayat 10. Diakses melalui Quran.ksu.edu.sa.
Ibnu ‘Utsaimin, Muḥammad bin Ṣāliḥ. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm: Sūrat an-Nisā’. Riyadh: Dār Ibn al-Jauzī, 2009. Diakses melalui Maktabah Syamilah.
Ibnu Taimiyah, Aḥmad bin ‘Abdul Ḥalīm. Majmū‘ al-Fatāwā. Madinah: Mujamma‘ Malik Fahd li Ṭibā‘at al-Muṣḥaf asy-Syarīf, 2004. Diakses melalui Maktabah Syamilah.
Jaureguiberry, P., Titeux, N., Wiemers, M., Bowler, D. E., Coscieme, L., Golden, A. S., Guerra, C. A., Jacob, U., Takahashi, Y., Settele, J., Díaz, S., Molnár, Z., dan Purvis, A. The direct drivers of recent global anthropogenic biodiversity loss. Science Advances, 2022; 8(45): eabm9982. https://doi.org/10.1126/sciadv.abm9982
Lamichhane, K., Karki, S., Sharma, K., Khadka, B., Acharya, B., Biswakarma, K., Adhikari, S., Kc, R., Danegulu, A., Bhattarai, S., Regmi, A., Subedi, M., dan Bhattarai, P. K. Unraveling the causes and impacts of increasing flood disasters in the Kathmandu Valley: Lessons from the unprecedented September 2024 floods. Natural Hazards Research, 2025; 5(4): 875-897. https://doi.org/10.1016/j.nhres.2025.04.001
Majmū‘ah min al-Mu’allifīn. Majallat al-Buḥūth al-Islāmiyyah. ar-Ri’āsah al-‘Āmmah li Idārāt al-Buḥūth al-‘Ilmiyyah wa al-Iftā’ wa ad-Da‘wah wa al-Irsyād. Riyadh. Diakses melalui Maktabah Syamilah.
Miṣilḥī, ‘Abd al-Fattāḥ bin Muḥammad. Jāmi‘ al-Masā’il wa al-Qawā‘id fī ‘Ilm al-Uṣūl wa al-Maqāṣid. Mesir: Dār al-Lu’lu’ah li an-Nashr wa at-Tawzī‘, 2022.
Syawq, Maḥmūd Aḥmad. al-Ittijāhāt al-Ḥadīthah fī Takhṭīṭ al-Manāhij ad-Dirāsiyyah fī Ḍaw’ at-Taujīhāt al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 2001.
Artikel asli: https://muslim.or.id/111101-meninjau-istilah-wahabi-lingkungan-tinjauan-islam-tentang-konservasi-alam-bag-2.html