Beranda | Artikel
Penjelasan Kitab Tajilun Nada (Bag. 25): Isim Maa Laa Yansharif
19 jam lalu

Kelanjutan dari pembahasan isim yang di-i‘rab dengan tanda cabang pada artikel ini berfokus pada isim kelima, yaitu isim maa la yansharif. Isim ini memiliki keistimewaan karena tidak menerima tanwin dan pada posisi majrur ditandai dengan fathah, bukan kasrah, kecuali dalam keadaan tertentu. Kekhususan tersebut menunjukkan betapa sistem i‘rab dalam bahasa Arab tidak hanya bersandar pada kaidah umum, tetapi juga memiliki variasi khusus yang memperkaya pemahaman gramatikal. Dalam ilmu nahwu, isimisim (kata benda) secara umum dapat berubah sesuai dengan posisi i’rab-nya, yakni marfu‘ (رفع), manshub (نصب), dan majrur (جر). Namun, terdapat sebagian isim yang tidak mengikuti tanda i‘rab pada umumnya, terutama pada posisi jar. Isim semacam ini disebut dengan “isim maa la yansharif” atau dalam istilah lain disebut juga dengan “mamnu‘ min ash-sharf”.

Pengertian dan ciri-ciri isim maa la yansharif

Ibnu Hisyam menyatakan bahwa, “Isim maa la yansharif ketika berkedudukan majrur (dimasuki huruf jarr), maka tanda i‘rab-nya berupa fathah, bukan kasrah.

Contohnya adalah:

بِأَفْضَلَ مِنْهُ

“Dengan orang yang lebih utama darinya.”

Namun, hal tersebut berlaku dengan syarat bahwa isim tersebut tidak dimasuki “al” (ال) dan tidak dalam susunan idhafah.

Contoh isim yang dimasuki “al”:

بِٱلْأَفْضَلِ

“Dengan orang yang paling utama.”

Contoh isim yang dalam susunan idhafah:

بِأَفْضَلِكُمْ

“Dengan orang yang paling utama di antara kalian.”

Kedua contoh di atas tetap memakai kasrah pada huruf akhir isim tersebut karena gugurnya status sebagai isim maa la yansharif disebabkan adanya “al” atau karena berupa susunan idhafah.

Makna mamnu‘ min ash-sharf

Secara harfiah, mamnu‘ min ash-sharf berarti “yang dilarang menerima tanwin”. Karena itu, isim jenis ini tidak boleh di-tanwin, sebab tanwin itu sendiri merupakan sharf. Isim ini disebut maa la yansharif karena diawali oleh kata “laa” (لا), yang menunjukkan penafian. Atau dengan penamaan lain, isim ini diawali oleh kata mamnu’ yang menunjukkan penafian juga.

Sebab-sebab suatu isim menjadi maa la yansharif

Suatu isim bisa menjadi maa la yansharif jika memenuhi: dua sebab dari sembilan, atau satu sebab tertentu yang cukup kuat untuk menjadi isim maa la yansharif.

Beberapa contoh berikut menggambarkan hal tersebut:

أَحْمَدُ

“Seorang yang bernama Ahmad.”

Kata tersebut termasuk isim maa la yansharif karena memiliki dua sebab, yaitu berstatus sebagai nama orang mengikuti wazn (pola) fi‘il. Contoh lainya adalah:

عَطْشَانُ

“Laki-laki yang haus.”

Isim tersebut tergolong isim maa la yansharif karena ada dua sebab atau alasan, yaitu merupakan sifat dan terdapat alif serta nun di akhir kata.

مَسَاجِدُ

“Masjid-masjid.”

Isim di atas termasuk maa la yansharif karena ada satu sebab yang kuat menjadikan isim tersebut isim maa la yansharif, yaitu dikarenakan isim tersebut berupa shighah muntahaa al-jumu‘, yaitu bentuk jama’ yang paling puncak.

I‘rab isim maa la yansharif

Isim ini tetap mengikuti kaidah perubahan i‘rab (mu‘rab), namun memiliki tanda khusus pada kedudukan jar (majrur). Tanda-tanda dari masing kedudukan tersebut adalah:

Pertama, marfu‘ dengan dhammah (ضمة).

Kedua, manshub dengan fathah (فتحة).

Ketiga, majrur juga dengan fathah (فتحة), bukan kasrah.

Contohnya dalam kalimat adalah:

حَضَرَ أَحْمَدُ

“Telah hadir seseorang bernama Ahmad.”

Kata yang bergaris bawah pada kalimat di atas merupakan isim maa laa yansharif, marfu’ dengan tanda dhammah sebagai fa’il.

رَدَّ ٱللّٰهُ يُوسُفَ إِلَىٰ يَعْقُوبَ

“Allah mengembalikan Yusuf kepada Ya‘qub.”

Kata يُوسُفَ pada kalimat di atas berkedudukan manshub dengan tanda fathah sebagai maf’ul bih dan kata يَعْقُوب berkedudukan majrur karena didahului oleh huruf jer dan majrur dengan tanda fathah karena kata tersebut merupakan isim maa la yansharif.

Pengecualian: bisa kasrah jika …

Terdapat dua kondisi di mana isim maa la yansharif boleh berkasrah, meskipun biasanya majrur dengan fathah, yaitu:

Pertama, ketika menjadi mudhaf

Contohnya adalah:

وَعَظْتُ فِي مَسَاجِدِ ٱلْقَرْيَةِ

“Aku memberi nasihat di masjid-masjid kampung itu.”

Kata مَسَاجِد pada kalimat di atas berkedudukan majrur dengan tanda kasrah karena didahului oleh huruf jer. Kata tersebut majrur dengan tanda kasrah karena tergolong isim mufrad, bukan lagi isim maa la yansharif. Isim tersebut batal sebagai isim maa la yansharif dikarenakan berkedudukan sebagai mudhaf untuk kata ٱلْقَرْيَة.

مَرَرْتُ بِأَفْضَلِكُمْ

“Aku melewati orang paling mulia di antara kalian.”

Kata أَفْضَلِ pada kalimat d iatas berkedudukan majrur dengan tanda kasrah karena didahului oleh huruf jer. Kata tersebut majrur dengan tanda kasrah karena tergolong isim mufrad, bukan lagi isim maa la yansharif. Isim tersebut batal sebagai isim maa la yansharif dikarenakan berkedudukan sebagai mudhaf untuk kata setelahnya yang berupa dhamir.

Kedua, ketika dimulai dengan al (ال)

Contohnya dalam kalimat adalah:

سَأَلْتُ عَنِ ٱلْأَفْضَلِ مِنَ ٱلطُّلَّابِ

“Aku bertanya tentang murid yang paling pintar.”

Kata ٱلْأَفْضَلِ pada kalimat di atas berkedudukan majrur dengan tanda kasrah karena didahului oleh “al”, sehingga tidak lagi berstatus maa la yansharif secara hukum.

Kesimpulan singkat

Isim maa la yansharif adalah isim yang tidak menerima tanwin dan tidak menggunakan kasrah saat majrur, melainkan fathah. Hal ini disebabkan oleh satu atau dua sebab tertentu, seperti pola kata, sifat, atau bentuk jamak tertentu. Namun, aturan ini gugur apabila isim tersebut menjadi mudhaf atau dimasuki al (ال). Dalam dua kondisi itu, ia kembali mengikuti i‘rab seperti biasa, yaitu dengan kasrah saat majrur.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 24

***

Penulis: Rafi Nugraha

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/109695-penjelasan-kitab-tajilun-nada-bag-25.html