Beranda | Artikel
Catatan untuk Kita, Pelajar Seumur Hidup yang Tidak Suka Digurui
13 jam lalu

Sebutan lifelong learner kian ramai menghiasi biografi akun media sosial, sebuah kabar baik yang menandakan semakin banyak orang menerima pentingnya menjadi pelajar seumur hidup. Di saat yang sama, tidak sedikit pula yang mendambakan sosok guru ataupun ustaz yang “tidak menggurui” sebagai sosok favorit dalam mencari ilmu.

Hal ini bukan hanya berlaku di dunia pendidikan, tetapi juga dalam menerima nasihat sehari-hari. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak nyaman dengan sosok teduh, diiringi penyampaian yang merangkul lagi menghargai keunikan dan keterbatasan orang lain; sosok teladan, penuntun, sekaligus pendengar yang baik? Alhasil, kita bisa merasa bodoh secara sukarela tanpa perlu “dibodoh-bodohi” terlebih dahulu.

Dambaan semacam ini tentu tidak keliru, namun bukannya tanpa catatan. Boleh-boleh saja mencatat “tidak menggurui” sebagai kriteria sifat guru idaman. Hanya saja, jangan jadikan kriteria ini sebagai syarat mutlak ketika memilih guru dan menerima nasihat dari orang lain. Mengapa demikian? Berikut ulasannya.

Kita pantas dan butuh digurui

Alasan paling mendasar kita mencari guru adalah karena kita miskin ilmu. Terlalu banyak hal yang masih kita salahpahami, dan lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Berkali-kali kita lalai dan bersalah. Kalau bukan kepada guru yang lebih alim dan beradab, lantas kepada siapa lagi kita belajar?

Justru aneh rasanya bila seorang pelajar melarang mutlak gurunya untuk “menggurui”. Hakikatnya, seorang ustaz, syekh, atau kiai memanglah guru; itulah jalan hidup mereka. Sehingga, digurui itu bukanlah aib dalam pendidikan. Lagi pula, sudah setinggi apa ilmu dan amal kita sampai merasa risih ketika digurui? Kita pantas dan butuh digurui, entah nantinya mereka akan menggurui kita ataukah tidak. Sering kali dalam kitab-kitab bertemakan adab menuntut ilmu, para ulama menyebutkan sejumlah kriteria ideal sebagai acuan dalam mencari guru, sembari menasihati para murid agar bersabar ketika menemukan guru yang tidak memenuhi sebagian kriteria tersebut. 

Terkadang kita hanya mau menerima nasihat jika penyampaiannya lembut, halus, dan sesuai selera. Kala nasihat itu terasa menusuk atau menggurui, kita langsung menutup diri dan menolaknya tanpa pikir panjang. Jujur saja, selama ini sudah terlalu banyak syarat yang kita rumuskan sekadar untuk menerima nasihat dan ilmu yang sahih. Agaknya, kriteria dalam sejumlah lowongan pekerjaan jauh lebih sederhana daripada kriteria kita dalam menerima pesan kebaikan.

Sikap yang demikian dikhawatirkan termasuk dalam kesombongan. Rasulullah ﷺ bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji dzarrah.”

Lantas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila seseorang suka memakai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus, apakah itu termasuk sombong?”

Beliau ﷺ menjawab,

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)

Menolak ilmu dan nasihat semata karena merasa tidak suka digurui, dikhawatirkan termasuk dalam sikap menolak kebenaran, yang merupakan salah satu kriteria kesombongan. 

Objektif dan apresiatif ketika mendapat ilmu dan nasihat

Seorang pelajar, terlebih yang melabeli dirinya sebagai pelajar seumur hidup, sudah selayaknya bersikap objektif dan apresiatif ketika mendapatkan ilmu ataupun nasihat dari orang lain. Pelajar seumur hidup adalah sosok yang mampu membedakan isi penyampaian dengan cara menyampaikannya. Selama ilmu dan nasihat yang disampaikan itu benar, ia akan menerimanya dan berterima kasih, alih-alih sibuk menyoroti cara penyampaiannya. Ia memahami bahwa fokus utama seorang pelajar adalah menerima pelajaran yang ada, selagi baik untuk dirinya.

Pelajar seumur hidup adalah sosok yang mampu menempatkan dirinya secara bijak ketika menerima ilmu dan nasihat. Tatkala ia menerima nasihat yang benar namun tidak elok cara penyampaiannya, ia akan bersangka baik terlebih dahulu dengan sang penyampai nasihat sebagai sosok yang mengharapkan kebaikan untuknya.

Ia berpikir, “Dia perhatian denganku, namun mungkin belum memahami cara penyampaian yang tepat”, “Guruku tidak ingin aku terjerumus ke jalan yang salah. Hanya saja, menjadi guru di zaman ini luar biasa beratnya, begitu hebat pilunya. Mungkin saat ini beliau sedang memiliki masalah hidupnya sendiri, sehingga kurang mampu menyampaikan pesan baiknya secara baik-baik”, serta puluhan pemakluman lainnya. 

Lantas, apakah penyampaian yang tidak elok tersebut harus dibiarkan saja? Jawabannya, tidak mesti begitu. Setelah menerima ilmu dan nasihat darinya, di waktu yang lain kita boleh menasihati balik dengan hikmah, tidak dengan kesalahan yang sama atau bahkan lebih parah. Mengapa di waktu lain? Karena setelah kondisi lebih tenang, nasihat balik kita bisa tersampaikan tanpa ada anggapan bahwa kita menolak nasihat dan mencari pembenaran. Dengan saling menasihati seperti ini, semoga kita dapat menjadi sosok yang jauh dari kerugian, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ٣

“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-’Ashr 1-3)

Teruntuk guru yang mulia

Kami memahami bahwa menjadi guru hari ini begitu banyak dukanya. Tuntutan dari berbagai sisi datang tanpa henti, jauh dari kata sebanding atas penghargaan yang didapat. Guru selayaknya begini dan begitu, konon katanya. Mereka terus-terusan diminta menambah poin plus di kala penghasilannya minus. Alhasil, mungkin sebagian guru sudah merasa jemu menyandang gelar mulia, sedangkan hidupnya tak kunjung dimuliakan.

Teruntuk para guru yang kami cintai. Dengan segala kerendahan hati, kami memohon maaf karena tulisan ini pun turut menyampaikan hal yang serupa. Ilmu tetaplah amanat yang wajib disampaikan, dan kita semua tahu bahwa menjadi sosok yang tidak menggurui sudah dianggap sebagai kelebihan tersendiri bagi para guru maupun penyampai nasihat.

Kiranya berkenan, kami izin memohon sekali lagi, memohon kelapangan untuk mengusahakan sikap ini meskipun tidak wajib pada asalnya. Pelan-pelan saja, mungkin kita juga perlu ikut menjadi pelajar seumur hidup agar mampu menjadi sosok yang ramai didambakan itu. Awalnya, bisa kita mulai dengan tidak merendahkan murid-murid tersayang, sebagaimana penjelasan Rasulullah ﷺ mengenai sikap sombong yang telah tertuliskan di atas.

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita pelajar seumur hidup yang rendah hati, memuliakan guru, serta saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran. Teriring harapan agar para guru senantiasa dilimpahi keberkahan, diringankan kesulitannya, dilapangkan rezekinya, serta ditinggikan derajatnya di dunia dan akhirat. Semoga setiap langkah dan kesabaran diganjar dengan pahala terbaik di sisi-Nya.

Baca juga: Nasihat untuk Penuntut Ilmu Pemula

***

Penulis: Reza Mahendra

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/109160-catatan-untuk-kita-pelajar-seumur-hidup-yang-tidak-suka-digurui.html