Kaidah Al-Quran Tentang Seni Berdamai
Hidup di dunia ini bukanlah jalan yang selalu rata dan lapang. Ada kalanya kita melangkah di atas jalur yang landai, namun tidak jarang pula kaki kita tersandung oleh batu, atau terhalang oleh dahan yang jatuh melintang. Begitulah kehidupan yang penuh warna dan penuh ujian.
Dan di antara ujian yang kita alami dalam hidup adalah pertengkaran atau perselisihan. Ia bisa hadir di dalam rumah, di antara suami dan istri. Ia bisa tumbuh di lingkungan kerabat atau tetangga, merenggangkan silaturahmi. Bahkan ia dapat menyelinap dalam persahabatan dan hubungan kerja, mengeruhkan yang semula jernih.
Karena itulah, Allah Ta‘ala, dengan rahmat dan hikmah-Nya, menurunkan sebuah kaidah agung dalam Al-Qur’an, sebuah prinsip yang menjadi penawar luka sosial dan pengikat hubungan yang retak,
وَٱلصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ
“Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir…” (QS. An-Nisa: 128)
Ayat ini bukan sekadar nasihat, melainkan fondasi dalam membangun dan merawat hubungan. Ia menjadi alas kokoh untuk memperbaiki yang retak, mendekatkan yang menjauh, serta menyatukan kembali hati-hati yang tercerai.
Secara konteks, ayat ini berbicara tentang kehidupan rumah tangga. Ketika seorang istri merasa suaminya mulai berkurang perhatiannya atau kurang menunaikan hak-haknya, Islam tidak mendorong api pertikaian. Justru syariat mengajarkan jalan yang lebih lembut: ishlah (perdamaian).
Di antaranya dengan sikap lapang dada, ketika istri merelakan sebagian haknya demi menjaga keutuhan rumah tangga.
Begitu pula sebaliknya, jika suami merasa istri ada sesuatu yang tidak menyenangkan atau bersikap tak acuh, maka mengupayakan perdamaian tetaplah pilihan terbaik. Bukan dengan meninggikan ego, tetapi dengan merendah demi kedamaian bersama.
Allah Ta‘ala menegaskan lanjutan dari kaidah ini,
وَإِن تُحْسِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 128)
Perdamaian tidak akan lahir tanpa pengorbanan. Ia menuntut menurunkan ego, melunakkan hati, dan merelakan sebagian hak. Namun dari pengorbanan itulah, Allah menjanjikan kebaikan dan keberkahan
Kaedah ini “wa shulhu khair” tidak hanya berlaku di ruang rumah tangga. Ia adalah prinsip hidup yang luas, mencakup hubungan dengan tetangga, sahabat, dan rekan kerja. Sebagaimana dijelaskan para ulama, kaidah ini menjadi pedoman umum dalam menyikapi perselisihan manusia. (Lihat Al-Muharrar Al-Wajiz, 2: 141)
Sumbu pendek: Api yang memadamkan perdamaian
Tidak semua pertengkaran bermula dari masalah besar. Banyak konflik justru lahir dari emosi yang tak sempat ditenangkan, dari sumbu yang terlalu pendek, sehingga api amarah mudah menyala.
Sumbu pendek membuat seseorang cepat tersulut, mudah tersinggung, dan tergesa dalam bereaksi. Kalimat yang seharusnya bisa dijelaskan dengan tenang berubah menjadi tuduhan. Nasihat yang mestinya meluruskan, justru terasa sebagai serangan. Akhirnya, damai pun menjauh, bukan karena tak mungkin, tetapi karena hati terlalu panas untuk mendekat.
Islam mengajarkan bahwa perdamaian membutuhkan kelapangan dada dan kesabaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi teladan untuk menyegerakan damai, bukan memelihara marah. Sebab marah yang dibiarkan hanya akan menambah luka, sementara menahan diri (meskipun berat), sering kali menjadi awal turunnya rahmat Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat: 10)
Maka, jika kita ingin menjadi bagian dari solusi, panjangkan sumbu hati kita. Tunda reaksi, lembutkan ucapan, dan jernihkan niat. Karena damai tidak lahir dari suara yang meninggi, melainkan dari hati yang bersedia merendah.
Jadilah juru damai
Tidak semua orang diberi kemampuan untuk menyatukan yang retak. Tidak semua hati mampu hadir di tengah konflik dengan niat memperbaiki, bukan memperkeruh. Padahal, di saat hubungan berada di ujung perselisihan, satu niat baik saja bisa menjadi sebab turunnya pertolongan Allah.
Islam tidak hanya mengajarkan untuk menjauhi pertengkaran, tetapi juga mendorong umatnya menjadi juru damai yang hadir sebagai penyejuk ketika emosi memanas, dan sebagai penghubung ketika hati saling menjauh.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَٱبْعَثُوا۟ حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِۦ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَآ إِن يُرِيدَآ إِصْلَٰحًا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيْنَهُمَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa: 35)
Ayat ini menunjukkan bahwa perdamaian adalah proyek bersama, bukan urusan dua orang saja. Ketika konflik tak lagi mampu diselesaikan oleh pihak yang berselisih, Islam membuka ruang bagi hadirnya pihak ketiga, ia bukan sebagai hakim yang memvonis, tetapi sebagai hakam, juru damai yang memperbaiki.
Perhatikan satu syarat penting yang Allah sebutkan: “Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan.”
Artinya, keberhasilan ishlah sangat bergantung pada niat yang lurus. Jika yang dibawa adalah keinginan untuk menang, membela ego, atau mempermalukan salah satu pihak, maka perdamaian akan sulit tercapai. Namun jika niatnya tulus, Allah sendiri yang menjanjikan taufik-Nya.
Ketika seseorang dikaruniai akhlak yang mulia ini (senang berdamai), ia akan merasa ringan untuk melakukan ishlah (perdamaian dan perbaikan). Ia tidak berat untuk mengalah, tidak sibuk menghitung hak, dan tidak terpenjara oleh gengsi. Berbeda dengan orang yang kikir jiwanya; ia sulit menerima perdamaian karena merasa selalu ada yang dikurangi, selalu ada yang tidak terpenuhi. (Lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 207)
Tidak heran jika Allah Ta‘ala memberikan pujian khusus bagi orang-orang yang mengupayakan perdamaian. Dalam firman-Nya disebutkan,
لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 114)
Boleh jadi, melalui satu langkah kecil kita dalam ishlah, Allah menurunkan rahmat-Nya, menyatukan kembali hati yang hampir hancur, dan menuliskan bagi kita pahala yang besar.
Sepenggal kisah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdamai
Perdamaian bukan sekadar teori dalam Islam. Ia hidup, bergerak, dan nyata dalam teladan Rasulullah. Dalam keseharian beliau, kita dapati contoh-contoh indah bagaimana damai lebih diutamakan daripada mempertahankan ego, dan bagaimana keutuhan hubungan dijaga dengan kebijaksanaan dan kelapangan dada.
Pertama, kisah istri beliau Ummul Mukminin Saudah bintu Zam’ah yang sudah semakin tua dan ia khawatir bilamana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikannya. Ia bercerita dan berkomunikasi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar ia tetap dijadikan istrinya dan berdamai dengan memberikan jatah hariannya kepada Aisyah radiyallahu ‘anha. Akhirnya, ia tetap menjadi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Kedua, kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui penduduk Quba. Beliau mendapatkan kabar bahwa di antara mereka ada yang sedang bertikai, bahkan ada yang saling melemparkan batu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada sahabatnya,
اذْهَبُوا بنَا نُصْلِحُ بيْنَهُمْ
“Mari kita pergi untuk mendamaikan di antara mereka.” (HR. Bukhari)
Jika kita membuka lembaran sejarah, maka kita akan dapati banyak sekali kisah dan contoh teladan bagaimana kegigihan orang terdahulu untuk mendamaikan orang yang sedang bertikai.
Semua itu mengajarkan kepada kita satu hal: berdamai adalah jalan orang-orang mulia.
Boleh berbohong untuk mendamaikan
Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin ‘Abi Mu’aythin, ia di antara para wanita yang berhijrah pertama kali yang telah membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِى خَيْرًا
“Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan di antara pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih, -pen).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Syihab berkata, “Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk berdusta di dalamnya kecuali pada tiga perkara,
الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
“Peperangan, mendamaikan orang yang berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri pada suami (dengan tujuan untuk membawa kebaikan rumah tangga).” (HR. Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa ulama sepakat bahwa yang dimaksud bohong antar-suami istri adalah bohong yang tidak menggugurkan kewajiban atau mengambil sesuatu yang bukan haknya. (Lihat Fathul Bari, 5: 300)
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang ringan melangkah menuju damai, sebagaimana perintah Allah Ta’ala dan teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
***
Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syaikh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.
Artikel asli: https://muslim.or.id/111019-kaidah-al-quran-tentang-seni-berdamai.html