Saat Akal Harus Tunduk kepada Wahyu
Salah satu ciri utama orang bertakwa yang disebut dalam Al-Qur’an adalah mereka yang “beriman kepada yang gaib.” Allah Ta’ala berfirman,
ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 3)
Ayat ini merupakan fondasi akidah seorang Muslim. Sebab, kehidupan manusia tidak hanya terbatas pada dunia yang terlihat, tetapi juga mencakup alam yang tak bisa dijangkau oleh pancaindra, seperti malaikat, surga, neraka, azab kubur, dan sifat-sifat Allah Ta’ala.
Beriman kepada hal-hal gaib adalah tanda kerendahan hati di hadapan kebesaran Allah Ta’ala. Seorang mukmin menyadari bahwa ilmunya terbatas, sedangkan ilmu Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu. Maka ketika wahyu datang membawa kabar tentang sesuatu yang tak bisa dijangkau akal, ia tidak menolaknya. Ia menerimanya dengan penuh keyakinan, karena yakin bahwa yang berbicara adalah Allah Yang Maha Mengetahui, dan yang menyampaikan adalah Rasul yang jujur lagi terpercaya.
Akal untuk memahami, bukan untuk menentang
Akal adalah karunia agung dari Allah Ta’ala. Dengannya manusia bisa membedakan yang benar dari yang batil, memahami perintah dan larangan, serta mengenal Tuhannya. Namun, akal bukan sumber kebenaran mutlak. Akal hanya mampu menembus hal-hal yang bisa diindra, sementara perkara gaib berada di luar jangkauannya.
Oleh karena itu, para ulama Ahlus Sunnah menjelaskan bahwa akal digunakan untuk memahami dan membenarkan wahyu, bukan untuk menolak dan menyelewengkannya. Imam Ahmad rahimahullah berkata,
لا يُوصَفُ اللهُ إلا بما وصف به نفسَهُ أو وصفه به رسولُه… لا يتجاوز القرآن والحديث
“Allah tidak boleh disifati kecuali dengan apa yang Dia sifati bagi diri-Nya atau yang Rasul-Nya sifati; tidak boleh melampaui al-Qur’an dan hadis.” (Majmû‘ al-Fatâwâ, 5: 26)
Perkataan ini menjadi kaidah agung dalam masalah akidah. Imam Ahmad rahimahullah menegaskan bahwa hal-hal gaib dan sifat-sifat Allah hanya boleh dibicarakan berdasarkan nash yang sahih, dan tidak boleh diukur dengan akal manusia. Sebab, wilayah gaib adalah milik wahyu, bukan ruang untuk spekulasi logika. Barang siapa memaksakan akalnya untuk menembus apa yang Allah Ta’ala sembunyikan, ia akan tersesat dalam keraguan.
Sikap ahlus sunnah terhadap sifat Allah dan hal-hal gaib
Dalam perkara-perkara gaib seperti sifat-sifat Allah (misalnya tangan, wajah, turun ke langit dunia, dan beristiwa di atas ‘Arsy), Ahlus Sunnah wal Jama‘ah bersikap adil dan beradab. Mereka menetapkan sebagaimana datangnya dalam nash, tanpa menyerupakan (tasybîh), tanpa menolak (ta‘thîl), tanpa menyelewengkan makna (tahrîf), dan tanpa menanyakan “bagaimana” (takyîf).
Salah satu contoh penerapan prinsip sebagaimana ucapan Imam Ahmad sebelumnya di atas tampak pada ucapan Imam Malik bin Anas rahimahullah. Diriwayatkan secara masyhur bahwa ketika beliau ditanya tentang firman Allah,
ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ
“Yang Maha Pengasih beristiwa di atas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5),
beliau menjawab,
الاستواء معلوم، والكيف مجهول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة
“Al-istiwa’ itu ma‘lum (maknanya diketahui), kaifiyyah-nya majhûl (tatacaranya tidak diketahui), beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentang bagaimana-nya adalah bid‘ah.” (Diriwayatkan dalam Al-Atsar al-Masyhûr ‘an al-Imâm Mâlik fî Sifati al-Istiwa’, hal. 15; lihat juga Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bârî, 13: 406)
Ucapan Imam Malik ini menjadi kaidah besar dalam manhaj Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Mereka meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, namun tidak menyerupai makhluk dalam sifat apa pun, sebagaimana firman-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syûrâ: 11)
Karena itu, ketika disebut bahwa Allah beristiwa di atas ‘Arsy, seorang mukmin tidak membayangkan bagaimana caranya. Ia cukup beriman sebagaimana datang dalam nash, karena hakikat “bagaimana” itu hanya diketahui oleh Allah.
Demikian pula halnya dengan turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, keberadaan azab kubur, nikmat surga, dan kedahsyatan neraka, semuanya benar, walaupun akal manusia tidak mampu membayangkannya. Seorang mukmin yang jujur cukup berkata,
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
“Kami dengar dan kami taati.” (QS. Al-Baqarah: 285)
Akal tidak mampu menimbang kadar dosa
Salah satu bukti paling nyata bahwa akal manusia tidak bisa dijadikan tolok ukur kebenaran adalah ketika menilai besar kecilnya dosa. Secara logika, banyak orang akan mengira bahwa membunuh manusia, mencuri, atau berzina jauh lebih berat dosanya daripada sekadar menyembelih hewan dengan niat selain untuk Allah. Namun, wahyu membalik pandangan itu sepenuhnya.
Dalam pandangan syariat, menyembelih hewan bukan karena Allah termasuk dosa syirik akbar, dosa yang paling besar dan tidak akan diampuni jika pelakunya mati tanpa tobat. Adapun pembunuhan, zina, mencuri, dan dosa besar lainnya, meskipun sangat berat, masih mungkin diampuni oleh Allah apabila pelakunya bertobat dengan tulus.
Akal mungkin sulit menerima bahwa perbuatan yang tampak ringan, seperti mempersembahkan sembelihan untuk selain Allah, bisa lebih berat daripada membunuh manusia. Namun, di sinilah ujian iman sesungguhnya. Orang beriman menimbang dosa bukan dengan logika, tetapi dengan timbangan wahyu. Ia tunduk kepada keputusan Allah, karena Allah sendiri telah menegaskan,
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqmân: 13)
Syirik adalah bentuk kezaliman terbesar, karena menempatkan makhluk sejajar dengan Sang Pencipta. Ia bukan sekadar pelanggaran terhadap aturan, tetapi pengkhianatan terhadap hak Allah untuk disembah semata.
Akal manusia tidak mampu menilai kedalaman makna ini, sebab akal hanya melihat dari sisi lahir: penderitaan, kerugian, atau dampak sosial. Sedangkan wahyu melihat dari sisi hakikat: siapa yang dilanggar dan siapa yang dilawan. Dosa terhadap makhluk memang berat, tetapi dosa terhadap Allah, khususnya kesyirikan, jauh lebih dahsyat.
Maka, siapa yang memahami hal ini akan sadar bahwa ukuran benar dan salah bukan ditentukan oleh logika, tetapi oleh petunjuk Allah. Seorang mukmin sejati menyerahkan penilaiannya kepada wahyu, karena ia tahu: akal bisa keliru menimbang dosa, tetapi wahyu tidak pernah salah menunjukkan jalan kebenaran.
Bahaya menjadikan akal sebagai hakim atas wahyu
Sejarah menunjukkan banyaknya kelompok sesat yang tersesat karena menjadikan akal sebagai hakim di atas nash. Kaum Mu‘tazilah dan Jahmiyyah, misalnya, mereka menolak ayat-ayat tentang sifat Allah karena dianggap tidak logis. Mereka menakwil maknanya agar sesuai dengan filsafat manusia. Padahal, logika manusia tidak layak menilai wahyu Rabbul ‘alamin.
Menolak wahyu karena akal tidak mampu membayangkan hakikatnya adalah bentuk kesombongan terhadap Allah. Bukankah manusia tidak melihat ruhnya sendiri, namun yakin bahwa ia hidup? Bukankah manusia tidak melihat malaikat, namun percaya mereka ada? Maka bagaimana mungkin ia menolak berita dari Allah hanya karena tak sesuai dengan bayangannya?
Orang yang mendahulukan iman di atas akal akan merasakan ketenangan yang luar biasa. Ia tidak terseret oleh keraguan, tidak terguncang oleh hal yang tidak bisa dijelaskan secara logika. Ia yakin bahwa kabar dari Allah pasti benar, janji-Nya pasti nyata, dan ancaman-Nya pasti terjadi.
Ia beriman bahwa Allah melihatnya walau ia tidak melihat Allah. Ia takut kepada azab kubur walau belum pernah melihat kubur yang terbuka. Ia merindukan surga walau belum mencium harumnya. Inilah ketenangan yang hanya dimiliki orang beriman: keyakinan yang tidak bergantung pada penglihatan, tapi pada kepercayaan penuh kepada Rabbnya.
Tundukkan akal, tegakkan iman
Saudaraku, akal adalah cahaya, tapi ia hanya bersinar ketika mendapat petunjuk dari wahyu. Jika dijadikan sumber kebenaran, ia akan menyesatkan. Karena itu, dalam urusan yang gaib dan dalam hal-hal yang tak terjangkau logika, seperti sifat-sifat Allah, kehidupan akhirat, dan kadar dosa, maka kedepankan iman, bukan debat akal.
Percayalah, bahwa apa yang datang dari Allah pasti benar, meski tak bisa dijangkau oleh nalar manusia. Orang yang menundukkan akalnya di hadapan wahyu akan ditinggikan derajatnya, karena ia menempatkan diri sebagai hamba yang tunduk, bukan hakim atas agama.
Dan kelak di akhirat, ketika mata telah melihat kebenaran yang dulu hanya diimani, mereka akan menyesal yang dulu berkata, “Kami tidak percaya sebelum melihat.” Sedangkan orang beriman akan tersenyum, karena ia sudah yakin sejak di dunia.
Wallahu a‘lam bish-shawâb.
Baca juga: Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia
***
Penulis: Fauzan Hidayat
Artikel Muslim.or.id
Artikel asli: https://muslim.or.id/110666-saat-akal-harus-tunduk-kepada-wahyu.html