Beranda | Artikel
Meninjau Istilah Wahabi Lingkungan: Tinjauan Islam tentang Konservasi Alam (Bag. 1)
13 jam lalu

Akhir-akhir ini, masyarakat disuguhkan perselisihan pandangan antara aktivis konservasi lingkungan yang memperjuangkan kelestarian alam dan kelompok pelaku eksploitasi alam dengan tujuan kesejahteraan. Dalam perselisihan ini, para pelaku eksploitasi alam memberikan lakab (sebutan) “Wahabi lingkungan” kepada aktivis konservasi lingkungan karena mereka dinilai sangat menentang pemanfaatan lingkungan yang dianggap dapat memberikan kesejahteraan oleh para pelaku eksploitasi.

Ada apa dengan istilah Wahabi? 

Dalam asal penggunaannya, lakab “Wahabi” merupakan sebutan yang bersifat abusive untuk orang-orang yang melakukan purifikasi agama yang bersifat konservatif dan menolak kebid`ahan dalam praktik agama oleh para pelaku bid`ah. Di dalam kitab Islāmiyyah lā Wahhābiyyah, Syekh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql hafizhahullah menyebutkan,

فهذه الحركة المباركة لم تكن إلا معبرة عن الإسلام نفسه، مستهدفة إحياء ما اعترى تطبيقه من قبل كثير من المسلمين من غشاوة وجهل وإعراض وبدع. وحيث قد اشتهرت عند غير أهلها، وعند الجاهلين بحقيقتها باسم (الوهابية) فإن هذا الوصف انطلق أولًا من الخصوم، وكانوا يطلقونه على سبيل التنفير واللمز والتعيير

“Adapun gerakan yang diberkahi ini (gerakan purifikasi Islam) pada hakikatnya tidak lain hanyalah gerakan yang representatif dari Islam itu sendiri, yang bertujuan menghidupkan kembali penerapan ajaran Islam yang pada praktiknya telah tertutupi oleh berbagai bentuk kekaburan, kebodohan, sikap berpaling, dan bid‘ah di kalangan banyak kaum Muslimin. Namun, gerakan ini dikenal di kalangan pihak-pihak tidak sejalan dengannya dan di kalangan orang-orang yang tidak memahami hakikatnya dengan sebutan “Wahabi”. Maka, penamaan tersebut pada awalnya muncul dari pihak-pihak yang memusuhinya. Mereka menggunakannya sebagai sarana untuk menimbulkan kebencian, merendahkan, dan mencela.” [1]

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa istilah “Wahabi” sejak awal bukanlah klasifikasi ilmiah, melainkan label abusive yang lahir dari perselisihan beragama antara pihak yang mengusung purifikasi agama serta konservasi nilai-nilai dasarnya, dengan pihak yang mengusung akomodasi agama dengan nilai budaya. Seiring berjalannya waktu, istilah “Wahabi” digunakan bukan hanya dalam konteks perbedaan pandang beragama saja, melainkan untuk melabeli kelompok yang terkesan kaku, konservatif, dan tidak akomodatif. Padahal, label dan laqab seharusnya tidak menjadi parameter kebenaran. Hal ini juga ditegaskan para ulama ketika meluruskan penamaan Wahabi yang tidak berdasar, sebagaimana disebutkan dalam jurnal ilmiah resmi dari Kerajaan Saudi, Majallat al-Buḥūth al-Islāmiyyah,

إن الشيخ محمد بن عبد الوهاب ليس له مذهب خاص به يدعى بالوهابية؛ لأنه في العقيدة على منهج السلف وفي الفروع على مذهب الإمام أحمد بن حنبل الذي كان عليه علماء نجد من قبله وفي عصره ومن بعده. وأتباعه لم يتسموا بالسلفية وإنما يدعون إلى التمسك بمذهب السلف ويسيرون عليه بدون تسمية

“Sesungguhnya Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (salah satu tokoh yang dikenal melakukan purifikasi ajaran Islam dan konservasi nilai-nilainya) tidak memiliki mazhab khusus yang disebut ‘Wahabiyah’, karena dalam akidah beliau berada di atas manhaj salaf dan dalam fikih mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, serta bahwa para pengikutnya tidak menamakan diri dengan sebutan tertentu.”

Lalu, mereka menambahkan kaidah,

لأن العبرة بالحقائق لا بالأسماء

Tolak ukur sesuatu adalah hakikat, bukan penamaan/label. [2]

Belakangan ini, muncul kembali sebutan “Wahabi lingkungan” yang digunakan untuk melabeli kelompok yang menyuarakan konservasi lingkungan serta purifikasi prinsip-prinsip pengelolaan dan penggunaan lingkungan. Hal ini sangatlah bertentangan dengan ajaran Islam. Islam melarang memberi lakab dan label yang tidak disukai kepada sesama. Allah Ta`ala Berfirman,

وَيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka. Dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan lain, boleh jadi perempuan yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok. Janganlah kalian saling mencela dan jangan saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk setelah iman. Barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Hujurat: 11)

Konservasi alam merupakan syariat Islam

Setelah mengetahui ketidakberdasaran sebutan “Wahabi lingkungan” sebagai label bagi aktivis konservasi alam dan ketidaksyariahan label tersebut, kita harus mengetahui apakah konsep pelestarian lingkungan memang sejalan dengan ajaran Islam ataukah tidak. Nyatanya, Islam mengajarkan kita untuk melakukan ishlah (perbaikan) dan melarang kita berbuat ifsad/fasad (kerusakan). Allah Ta`ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (204) وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ (205)

“Di antara manusia ada yang ucapannya tentang kehidupan dunia membuatmu kagum, dan ia bersumpah atas nama Allah tentang apa yang ada di dalam hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras. Apabila ia berpaling, ia berjalan di muka bumi untuk berbuat kerusakan di dalamnya, merusak tanaman dan keturunan. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. al-Baqarah: 204-205)

Ayat tersebut menceritakan bahwa di antara kebiasaan orang-orang munafik adalah mengklaim membawa (melakukan) perbaikan; namun kenyataannya, mereka adalah yang membawa kerusakan di muka bumi. Hal yang dilakukan orang-orang munafik merupakan hal yang dilarang. Sesuatu yang dilarang merupakan sebuah perintah (untuk melakukan sebaliknya), begitupun sebaliknya. Syekh Jalaludin al-Mahalli rahimahullah dalam Syarḥ al-Waraqāt fī Uṣūl al-Fiqh menjelaskan,

الأمر بالشيء نهي عن ضده والنهي عن الشيء أمر بضده

“Perintah melakukan sesuatu adalah sebuah larangan untuk melakukan sebaliknya. Adapun larangan melakukan sesuatu adalah sebuah perintah untuk melakukan sebaliknya.” [3]

Ketika Islam mencela perbuatan orang munafik yang merusak dan tidak melakukan perbaikan, maka kita diperintahkan melakukan perbaikan dan dilarang melakukan kerusakan. Syekh Abdullah Qadiri rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya, as-Sibāq ilā al-‘Uqūl, bahwa yang dimaksud الْفَسَادَ (fasad/kerusakan) adalah,

يشمل ذلك الإفساد: النسل والنفس والعقل والمال، إضافة إلى إفساد الدين، يستغلون خيرات الأرض وبركات السماء، لنشر فسادهم وظلمهم، وإنزال الرعب على الآمنين

“Kerusakan itu mencakup segala bentuk kerusakan, baik keturunan, jiwa, akal, dan harta, begitu pula kerusakan agama. Mereka mengeksploitasi alam dengan cara serampangan, baik di bumi dan langit. Mereka memberikan kerusakan mereka dan kezaliman mereka, serta memberi kekhawatiran kepada orang-orang yang dapat hidup tenang.” [4]

Islam juga menjamin kebaikan orang-orang yang berbuat ishlah (perbaikan) dengan keamanan, sepadan dengan apa yang mereka lakukan. Perbuatan pelestarian alam merupakan bentuk dari ishlah,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَىٰ بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

Tidaklah Tuhanmu akan menghancurkan sebuah negeri dengan kezaliman sedangkan orang-orangnya merupakan orang pembawa perbaikan (di muka bumi).” (QS. Hud: 117)

Ibnu katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat tersebut menyebutkan,

أخبر تعالى أنه لم يهلك قرية إلا وهي ظالمة [ لنفسها ] ولم يأت قرية مصلحة بأسه وعذابه قط حتى يكونوا هم الظالمين

“Allah Ta`ala mengabarkan bahwa Ia tidak akan menghancurkan sebuah negeri kecuali karena kezaliman yang mereka perbuat. Allah juga tidak akan menurunkan azab dan siksa-Nya kepada negeri yang melakukan perbaikan, sampai para penghuninya berubah menjadi zalim.” [5]

Ayat ini dan tafsirnya menjelaskan bahwa sebuah takdir kauni yang Allah berikan memiliki sebab kauni-nya. Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya dengan memberikan sesuatu keburukan jika mereka tidak menjadi penyebab keburukan itu sendiri terjadi. Hal ini sejalan dengan kaidah akidah ahlussunnah wal jamaah,

أن الله تعالى يجري الأمور بأسبابها

“Bahwa Allah Ta`ala menetapkan segala perkara dengan (mengadakan) sebab-sebabnya.” [6]

Syekh al-Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan,

يُقَدِّرُ الله تبَارَكَ وَتَعَالى الأُمُور بأَسْبابها

“Allah Tabaraka wa Ta`ala menakdirkan sesuatu dengan (menetapkan) sebab-sebabnya.” [7]

Maka, penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan pentingnya melestarikan alam, agar kebermanfaatannya itu menyebar kepada sesama kita dan kerusakannya tidak menyebabkan bencana bagi kita.

Islam mengajarkan perbaikan walau ternilai kecil

Semangat perbaikan dalam Islam juga diwujudkan melalui tindakan-tindakan ajarannya. Tidak hanya yang bersifat perbaikan besar seperti kelestarian alam, Islam juga mengajarkan perbaikan-perbaikan kecil, seperti menanam pohon. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,

إن قامتِ السَّاعةُ و في يدِ أحدِكم فسيلةٌ، فإن استطاعَ أن لا تقومَ حتَّى يغرِسَها فليغرِسْها. (رواه البخاري وأحمد بن حنبل)

Apabila kiamat hendak datang, sedangkan di tangan kalian terdapat bibit tanaman dan kalian mampu menanamnya sebelum kiamat benar-benar terjadi, maka hendaknya ia menanamnya.[8]

Hadis tersebut menunjukkan bahwa Islam memperhatikan perbaikan dengan pelestarian alam walau dengan satu pohon, bahkan ketika kiamat akan benar terjadi. Kelestarian alam akan melahirkan kebaikan-kebaikan untuk makhluk lain. Setiap makhluk yang mengambil manfaat dari pelestarian alam yang seorang hamba lakukan akan terhitung sebuah catatan amal kebaikan di sisi Allah. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,

ما من مسلمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أو يَزْرَعُ زَرْعًا فيَأْكُلُ منه طيرٌ ولا إنسانٌ إلا كان له به صدقةً (رواه البخاري ومسلم)

Tidaklah seorang muslim menanam sebuah pohon atau melakukan perkebunan, lalu ada hewan dan manusia yang memakan dari hasilnya, maka akan tercatat sebuah sedekah baginya.[9]

Setiap makhluk yang mengambil kebermanfaatan dari upaya pelestarian alam yang kita lakukan, maka hal itu akan terhitung sebagai sebuah pahala sedekah di sisi Allah. Pahala sedekah yang kita dapatkan akan terus mengalir selama masih ada yang mengambil kebermanfaatan dari perbuatan kita, bahkan walau kita telah mati. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له. (رواه مسلم)

Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah catatan amalnya kecuali dari tiga hal: sedekah jariah (yang mengalir), ilmu bermanfaat, dan anak yang saleh.” [10]

Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah dalam Syarḥ ‘Umdah al-Aḥkām menjelaskan maksud dari sedekah jariah,

الأرض التي فيها شجرٌ أو لها أجرة أو فيها ثمرةٌ أو نحو ذلك، يتصدق بثمرها وغلتها؛ فهذه صدقة جارية

“Tanah yang di sana terdapat pepohonan yang digunakan untuk pengupahan atau tumbuh darinya buah dan semisalnya, kemudian ia bersedekah dengan buah-buahan dan pendapatannya, ini semua adalah bentuk sedekah jariah.” [11]

Allah akan mencatat pahala kebaikan dari upaya pelestarian alam kita selama ada yang mengambil kebermanfaatan di sana.

Dengan demikian, pelestarian alam dalam Islam bukan hanya bernilai sosial, tetapi juga bernilai ibadah dan sedekah jariyah. Namun, Islam juga tidak melarang manusia mengambil rezeki dari bumi. Pada bagian selanjutnya, akan dibahas bagaimana Islam memerintahkan kaum muslimin untuk memakmurkan bumi, mengambil rezeki darinya, serta menjaga sikap tawasuth (pertengahan) agar tidak terjerumus dalam eksploitasi berlebihan.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Insan Fathin

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Syekh Naaṣir ibn ‘Abd al-Kariim, Islāmiyyah laa Wahhabiyyah.

[2] Jurnal Ilmiyah Majallat al-Buḥūth al-Islāmiyyah.

[3] Jalaluddin al-Mahali, Syarḥ al-Waraqāt fī Uṣūl al-Fiqh, hal. 115.

[4] Abdullāh Qādirī. as-Sibāq ilā al-‘Uqūl, 2: 56.

[5] Ibnu Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm.

[6] Universitas Madinah Internasional. Ittijāhāt Fikriyyah Mu‘āṣirah, hal. 205.

[7] Muhammad bin Shalih bin ‘Utsaimin. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm: Sūrat an-Naml hlm. 215.

[8] HR. al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad no. 479, dan Ahmad dalam Musnad Ahmad no. 12981.

[9] HR. al-Bukhari no. 2320 dan Muslim no. 1553 dengan sedikit perbedaan lafaz.

[10] HR. Muslim dalam Ṣhaḥīḥ Muslim no. 1631.

[11] Ibnu Jibrīn. Syarḥ ‘Umdat al-Aḥkām, 53: 4. Riyadh: Tafrịgh ad-Durūs aṣ-Ṣawtiyyah. Diakses melalui Maktabah Syamilah.


Artikel asli: https://muslim.or.id/111099-meninjau-istilah-wahabi-lingkungan-tinjauan-islam-tentang-konservasi-alam-bag-1.html