Kaidah Fikih: Segala Sesuatu Tergantung Tujuannya (Bag. 2)
Masih pada pembahasan kaidah,
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.”
Kaidah ini sangat erat kaitannya dengan masalah niat, baik buruk dari sebuah amalan, perbuatan, muamalah, dan lain sebagainya. Itu semua berasal dari baik atau buruknya niat seseorang.
Karenanya, mengetahui tentang masalah niat tidak kalah pentingnya dari mengetahui tentang amalan dan ganjaran dari mengerjakan amalan tersebut. Mengingat seseorang tidak akan sampai pada ganjaran itu kecuali dengan berdiri tegak di atas niat yang baik.
Hukum niat
Perlu diketahui bahwasanya niat adalah salah satu dari kategori ibadah yang disyariatkan. Namun, para ulama berselisih pendapat terkait dengan hukum niat. Berikut ini di antara pendapat para ulama tentang masalah niat,
- Niat merupakan syarat sah sebuah amalan.
- Niat merupakan rukun dalam seluruh amalan, karena niat termasuk dari bagian ibadah.
Mengingat rukun adalah bagian dari ibadah, sedangkan syarat berada di luar ibadah. Sehingga para ulama yang berpendapat niat merupakan syarat sah salat, mereka menganggap bahwa niat berada di luar salat, bukan termasuk salat. Adapun para ulama yang berpendapat niat merupakan rukun salat, maka mereka mengkategorikan niat termasuk bagian dalam salat.
Sama halnya seperti membaca surah Al-Fatihah, membacanya adalah sebuah rukun karena berada di dalam ibadah salat. Adapun menghilangkan najis, maka ini adalah syarat sah salat karena berada di luar ibadah salat.
Terdapat rincian yang bagus dari seorang ulama yang bernama Al-‘Alaaiy [1], beliau membagi menjadi dua bagian;
- Jika niat sangat erat kaitannya dengan keabsahan sebuah amalan atau ibadah, maka niat termasuk dari rukun amalan atau ibadah tersebut.
- Jika sebuah amalan atau ibadah tetap sah tanpa ada niat, artinya niat hanya sebagai “syarat” untuk mendapatkan sebuah pahala, maka niat termasuk dari syarat, bukan rukun dari amalan atau ibadah tersebut.
Contohnya seperti mandi yang hukum asalnya adalah mubah. Namun, jika seseorang mandi dengan berniat ibadah, mensucikan diri dari hadas besar kemudian dengan itu ia melaksanakan salat, maka niatnya tersebut menjadi “syarat” untuk mendapatkan pahala.
Tujuan dari niat
Sebagaimana yang telah diketahui, niat adalah salah satu ibadah yang disyariatkan. Namun perlu diketahui pula bahwa niat tidaklah disyariatkan kecuali dengan dua tujuan:
Tujuan pertama
تَمْيِيِزُ العِبَادَاتِ عَنِ العَادَاتِ
“Membedakan antara ibadah dengan adat (kebiasaan).”
Ada di antara beberapa amalan yang bisa disebut sebagai ibadah dan bisa juga disebut sebagai adat (kebiasaan), dilihat dari tata caranya yang ternyata amalan tersebut sesuai dengan adat yang sudah biasa dikerjakan. Sehingga untuk membedakan antara ibadah dan adat, dibutuhkanlah niat dalam amalan tersebut.
Sebagaimana yang telah disinggung pada contoh di atas. Mandi dengan menggunakan air bisa disebut dengan ibadah bisa juga disebut dengan adat, tergantung dari niatnya. Sama halnya dengan menahan diri dari makan dan minum, bisa disebut dengan puasa atau hanya memang menahan diri dari makan dan minum biasa seperti untuk diet, atau untuk terapi kesehatan, dan lain sebagainya. Dan sekali lagi, hal tersebut hanya bisa dibedakan dengan niatnya.
Oleh karena itu, niat sangat penting dalam hal ini untuk bisa membedakan antara ibadah atau memang hanya kebiasaan semata.
Tujuan kedua
تَمْيِيْزُ رُتَبِ العِبَادَاتِ بَعْضُهَا عَنْ بَعْضٍ
“Membedakan antara tingkatan suatu ibadah dengan ibadah lainnya.”
Dikarenakan ibadah memiliki tingkatan-tingkatan dan tidak hanya satu tingkatan saja. Sehingga untuk membedakannya, dibutuhkan niat. Terkadang ada ibadah yang sifatnya wajib atau sunah. Begitupula terkadang adapula ibadah yang sifatnya adalah nazar dari seseorang, atau terkadang ibadah tersebut merupakan pengulangan dari ibadah yang tidak sempurna, atau juga ibadah yang bersifat qadha, dan jenis-jenis ibadah lainnya.
Keseluruhan ibadah di atas tidak dapat dibedakan kecuali dengan adanya niat dari yang mengamalkannya. Contoh sederhananya adalah puasa, beberapa orang misalnya ketika berpuasa di hari yang sama, di waktu yang sama, namun bisa berbeda puasanya. Bisa jadi orang pertama puasa nazar, orang kedua puasa sunah Senin dan Kamis, orang ketiga puasa qadha’, dan seterusnya.
Oleh karenanya, pada ibadah-ibadah yang serupa dan hampir sama, disyaratkan untuk menentukan niatnya agar tidak tersarukan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya.
Hasil dari kedua tujuan di atas
Kedua tujuan di atas melahirkan sebuah hasil dari disyariatkannya niat, yaitu:
- Ibadah yang sifatnya dapat terbedakan dengan sendirinya dan tidak tersarukan dengan adat atau ibadah yang lainnya, maka tidak butuh dengan niat. Seperti amalan-amalan hati berupa iman kepada Allah, atau takut dan berharap hanya kepada Allah. Amalan-amalan tersebut dapat terbedakan dengan sendirinya, sehingga tidak butuh niat.
- Jika seseorang keliru dalam niat sebuah ibadah yang disyaratkan untuk menentukan niatnya, maka ibadahnya batal. Seperti halnya seseorang yang ingin melaksanakan salat Zuhur di waktu zuhur, namun ia berniat untuk salat Ashar, maka salat Zuhurnya tidak sah; begitupun dengan salat Asharnya, karena berarti ia mendirikan salat Ashar sebelum masuk waktunya.
- Adakalanya adat (kebiasaan) masuk dalam kategori sebuah ibadah dengan sebab niat seseorang. Dengan niat tersebut, jadilah sebuah kebiasaan menjadi sebuah ibadah dan berpahala. Seperti halnya dalam hal-hal yang mubah, minum, makan, tidur, mencari nafkah, dan lain sebagainya. Jika ditujukan untuk menguatkan tubuh dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah, maka akan bernilai pahala.
Begitupula dengan menikah, jika bertujuan untuk menjaga diri, menghasilkan keturunan berupa anak-anak yang saleh dan salehah, memperbanyak umat, maka akan bernilai pahala. Dan niat-niat yang lainnya.
Dari pembahasan ini, kesimpulan yang menarik adalah begitu pentingnya masalah niat dalam syariat Islam. Karena sebab niat, suatu kebiasaan menjadi sebuah ibadah yang mulia lagi berharga dan berpahala. Begitupula dengan sebab niat, ibadah yang kecil bisa berpahala besar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Mubarak rahimahullah,
رُبَّ عملٍ صغيرٍ تعظِّمهُ النيَّةُ، وربَّ عمل كبيرٍ تُصَغِّره النيَّةُ.
“Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena sebab niat; dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena sebab niat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam)
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
[Selesai]
***
Depok, 20 Jumadal akhirah 1447/ 23 November 2025
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
- Al-Mumti’ fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary.
- dan beberapa referensi lainnya
Artikel asli: https://muslim.or.id/110945-kaidah-fikih-segala-sesuatu-tergantung-tujuannya-bag-2.html