Beranda | Artikel
Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 7): Tawaduk, Moderat, dan Tak Melampaui Batas
10 jam lalu

Seringkali dalam momen perselisihan itu didasari oleh perasaan ingin meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Sehingga semua pendapat ingin diselisihi dalam rangka mengesankan diri berpengetahuan atau yang lainnya. Maka, kunci dari hal ini adalah menekankan ketawadukan. Ketawadukan adalah sikap menempatkan diri sesuai dengan posisinya atau sedikit lebih rendah. Sebagaimana yang dihimpun oleh Al-Jahizh rahimahullah,

التواضع هو: ترك الترؤس، وإظهار الخمول، وكراهية التعظيم، والزيادة في الإكرام، وأن يتجنب الإنسان المباهات بما فيه من الفضائل، والمفاخرة بالجاه والمال، وأن يتحرز من الإعجاب والكبر

“Tawaduk adalah seseorang meninggalkan sikap ingin mengungguli, menampakkan sikap biasa tidak menonjol, membenci sikap ingin diagungkan, tidak suka dihormati berlebihan, menjauh dari sikap membanggakan diri atas keutamaan yang dimiliki, tidak berbangga dengan kedudukan dan harta, dan berhati-hati dari rasa ujub dan sombong.” [1]

Tawaduk adalah sikap moderat

Tawaduk merupakan sikap yang moderat. Seorang yang tawaduk menempatkan dirinya pada posisi yang tidak membuat dirinya ditinggikan, juga tidak pula membuatnya dihinakan. Raghib Asfahani rahimahullah berkata,

رضا الإنسان بمنزلة دون ما يستحقه فضله ومنزلته. وهو وسط بين الكبر والضعة،

“Tawaduk adalah kerelaan seseorang berada pada kedudukan yang lebih rendah dari apa yang sebenarnya pantas ia dapatkan berdasarkan keutamaannya dan posisinya. Tawaduk adalah posisi tengah antara kibr (kesombongan) dan ḍi‘ah (kerendahan yang tercela).” [2]

فالضعة: وضع الإنسان نفسه مكانا يزري به بتضييع حقه. والكبر: رفع نفسه فوق قدره

Di‘ah adalah seseorang menempatkan dirinya di tempat yang menjatuhkan martabatnya dengan menyia-nyiakan haknya. Sedangkan kibr adalah seseorang mengangkat dirinya melebihi kadar atau kemampuannya.” [3]

Jangan gunakan dua pakaian kedustaan

Terkadang mereka yang menimbulkan perselisihan, selain ingin meninggikan namanya, ia juga tidak pantas berada di posisi tersebut. Ia berusaha mengesankan dirinya sebagai orang yang berilmu dalam rangka memuliakan dirinya. Namun, hakikatnya ia adalah orang yang tertipu dua kali. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ كَلابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ

“Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan.” (HR. Bukhari no. 5219)

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari,

قوله المتشبع أي المتزين بما ليس عنده يتكثر بذلك ويتزين بالباطل كالمرأة تكون عند الرجل ولها ضرة فتدعى من الحظوة عند زوجها أكثر مما عنده تريد بذلك غيظ ضرتها، وكذلك هذا في الرجال

“Al-mutasyabbi‘ maksudnya adalah orang yang berhias diri dengan sesuatu yang tidak ia miliki, ia berlagak seolah-olah memiliki sesuatu untuk memperlihatkan diri lebih kaya atau lebih terhormat secara dusta. Misalnya seorang wanita yang menjadi istri seorang laki-laki dan memiliki madunya (istri lain dari suaminya). Lalu ia mengaku bahwa ia memiliki tempat khusus di hati suaminya melebihi apa yang sebenarnya ia miliki, dengan tujuan untuk membuat cemburu dan sakit hati madunya. Begitu pula halnya dengan laki-laki, ia melakukan hal serupa.” [4]

وأما قوله: كلابس ثوبي زور فإنه الرجل يلبس الثياب المشبهة لثياب الزهاد يوهم أنه منهم ويظهر من التخشع والتقشف أكثر مما في قلبه منه

Adapun sabda Nabi ﷺ,  “Seperti orang yang memakai dua baju kebohongan”, maksudnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian orang yang zuhud, agar orang menyangka bahwa ia termasuk dari kalangan mereka, lalu ia menampilkan kekhusyukan dan kesederhanaan lebih dari apa yang sebenarnya ada dalam hatinya. [5]

Perpecahan muncul dari tidak bersikap moderat

Ketika seorang tidak bersikap moderat, khususnya dalam menyikapi dirinya sendiri, maka akan muncullah perpecahan. Sensasi yang dilemparkan di tengah publik berupa tindakan atau ucapan yang menyerang bersumber dari hasad dan sikap melampaui batas.

Imam Al-Ajurri rahimahullah, dalam kitab Asy-Syari’ah, berkata bahwa di antara sebab perselisihan adalah karena hasad dan perilaku atau sikap melampui batas. Beliau menyatakan,

أَنَّ الَّذِي حَمَلَهُمْ عَلَى الْفُرْقَةِ عَنِ الْجَمَاعَةِ وَالْمَيْلِ إِلَى الْبَاطِلِ الَّذِي نُهُوا عَنْهُ إِنَّمَا هُوَ الْبَغْيُ وَالْحَسَدُ بَعْدَ أَنْ عَلِمُوا مَا لَمْ يَعْلَمْ غَيْرُهُمْ، فَحَمَلَهُمْ شِدَّةُ الْبَغْيِ وَالْحَسَدِ إِلَى أَنْ صَارُوا فِرَقًا فَهَلَكُوا فَحَذَّرَنَا مَوْلَانَا الْكَرِيمُ أَنْ نَكُونَ مِثْلَهُمْ فَنَهْلِكَ كَمَا هَلَكُوا

“Yang menyebabkan mereka berpecah belah dari persatuan, dan condong kepada kebatilan yang mereka telah dilarang untuk mengikutnya, dikarenakan oleh sikap melampui batas dan hasad setelah mereka mengetahui ilmu, yang belum diketahui oleh orang selain mereka. Maka yang menyebabkan perpecahan di kalangan mereka adalah sikap melampaui batas dan rasa hasad. Hingga mereka berpecah belah yang menjadi sebab kehancuran mereka. Oleh karenanya, Allah yang Maha Mulia, memperingatkan kita agar tidak menjadi seperti mereka. Sehingga kita binasa sebagaimana kebinasaan yang menimpa mereka.” [6]

Sikap melampaui batas (البغي) dalam menilai diri sendiri secara baik maupun menilai orang lain secara buruk menjadi dasar perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kekisruhan. Sikap ini asalnya memanglah lawan dari sikap tawaduk. Siapapun yang meninggalkan sikap tawaduk, pasti akan jatuh ke dalam sifat melampaui batas.

فمما ينافي التواضع: البغي، وهو العدوان على الناس بالقول وبالفعل ونحو ذلك.

Yang bertentangan dengan tawaduk adalah al-baghyu atau sikap melampaui batas. Yaitu serangan terhadap orang lain melalui kata-kata, tindakan, dan sejenisnya. [7]

Melampaui batas tidak boleh dilakukan, meskipun bagi orang tersebut pantas melakukannya, apalagi jika ia tak berhak melakukannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

فنهى سبحانه عن نوعي الاستطالة على الخلق، وهو الفخر والبغي؛ لأن المستطيل إن استطال بحقٍّ فقد افتخر، وإن كان بغير حقٍّ فقد بغى، فلا يحل لا هذا ولا هذا

“Allah ﷻ melarang dua jenis sikap melampaui batas terhadap manusia, yaitu al-fakhru dan al-baghyu. Jika orang yang melampaui batas itu dengan hak, maka ia telah terjatuh kepada al-fakhru; dan jika tanpa hak, maka ia telah melampaui batas (al-baghyu). Jadi, keduanya tidak diperbolehkan.” [8]

Manhaj salaf tidak mengajarkan perpecahan

Para imam salaf meminta kita semua untuk menjaga persatuan sebagai seruan agama yang fundamental. Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata,

بَلْ أَمَرَنَا عَزَّ وَجَلَّ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ، وَنَهَانَا عَنِ الْفُرْقَةِ، وَكَذَلِكَ حَذَّرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْفُرْقَةِ وَأَمَرَنَا بِالْجَمَاعَةِ، وَكَذَلِكَ حَذَّرَنَا أَئِمَّتُنَا مِمَّنْ سَلَفَ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ كُلِّهِمْ يَأْمُرُونَ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ , وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْفُرْقَةِ

“Sebaliknya, Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk tetap berjemaah dan melarang kita dari perpecahan. Demikian pula, Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan kita dari perpecahan dan memerintahkan kita untuk tetap berjemaah. Demikian pula, para imam kita dari kalangan salaf seluruhnya telah memperingatkan kita. Mereka semua memerintahkan kita untuk tetap berjemaah dan melarang perpecahan.” [9]

Maka, bukanlah ilmu yang dikandungnya yang salah, akan tetapi manusianya yang tak bijak dalam memanfaatkan ilmunya. Bukanlah manhaj para salaful ummah yang salah, tetapi orang-orang yang mengaku bernisbah kepadanya yang tak sempurna. Ingatlah hakikat manusia yang Allah ﷻ maktubkan dalam Al-Qur’an,

إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan jahil.” (QS. Al-Ahzab: 72)

Dalam berbagai momen perselisihan di tubuh kaum muslimin, andai semua pihak kembali kepada maqam atau levelnya masing-masing, niscaya perselisihan akan segera mereda. Seringkali perselisihan itu kian membara sebab yang terjun dalam medan pertempuran adalah orang yang tidak berilmu atau tidak berkepentingan membicarakannya. Sebagian lagi berilmu dan berkepentingan, tetapi medan pertempurannya dilakukan di hadapan orang awam sehingga kegaduhan kian riuh. Maka kebijaksanaan benar-benar dibutuhkan di setiap tempat.

Oleh karena itu, obatnya adalah sikap tawaduk. Sadar diri akan kapabilitas, bahkan merasa lebih rendah dari posisi yang sepantasnya. Bila seorang yang pantas terlibat dalam sebuah perselisihan bersikap tawaduk dan menyerahkan urusannya kepada yang ia rasa lebih berhak, dan ini dilakukan oleh kebanyakan orang, maka perselisihan tentu akan mereda. Ia berhasil meredam hasrat ingin terkenal dengan tidak ikut terlibat dalam kontra-argumen. Ia biarkan perselisihan berlalu begitu saja dan para alim saja yang berurusan. Maka, niscaya mereka yang bersifat demikian akan selamat.

Akan tetapi, sikap ini bukan berarti mengajak semua orang berdiam saat ada kerancuan di muka umum, sehingga tidak ada satupun yang berdiri untuk menegakkan nahi mungkar. Seruan ini justru mendorong kita agar menempatkan orang yang tepat untuk menyikapi masalah kaum muslimin. Artinya, tidak semua orang turun untuk menghadapi perselisihan. Inilah sikap hikmah dan tawaduk.

Begitupula dengan menekan hasad. Sehingga sebuah masalah sederhana tidak melebar menjadi masalah personal yang dipicu oleh hasad kepada nikmat yang dimiliki seorang. Dampaknya, agendanya selalu dalam rangka menjatuhkan orang lain. Jika terus demikian, maka tidak akan pernah tercapai kerja sama juga kolaborasi di antara sesama pejuang dakwah.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 6

***

Penulis: Glenshah Fauzi 

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Tahdzib Akhlak oleh Al-Jahizh, hal. 25; dalam Mausu’ah Akhlak Islamiyah, 1: 146.

[2] Adz-Dzari’atu ila Makarimil Akhlak, hal. 299; dalam Mausu’ah Akhlak Islamiyah, 1: 146.

[3] ibid.

[4] Fathul Bari, 9: 317-318.

[5] ibid.

[6] Kitab Asy-Syari’ah, 1: 270.

[7] https://web.surahapp.com/ar/objective-interpretation/

[8] Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim, 1: 453.

[9] Kitab Asy-Syari’ah, 1: 270.


Artikel asli: https://muslim.or.id/109153-asas-dakwah-dan-menghadapi-perselisihan-bag-7.html