Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 11): At-Tatsabbut dan At-Tabayyun
Dakwah adalah seruan mulia kepada Allah ﷻ. Ia hendaknya di atas ilmu yang kokoh (tsabit) dan tidak ada keraguan di dalamnya. Begitupula, dakwah adalah bagian dari amar maruf nahi munkar. Termasuk dalam fikih amar maruf nahi munkar adalah memastikan perkara itu benar-benar maruf untuk diserukan, serta memastikan perkara itu adalah kemungkaran yang perlu ditentang. Medan dakwah tidak akan pernah lepas dari urusan tersebut.
Banyak sekali perselisihan terjadi salah satunya datang dari pintu ini: ketergesa-gesaan. Misalnya, seorang dai mendapatkan kabar tidak baik dari orang lain –semisal murid atau rekannya– tentang si fulan. Kabar tersebut belum dipastikan kebenarannya. Tetapi, karena tersulut emosi atau karena semangatnya untuk amar maruf nahi munkar, kemudian ia pun merespons kabar itu dengan tulisan ataupun ceramahnya ke hadapan publik. Akhirnya, sampailah respons tersebut kepada si fulan, dan ternyata tidak benarlah kabar tersebut. Maka, keadaan ini tentu menyakitkan bagi si fulan. Bisa jadi dengan hal demikian, si fulan pun bangkit membalas respons tersebut. Akhirnya, terjadilah perselisihan di medan dakwah yang tidak diharapkan. Jika landasan perselisihannya demikian, maka mudah kita ketahui bahwa ini perselisihan yang tidak lagi ilmiah, melainkan berlandaskan emosi semata.
Contoh di atas adalah keadaan umum yang bisa terjadi kepada siapa saja. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjalankan dakwah di atas manhaj at-tatsabbut. InsyaAllah, kita akan mengenalnya dalam artikel ini, semoga menjadi jalan untuk kita mengamalkannya di keseharian.
Makna at-tatsabbut (التَّثَبُّتُ)
At-tatsabbut (التَّثَبُّتُ) adalah mashdar dari kata tatsabbata (تَثَبَّت), berarti yakin memastikan. Secara bahasa, tatsabbut berarti,
التَّأنِّي في الأمرِ وعَدَمُ الاستعجالِ فيه
“Berhati-hati dalam suatu urusan dan tidak tergesa-gesa di dalamnya.”
Contoh penggunaannya adalah kalimat, “تَثَبَّت في رأيِه وأمرِه”, maknanya adalah apabila seseorang tidak terburu-buru dan bersikap tenang dalam memutuskan. Dan dikatakan pula, “استَثْبَت في أمرِه”; maknanya yaitu apabila ia meminta pendapat, berkonsultasi, dan meneliti suatu perkara. Berdasarkan makna bahasa, at-tatsabbut adalah sikap tenang dalam memutuskan. At-tatsabbut dicapai dengan seseorang itu meneliti dan berkonsultasi dengan orang lain ketika memutuskan suatu perkara.
Secara istilah, at-tatsabbut didefinisikan para ulama sebagai berikut,
“At-tatsabbut adalah bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa dalam setiap keadaan ketika seseorang menghadapi sesuatu yang menimbulkan keraguan, hingga perkara itu menjadi jelas baginya dan ia dapat melihat mana yang benar, tepat, dan hakikatnya. Termasuk di dalamnya mengerahkan usaha untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari perkara yang dihadapi.” (Fathul Qadir, 5: 71; karya Asy-Syaukani, dinukilkan dalam Taisir Karimir Rahman li As-Sa’di) [1]
Perbedaan antara at-tatsabbut dan at-tabayyun
Dalam QS. Al-Hujurat: 6, Allah ﷻ berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Terdapat dua qiraah pada kalimat “فَتَبَيَّنُوٓا۟”, yakni di qiraah lain digunakan kata “فتَّثَبُّت”. Para ulama berbeda pendapat tentang kedua qiraah ini. Ada yang mengatakan maknanya sama, yakni orang-orang yang mutatsabbit (bersikap tsabbut) itu sama dengan orang yang mutabayyin (melakukan tabayyun), dan sebaliknya. Namun, banyak ulama lainnya yang menerangkan perbedaannya. [2]
Abu Ali Al-Farisi misalnya mengatakan bahwa tatsabbut adalah lawan al-iqdam (tergesa-gesa), sehingga maknanya adalah menahan diri untuk meneliti terlebih dahulu. Sedangkan tabayyun adalah upaya aktif paling maksimal dalam memastikan sesuatu.
Menurut Abu al-Najm al-Nasafi, “At-tabayyun dan al-istibanah adalah mengenali dan memeriksa hingga menjadi diketahui, sementara at-tatsabbut dan al-istitsbat adalah bersikap tenang dan merenung hingga sesuatu itu tampak jelas.”
Menurut Asy-Syaukani,
المرادُ من التَّبَيُّنِ التَّعرُّفُ والتَّفحُّصُ، ومن التَّثَبُّتِ: الأناةُ وعَدَمُ العَجَلةِ، والتَّبصُّرُ في الأمرِ الواقِعِ والخبَرِ الوارِدِ حتَّى يتَّضِحَ ويَظهَرَ
“Maksud tabayyun adalah mengenali dan menyelidiki, sedangkan tatsabbut adalah tenang, tidak tergesa-gesa, dan meneliti berita yang terjadi dan informasi yang dilaporkan sampai jelas dan tampak hakikatnya.” (Fathul Qadir, 5: 71)
Maka, dapat kita simpulkan bahwa tatsabbut lebih kepada tindakan tenang dan tidak tergesa-gesa dalam meneliti masalah. Sedangkan tabayyun adalah tindakan aktif mencari informasi untuk memvalidasi kabar tersebut. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa tatsabbut wa tabayyun dapat diartikan sebagai wait and crosscheck.
Perintah untuk tatsabbut wa tabayyun (wait and crosscheck)
Ketika suatu perkara belum jelas atau belum meyakinkan bagi seseorang, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai ilmu. Allah ﷻ melarang kita mengikuti sesuatu yang kita belum tahu ilmunya. Allah ﷻ berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmunya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra’: 36)
Syekh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menafsirkan,
ولا تتبع ما ليس لك به علم، بل تثبت في كل ما تقوله وتفعله، فلا تظن ذلك يذهب لا لك ولا عليك
“Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau punya ilmu tentangnya. Namun bersikaplah tatsabbut (teliti dan berhati-hati) dalam setiap yang engkau katakan dan lakukan. Janganlah engkau menyangka bahwa hal itu akan berlalu begitu saja, tanpa ada (konsekuensi) untukmu maupun atasmu.” (Taisir Karimir Rahman dalam Tafsir QS. Al-Isra: 36) [3]
Maknanya, Allah ﷻ memerintahkan kita untuk melakukan crosscheck atas berita yang kita terima. Benar-benar kita lakukan penelitian yang penuh kehati-hatian terhadap apa yang kita terima serta apa yang kita keluarkan. Paling minimum adalah melakukan tatsabbut, yakni tidak terburu-buru memberikan respons, sampai ada kabar lain yang memvalidasi. Juga diperingatkan bahwa semua perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban, dan Allah ﷻ tidak akan lalai dengan itu. Dalam Tafsir al-Muyassar dijelaskan,
ولا تتبع -أيها الإنسان- ما لا تعلم، بل تأكَّد وتثبَّت. إن الإنسان مسؤول عما استعمَل فيه سمعه وبصره وفؤاده، فإذا استعمَلها في الخير نال الثواب، وإذا استعملها في الشر نال العقاب.
“Wahai manusia, janganlah engkau mengikuti sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmunya. Mestinya, engkau pastikan dan ber-tatsabbut (teliti dan kaji lebih lanjut). Sesungguhnya manusia akan ditanya tentang penggunaan pendengaran, mata, dan hatinya. Jika ia gunakan dalam kebaikan, ia akan mendapat pahala. Jika ia gunakan dalam keburukan, ia akan mendapatkan siksaan.” (Tafsir Al-Muyassar QS. Al-Isra: 36 via tafsir.app)
Dalam QS. Al-Hujurat: 6, Allah ﷻ berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwasanya Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada para sahabat untuk melakukan penelitian secara mendetail atas suatu kabar. Sebagaimana perintah itu dihimpun dalam sabda beliau ﷺ,
التأني من الله و العجلة من الشيطان
“Ketelitian datangnya dari Allah ﷻ, dan tergesa-gesa datangnya dari setan.” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya, 3: 1054 dan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra. Sanadnya dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4: 404) [4]
Fasik dalam ayat ini meliputi sumber beritanya, yakni orangnya fasik dan juga kabarnya fasik meskipun dari orang yang beriman. [5] Jadi, potensi rusaknya informasi itu bisa meliputi penyampainya maupun berita yang disampaikan. Hal ini bisa saja dikarenakan kurangnya tatsabbut yang mungkin dilakukan oleh orang beriman yang saleh sekalipun. Atau bisa saja karena lemahnya ingatan seseorang dalam meriwayatkan. Apalagi di zaman ini, betapa banyak orang yang kurang dalam kemampuan menghafalnya, tidak hanya teks, tapi juga konteks pengkabarannya.
Oleh karena itu, Syekh ‘Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya,
بل الواجب عند خبر الفاسق، التثبت والتبين، فإن دلت الدلائل والقرائن على صدقه، عمل به وصدق، وإن دلت على كذبه، كذب، ولم يعمل به
“Maka yang wajib ketika menerima berita dari orang fasik adalah ber-tatsabbut dan ber-tabayyun. Apabila bukti dan indikasi menunjukkan bahwa ia benar, maka beritanya diterima dan dibenarkan. Namun, jika bukti menunjukkan bahwa ia berdusta, maka beritanya didustakan dan tidak diamalkan.”
Allah ﷻ berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu, “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 94)
Abu Musa Al-Maturidi rahimahullah berkata berkaitan dengan tafsir ayat ini,
فيه الأمرُ بالتَّثَبُّتِ عِندَ الشُّبهةِ، والنَّهيُ عن الإقدامِ عِندَها، وهكذا الواجِبُ على المُؤمِنِ الوقوفُ عِندَ اعتراضِ الشُّبهةِ في كُلِّ فِعلٍ وكُلِّ خَبرٍ
“Di dalam (perkataan itu) terdapat perintah untuk ber-tatsabbut (meneliti dan berhati-hati) ketika muncul syubhat, dan larangan untuk maju (bertindak) ketika ada syubhat. Demikianlah kewajiban seorang mukmin: berhenti (tidak terburu-buru) ketika syubhat muncul dalam setiap perbuatan dan setiap berita.” (Tafsir Al-Maturidi, 3: 331) [6]
Perintah tatsabbut juga ditekankan dalam kasus fitnah yang besar, yakni dalam fitnah haditsul ifki yang terjadi kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha. Allah ﷻ berfirman,
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal di sisi Allah, itu perkara yang besar.” (QS. An-Nur: 15)
Kesimpulan
Penggalian terhadap asas dakwah yakni bersikap tatsabbut menunjukkan kepada adanya kesamaan dengan tabayyun. Tumpang tindih penggunaan istilah tatsabbut dengan tabayyun dalam beberapa ayat dan tafsir menunjukkan fungsi yang sama dari kedua kata tersebut. Akan tetapi, secara terperinci dapat kita ketahui bahwa tatsabbut dan tabayyun adalah dua aktivitas yang berbeda.
Kita dapati bahwasanya ada banyak keadaan dimana seorang muslim diwajibkan untuk tidak reaktif terhadap segala berita dan kejadian yang datang. Dalam beragam perintah tersebut, Allah ﷻ memerintahkan agar menahan diri, lalu meneliti kevalidan dari perkara tersebut. Lebih jauh lagi, seorang muslim didorong untuk tabayyun, yakni tidak sekadar aktif menggali validitas berita, tetapi juga konteks yang menyebabkan hal itu terjadi. InsyaAllah dalam tulisan selanjutnya, kita akan mempelajari bagaimana dampak dari meninggalkan tatsabbut wa tabayyun serta praktiknya dalam kehidupan.
[Bersambung]
***
Penulis: Glenshah Fauzi
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Mausuah Al-Akhlak wa As-Suluk.
[2] Keterangan selanjutnya masih dinukil dari Mausuah Al-Akhlak wa As-Suluk.
[3] https://quran.ksu.edu.sa/tafseer/saadi/sura17-aya36.html
[4] Dalam Tafsir Ibnu Katsir yang kami dapati menggunakan lafal التبين. Namun, perbedaan ini tidak terlalu mengubah makna. Maksud dari hadis tetap benar, yakni kehati-hatian adalah perkara yang menjadi syariat agama ini.
[5] Keterangan ini disandarkan kepada Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili, dinukilkan dari salah satu ceramah Ustad M. Nuzul Dzikri, hafizhahumallah.
[6] Nukilan bisa dicek di tautan ini.
Artikel asli: https://muslim.or.id/110546-asas-dakwah-dan-menghadapi-perselisihan-bag-11.html