Mukaddimah (bag. 1)
Ikhwati fillah, alangkah seringnya Al Qur’an bercerita tentang para Nabi dan umat yang terdahulu… saking seringnya, kisah mereka kadang terulang dalam beberapa versi, hingga hampir dua pertiga dari Al Qur’an sendiri adalah kisah.
Sungguh memprihatinkan pabila kita lebih suka membaca kisah-kisah fiktif yang tak lebih dari khayalan penulisnya, tapi lalai akan kisah para Nabi dan umat terdahulu yang sarat dengan hikmah dan pelajaran berharga. Apalagi bila Al Qur’an yang mengisahkan, pasti kisah tadi benar semuanya karena ia merupakan kalamullah yang tak mungkin mengandung kebatilan… bahkan lebih dari itu, Allah ‘azza wa jalla telah menyifatinya sebagai kisah terindah:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآَنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
Kami akan menceritakan kisah-kisah terindah kepadamu (Muhammad), lewat apa yang Kami wahyukan dari Al Qur’an ini kepadamu, sedangkan engkau sebelumnya termasuk orang-orang yang lalai (QS Yusuf: 3).
Menurut beberapa riwayat, ayat ini turun berkenaan dengan permintaan sebagian sahabat agar Nabi bercerita kepada mereka[1].
Bila Allah ‘azza wa jalla telah menyatakan bahwa kisah Al Qur’an adalah kisah terindah, maka seorang mukmin pasti tergerak hatinya untuk menggali pelajaran yang terkandung di dalamnya. Ia akan menggali hikmah di balik kisah-kisah tadi baik melalui kitab tafsir, kaset ceramah dan sebagainya. Atau bahkan membeli semua itu walau harganya cukup mahal. Sebab ia yakin bahwa pelajaran yang akan didapatnya amatlah berharga. Pelajaran itu jauh lebih berharga dari semua uang yang dibelanjakannya demi membeli buku dan kaset tersebut…
Selain keindahan susunan, pilihan kata dan kehalusan bahasa yang diusung oleh kisah-kisah Al Qur’an; ia juga merupakan kisah yang paling benar karena Allah U sendiri yang mengisahkan. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا [النساء/87]
Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah? (An Nisa: 87).
Hal ini tentu berbeda dengan kisah-kisah indah lainnya, karena bagaimanapun indahnya, toh kebenarannya tidaklah mutlak seratus persen… ia tak terlepas dari kekeliruan karena yang bercerita adalah manusia; si tempat salah dan lupa.
Lebih dari itu, kisah-kisah Al Qur’an adalah kisah yang paling bermanfaat karena banyak mengandung hikmah dan pelajaran berharga. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ [يوسف/111]
Sungguh, dalam kisah mereka benar-benar terdapat pelajaran yang berharga bagi orang yang berakal. Kisah tersebut bukanlah ucapan yang dibuat-buat, akan tetapi sebagai pembenaran akan (kitab-kitab) yang diturunkan sebelumnya, dan penjelasan akan segala sesuatu serta petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (Yusuf: 111).
Maha benar Allah… tidak semua orang mampu menangkap pelajaran dan hikmah tersebut. Akan tetapi itulah ‘pesan-pesan’ dan ‘kode-kode rahasia’ yang hanya difahami oleh mereka yang mau memutar otak dan mencurahkan fikirannya… ia bukanlah barang murah yang bisa didapat siapa saja, kapan saja dan di mana saja… ada harga mahal yang harus dibayar untuk mendapatkannya. Ia membutuhkan pengorbanan dari kita; korban harta, tenaga dan waktu… semakin besar pengorbanannya, semakin banyak pula keuntungannya…
Mudah-mudahan Allah menjadikan kita termasuk orang-orang berakal yang mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut… Allahumma aamien
Hikmah di balik kisah-kisah Al Qur’an
Ada banyak keunikan dalam kisah-kisah Al Qur’an. Salah satu keunikan tersebut ialah bahwa kisah-kisah tadi demikian menyatu dengan tema yang diusung oleh suratnya. Ibarat anggota badan, setiap tema tidak bisa dipisahkan dari tema lainnya dalam surat itu. Karenanya, bila kita mencoba untuk mencomot suatu kisah dari tempatnya, pastilah maknanya akan kacau; sebab kisah tadi berperan besar dalam menjelaskan kandungan surat tersebut.
Umpamanya, jika kita singkirkan kisah burung gagak yang muncul saat Al Qur’an bercerita tentang kejadian antara dua putera Adam ‘alaihissalaam (Qabil dan Habil), pasti maknanya tidak akan pas. Sebab ada hikmah ilahiah dalam kisah kedua burung gagak tadi, yaitu bagaimana cara menguburkan jenazah.
Demikian pula sebaliknya, suatu kisah tidak akan muncul dalam Al Qur’an kecuali di tempat dan waktu yang diperlukan, dan hanya bagian tertentu saja dari kisah tersebut yang disebutkan, sesuai dengan konteks dan temanya. Karenanya, kisah Nabi Ibrahim u tidak disebutkan dalam surat Al A’raf meski ia bercerita tentang para Nabi.
Kadang kala suatu kisah disebutkan dalam rangka menjelaskan kehebatan dan kekuasaan Sang Pencipta, seperti cerita ashabul kahfi (para penghuni gua) dan orang mati yang hidup kembali. Jadi, kisah tersebut muncul ketika alur pembicaraan mengajak kita untuk mengingat kekuasaan Allah dalam sebuah rangkaian yang amat sesuai dengan tema suratnya.
Kalau kita perhatikan awal cerita dalam Al Qur’an, kita akan dapati bahwa sebagian besarnya ditujukan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; hal ini menunjukkan bahwa kisah tersebut diceritakan demi beliau dan dakwah yang diembannya. Baik demi memantapkan dakwah beliau lewat mukjizat baru yang disebut dalam surat itu; atau demi menakut-nakuti para pembangkangnya. Kemudian, bertolak dari kisah tadi, Nabi memberi penyuluhan kepada umatnya.[2]
Sebuah kisah biasanya berkisar seputar kejadian atau tokoh tertentu. Dalam kisah-kisah historis, kita perhatikan bahwa alurnya lebih menitikberatkan pada Sang tokoh. Karenanya, saat kita membaca kisah apa pun, kita akan merasakan bahwa inti kisah tersebut dari awal hingga akhir adalah tokoh tersebut. Namun kisah Al Qur’an tidaklah demikian… ia mengandung sebuah mukjizat –di samping segudang mukjizat lainnya-, yang berupa keselarasan antara kejadian dengan tokohnya. Karenanya, pengulangan yang terjadi bukanlah maksud yang sebenarnya, akan tetapi demi menghadirkan makna lain dalam alur cerita tadi.[3]
Keunikan lain yang tersirat dalam kisah-kisah Al Qur’an ialah gaya pengisahannya yang bermacam-macam, dan pengulangan sebuah kisah dengan bahasa yang berbeda di berbagai tempat. Namun tidak semua kisah tadi diulang dalam Al Qur’an; ada beberapa kisah yang hanya disebutkan sekali saja, seperti kisah ashabul kahfi dan kisah Luqman.
Kisah-kisah yang diulang tadi sengaja diulang demi tujuan dan kemaslahatan tertentu, dan pengulangannya tidak sama persis namun berbeda dari segi panjang pendeknya, atau kelembutan dan ketegasannya, atau penekanan akan beberapa sisi cerita dalam tempat tertentu yang berbeda di tempat lainnya.
Ada beberapa hikmah yang mungkin bisa kita tangkap dari pengulangan suatu kisah dalam Al Qur’an, diantaranya:
- Menjelaskan balaghah (keindahan bahasa) Al Qur’an; karena diantara ciri khusus ilmu balaghah ialah kemampuannya menuangkan satu makna dalam berbagai rupa. Kisah yang berulang tadi disebutkan di tiap-tiap tempat dengan gaya yang berbeda dan dituturkan dalam nuansa yang beda pula, hingga orang yang membacanya tidak merasa jenuh, namun senantiasa menangkap makna-makna baru yang tidak ia dapatkan ketika membaca kisah tersebut di tempat lainnya.[4]
- Lebih menunjukkan kemukjizatan Al Qur’an secara bahasa, karena sebuah makna dapat disampaikan dalam berbagai rupa sedangkan bangsa Arab tak mampu mendatangkan satu pun darinya; maka jelaslah cara yang demikian lebih menantang bagi mereka.
- Agar kisah tersebut mendapat perhatian lebih hingga nilai-nilainya meresap dalam hati; karena dengan diulang sesuatu akan semakin mantap dan menarik perhatian. Sebagaimana kisah Musa ‘alaihissalaam dan Fir’aun yang merupakan drama perseteruan antara kebenaran dan kebatilan yang pengisahannya demikian dramatis; padahal kisah tersebut tidak terulang dalam surat yang sama meski demikian sering diulang-ulang.
- Adanya tujuan yang berbeda dalam penuturan sebuah kisah. Karenanya, suatu ketika kisah tersebut hanya menyebutkan sebagian makna yang dikehendaki di tempat itu, kemudian menyebutkan makna-makna lainnya di tempat lain sesuai dengan tuntutan kondisi yang berbeda.[5]
- Menjelaskan urgensi kisah tersebut; karena pengulangannya merupakan tanda bahwa ia harus diperhatikan.
- Memperhatikan waktu dan kondisi pihak yang diajak bicara lewat kisah tersebut. Karenanya, mayoritas surat-surat makkiyyah mengandung unsur keras dan ringkas, sedangkan surat-surat madaniyyah sebaliknya.
- Menampakkan kebenaran Al Qur’an dan bahwasanya ia berasal dari Allah; karena kisah tersebut meski terulang dalam beberapa versi tetap tidak mengandung kontradiksi.[6]
- Tidak semua orang hafal Al Qur’an. Karenanya, dengan adanya pengulangan kisah di berbagai surat, orang yang hafal sebagian surat tadi tetap bisa menghayati dan mengetahui kisah tersebut, meski ia tidak hafal surat lainnya [7].
Demikianlah ikhwati fillah, saya rasa untuk bagian pertama dari mukaddimah Kisah Para Nabi cukup sampai di sini dulu. Inysa Allah saya lanjutkan dalam tulisan berikutnya, wass
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/366.
[2] Disadur dari “Al Qisshah fil Qur’anil Kariem” tulisan Dr. Ibrahim Ash Sha’bi.
[3] “Surah Al Qashash, dirasah tahliliyyah” oleh Dr. Muhammad Mathniy hal 47.
[4] Lihat: Ushulut Tafsir, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin hal 54-55.
[5] Mabahits fi ‘ulumil qur’an, oleh syaikh manna’ al qatthan hal 318-319.
[6] Ushulut Tafsir, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin hal 54-55. Ketiga nukilan ini (no 3-4-5) kami sadur secara bebas dari buku: “Al Qashash fil Qur’anil Kariem” tulisan Islam Mahmud Derbalah.
[7] Lihat: “Surah Al Qashash, dirasah tahliliyyah”, oleh Dr. Muhammad Mathniy hal 48.