Asy Sya’bi menceritakan bahwa setelah Syuraih menikah dengan perempuan dari Bani Tamim, ia berkata kepadanya: “Hai Sya’bi… nikahilah wanita Bani Tamim, karena merekalah wanita yang sebenarnya”.
“Bagaimana bisa begitu?” tanyaku.
“Aku pernah lewat di kampung Bani Tamim, maka kulihat ada seorang wanita yang duduk di atas bantal, dan di depannya ada gadis dengan wajah tercantik yang pernah kulihat. Aku pun mampir untuk minta minum kepada si wanita…” kata Syuraih.
“Minuman apa yang kau suka” tanya si wanita.
“Apa saja deh, seadanya” jawabku.
“Beri dia susu, karena nampaknya ia orang dari jauh” perintah si wanita.
Setelah minum, kutatap si gadis tadi dan aku kagum terhadapnya…
“Siapa dia?” tanyaku.
“Puteriku” jawab si wanita.
“Siapa namanya” tanyaku lagi.
“Zainab binti Hudair dari Bani Tamim, tepatnya Bani Hanzhalah” katanya.
“Dia masih ‘kosong’ atau sudah ada yang meminang?” tanyaku lagi.
“Masih ‘kosong’ ” jawabnya.
“Maukah kau menikahkannya denganku?” tanyaku.
“Ya, kalau kamu pantas untuknya” jawabnya.
Maka kutinggalkan dia dan aku pulang ke rumahku untuk tidur siang sejenak…. Tapi aku tak bisa tidur nyenyak, dan selepas shalat dhuhur, kuajak beberapa sahabatku yang merupakan pemuka orang Arab dan kami tetap bersama hingga melaksanakan shalat ‘Asar berjama’ah. Tiba-tiba kulihat paman si gadis duduk di mesjid,
“Abu Umayyah (panggilan Syuraih), apa hajatmu?” tanyanya.
Maka kuceritakan keinginanku kepadanya, kemudian ia menikahkanku… mereka yang hadir pun mendoakan keberkahan bagiku lalu kami bubar dari majelis itu.
Belum lagi aku sampai ke rumah, aku menyesal !! Aku berkata dalam hati: “Aku telah menikahi suku Arab yang paling keras dan kasar”… segera terlintas dalam benakku gambaran wanita-wanita Bani Tamim dan betapa kerasnya hati mereka.
Aku pun berniat menceraikannya, namun aku segera berubah pikiran dan ingin mencoba terlebih dahulu… kalau aku mendapati apa yang kusukai padanya maka kubiarkan, namun jika tidak maka kuceraikan.
Beberapa hari kulalui bersamanya… lalu datanglah wanita-wanita kerabatnya memberi hadiah untuknya. Setelah ia tinggal di rumahku, kukatakan kepadanya:
“Hei, tahu gak sih bahwa sunnahnya jika seorang isteri bertemu suaminya, hendaknya si suami dan isteri shalat dua roka’at”… lalu aku bangkit untuk shalat. Ketika kulihat kebelakang, ternyata ia juga sedang shalat. Maka usai shalat, datanglah gadis-gadis kecil pelayannya kepadaku, lalu mereka melepaskan pakaian luarku dan memberiku selimut yang telah dicelup za’faran (sejenis wewangian).
Begitu rumahku sepi dari orang-orang, kudekati dia dan kuulurkan tanganku ke arahnya…
“Tunggu dulu…” katanya.
“Wah, dia bukan orang lugu… apes juga nasibku” kataku dalam hati. Maka kuucapkan puji syukur kepada Allah dan shalawat atas Nabi.
“Aku adalah wanita Arab… dan demi Allah, aku tak pernah melangkahkan kakiku kecuali kepada apa yang diridhai Allah, sedangkan engkau adalah lelaki asing dan aku belum mengenal kepribadianmu” katanya.
“Maka jelaskan kepadaku apa saja yang kau sukai supaya kulakukan, dan apa saja yang tidak kau sukai supaya kutinggalkan” lanjutnya.
Maka kujelaskan kepadanya bahwa aku menyukai hal ini dan itu, dan aku tidak menyukai hal ini dan itu.
“Bagaimana menurutmu tentang besan-besanmu, apa kau suka jika mereka mengunjungimu?” tanyanya.
“Aku adalah seorang qadhi (hakim), dan aku khawatir jika mereka bosan denganku” jawabku.
Maka aku pun melalui malam terindah dan tinggal selama tiga hari bersamanya. Setelah itu aku mendatangi ke majelis sidang, dan tidak pernah kulihat dia pada suatu hari, melainkan dia lebih baik dari sebelumnya. Hingga pada akhir tahun, saat aku masuk rumah, tiba-tiba kudapati seorang perempuan tua yang menyuruh-nyuruh dan melarang-larang…!!
“Hai Zainab, siapa perempuan ini?” tanyaku.
“Ibuku” jawabnya.
“Oh, marhaban (selamat datang) !” sambutku.
“Hai Abu Umayyah, bagaimana engkau dan keadaanmu?” tanyanya.
“Baik, Alhamdulillah” jawabku.
“Bagaimana isterimu?” tanyanya.
“Ia adalah isteri terbaik dan pendamping paling pas. Engkau telah mendidik dan mengajarinya dengan sangat baik” jawabku.
“Sesungguhnya, seorang isteri akan menjadi sangat buruk perilakunya bila mengalami dua hal: bila mendapat segalanya dari sang suami, dan bila melahirkan bayi laki-laki. Maka bila kau dapati sesuatu yang tidak kau sukai padanya, cambuk saja. Sebab tidak ada penghuni rumah yang lebih buruk bagi seorang lelaki melebihi isteri yang bodoh dan manja” katanya.
Demikianlah si ibu hanya mendatanginya sekali dalam setahun. Isteriku lantas bertanya setelah itu: “Bagaimana semestinya besan-besanmu mengunjungimu?”.
“Sesuka mereka” jawabku.
“Aku tetap hidup bersamanya selama dua puluh tahun, dan selama itu tak pernah ada sikapnya yang kucela dan aku juga tak pernah marah kepadanya”.[1]
[1] Disadur dari Tarikh Dimasyq 23/51 dan 55/88, tulisan Al Hafizh Ibnu Asakir.