Beranda | Artikel
Tiga Asas agar Selamat dari Kesesatan
12 jam lalu

Keadaan akhir zaman membuat manusia selalu diterpa syubhat yang tersebar di berbagai media. Kemudahan akses teknologi menyebabkan para penyeru kesesatan memiliki ruang untuk membagikan pemikiran sesat mereka. Malah keadaan media saat ini dikuasai oleh para penyeru kesesatan. Karena mereka tidak memiliki batasan dalam menggunakan media, sehingga mereka gencar sekali membuat konten atau diundang untuk menyampaikan isi pikirannya.

Seorang muslim butuh kepada tameng berupa paradigma serta langkah agar kita tidak tenggelam dalam kesesatan. Syubhat yang begitu banyak dan kian canggih tidak dapat lagi dijawab semuanya dengan jawaban para ulama. Bukan karena ketidakmampuan khazanah ilmu Islam, melainkan karena masif dan cepatnya syubhat itu tersebar. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah antibodi personal muslim agar dapat menangkis sambaran syubhat tersebut.

Syekh Sa’ad Asy-Syal hafizhahullah membawakan tiga asas seorang muslim dalam menangkal kesesatan. [1] Tidak hanya menangkal, tetapi juga menyelamatkan diri apabila telah terjerumus dalam kesesatan. Asas ini sebetulnya dimaksudkan menjadi upaya bagi seorang muslim agar terhindar dari jeratan hawa nafsu. Namun, asas ini secara luas juga mendalam dapat diterapkan dalam menghindari kesesatan. Karena kesesatan -sedikit maupun banyak- itu didorong oleh hawa nafsu. Dan kesesatan pun bisa berupa dorongan syahwat maupun syubhat.

Asas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidah

Allah dan Rasul-Nya telah meninggalkan sebuah pegangan yang dijamin tidak akan menyimpangkan pemegangnya, ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadis yang masyhur,

إني قد تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي

“Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh dengan keduanya, yaitu al-Qur’an dan sunahku.“ (HR. Al-Hakim, 1: 284. Dinilai sahih oleh al-Albani)

Sehingga tidak ada jalan yang paling selamat, khususnya dalam urusan agama, melainkan dengan menyandarkan urusan tersebut kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sifat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pegangan yang pasti kebenarannya menunjukkan bahwa segala yang diliputi wahyu tersebut tidaklah mungkin salah. Hal ini melahirkan pegangan penting bahwa termasuk dalam urusan dunia, Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat pula menjadi pegangan. Dalil yang menunjukkan ini di antaranya adalah,

فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)

Dalam hadis diriwayatkan,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363)

Kedua dalil ini menunjukkan bahwasanya terdapat keluasan dalam mengambil jalan pada perkara dunia. Namun, jalan kebaikan tersebut pasti tidak akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena telah dijaminkan oleh Allah ﷻ bahwasanya keduanya tidak mungkin salah.

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا

“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (QS. An-Nisa: 87)

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ (4) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

Oleh karena itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebaik-baik jalan kehidupan. Segala pemikiran dan filsafat yang berbicara tentang kehidupan, tidak pernah lebih baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pemikiran dan filosofi kehidupan yang dibawa keduanya adalah diturunkan oleh Allah ﷻ Sang Pencipta dan Pemilik Kehidupan. Adapun Rasul-Nya adalah utusan dan teladan terbaik bagi umat manusia.

Asas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalil

Allah ﷻ menjaga agama ini dengan melanggengkan keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah di tengah kehidupan manusia melalui para ulama. Dalam sebuah hadis disebutkan,

يحمِلُ هذا العلمَ من كلِّ خلَفٍ عدولُه ينفونَ عنهُ تحريفَ الغالينَ وانتحالَ المبطلينَ وتأويلَ الجاهلينَ

“Ilmu ini dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi, yang membantah penyelewengan orang yang melampaui batas, rekayasa para pemalsu, dan penakwilan kaum jahil.” (HR. Abu Nuaim no. 732 dan Al-Baihaqi no. 21439)

Penjagaan pertama yang dilakukan adalah dengan menjadikan generasi penerima langsung dari Rasulullah ﷺ adalah para sahabat yang terkenal amanahnya. Allah ﷻ memuji dan memilih mereka secara khusus. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (HR. Ahmad no. 3600. Syekh Ahmad Syakir menilai sanadnya sahih)

Nabi ﷺ juga memerintahkan secara langsung untuk mengikuti para sahabat. Nabi ﷺ bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676. At-Tirmidizi mengatakan hadis ini hasan sahih.)

Maka, agama ini dijalankan tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata, tetapi juga pada pemahaman dan praktik para periwayat keduanya, yakni para sahabat dan ahli hadis. Wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti jalan para salaf dalam meneliti dan memahami nash yang ada dalam agama ini. Mulai dari metode uji validitas hingga metode pengambilan hukum, semuanya wajib disandarkan kepada para salaf dalam kaidah-kaidahnya.

Keindahan Islam ditunjukkan dalam realita ini. Islam tidak sekadar membawa informasi teks sebagai panduan, tetapi juga praktik dan keteladanan. Hal ini tidak ditemukan dalam konstruksi budaya dan pemikiran lain.

Islam menyediakan panduan dan keteladanan

Jika Anda mengacu kepada filsafat Barat misalnya, dalam konteks nilai-nilai kehidupan mungkin akan terkesan keren dan bijaksana sekali. Namun, jika kita melihat praktik dan keteladanan kehidupan sosok-sosoknya, tentu Anda pasti akan kecewa.

Sebut saja Marcus Aurelius, tokoh filsafat stoikisme yang terkenal dengan filsafat etika, ia menjadi pemimpin yang melakukan penyiksaan kepada segolongan Kristen karena menyelisihi keyakinan negara. [2] Nietzsche yang terkenal dengan pikirannya yang mendalam tentang kehidupan, sangat merendahkan wanita. [3] Ia pun mati tragis dalam keadaan gila. Empedocles mati dengan melompat ke gunung berapi yang masih aktif karena ingin membuktikan dirinya sebagai Dewa dan mampu berreinkarnasi.

Filsafat Barat mungkin memberikan kaidah-kaidah kehidupan yang terkesan indah, tetapi tidak memberikan keteladanan yang mulia. Sedangkan kehidupan para salaf, dari zaman Nabi dan sahabatnya, hingga dua kurun setelahnya maupun para pengikutnya, memiliki keteladanan kolektif. Keberagaman praktik mereka terhadap panduan agama tetap dapat diikuti karena masih dalam ruang lingkup syariat. Adapun yang keluar dari hal tersebut, langung diketahui oleh para ulama yang lainnya. Hal ini menunjukkan adanya peer-review yang baru diimplementasi oleh dunia sains modern. Maka, sangat layak bagi kita untuk mengambil metode para salaf, tidak hanya dalam meneliti dalil, tetapi juga dalam mempraktikkan dan berbuah amal.

Asas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramal

Musuh utama hawa nafsu adalah takwa dan ikhlas. Sikap takwa dan ikhlas adalah wujud dari tidak memberikan makan terhadap hawa nafsu. Apabila segala orientasi amal itu hanya untuk Allah ﷻ, maka hawa nafsu akan melemah karena tidak diberi asupan. Sehingga hawa nafsu akan terkalahkan dan kehidupan seseorang terbimbing dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalannya para salaf. Syekh Sa’ad Asy-Syal berkata,

التقوى والإخلاص وهما ضد الهوى، فلا يلتقيان معه في قلب أبداً، وهما أعظم أسباب النور والحكمة والهداية

“Takwa dan ikhlas itu adalah musuh hawa nafsu, tidak akan bertemu dalam satu hati selama-selamanya, serta menjadi sebab paling besar atas cahaya, hikmah, dan hidayah.” [4]

Versatilitas asas keselamatan

Asas yang tersebutkan memang merupakan kaidah yang sangat umum sekali. Namun, sebuah asas atau pondasi memanglah bersifat luas, tetapi jelas membatasi perkara yang tidak masuk ke dalamnya (jami’ mani’). Agar banyak lahir implementasi dan praktiknya terhadap beragam keadaan yang terjadi. Sehingga kaidah ini dapat menjadi pegangan yang versatil dan bertahan sepanjang zaman.

Seorang muslim yang berpandukan kepada tiga asas ini dan berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat dari jurang kesesatan. Tentu ketiganya hanyalah usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang. Adapun kepastian keselamatan hanyalah milik Allah ﷻ. Maka, wajib bagi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ agar selamat dari fitnah. Rutinkanlah doa perlindungan dari fitnah,

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari azab neraka, dari fitnah kehidupan dan sesudah mati, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal.” (HR. Muslim no. 588)

Baca juga: Kesesatan yang Paling Parah

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Pembahasan ini diambil dari Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.

[2] Sejarah Filsafat Barat, hal. 356; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell.

[3] Sejarah Filsafat Barat, hal. 994; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell. Pandangan ini banyak termaktub dalam Will to Power Beyond Good and Evil dan Thus Spoke Zarathustra.

[4] Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.


Artikel asli: https://muslim.or.id/109457-tiga-asas-agar-selamat-dari-kesesatan.html