“Ustadz, sebagai manusia biasa, kadang terlintas di hati bahwa aku adalah orang yang terbaik di antara mereka. Bagaimana cara mengatasinya? Apa yang harus kulakukan? Aku tahu hal itu tidak boleh”.
Begitu bunyi SMS yang penulis terima dari salah satu jamaah pengajian, beberapa waktu yang lalu.
Sebelum penulis bahas solusi penyakit hati tersebut di atas, perlu kiranya dijelaskan duduk permasalahan ini. Sebab mungkin ada juga di antara pembaca yang bertanya-tanya, “Apa salahnya, kita merasa paling baik. Toh kita sudah berusaha untuk memperbaiki diri! Bukankah itu konsekwensi hasil dari sebuah usaha?”.
Antara usaha mensucikan diri dengan merasa suci
Sebagian orang kurang bisa membedakan antara dua term di atas. “Upaya mensucikan diri” dengan “merasa diri suci”. Seakan-akan keduanya sama saja. Padahal sebenarnya, al-Qur’an pun membedakan antara keduanya.
Mari kita cermati dua ayat berikut:
Ayat pertama:
“قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى”
Artinya: “Sungguh beruntung orang yang mensucikan diri“. QS. Al-A’la (87): 14.[1]
Ayat kedua:
“فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى”
Artinya: “Janganlah kalian menganggap menganggap diri kalian suci. Dia lebih mengetahui siapa orang yang bertakwa”. QS. An-Najm (53): 32.[2]
Ayat pertama berisi motivasi untuk mensucikan diri, dan ini jelas menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah positif. Sebaliknya ayat kedua berisi larangan mengklaim diri suci, dan ini tentu menjelaskan bahwa perbuatan tersebut adalah negatif.
Ar-Raghib al-Ashfahany (w. 425 H) mengistilahkan perbuatan pertama dengan “pensucian diri dengan tindak nyata“. Sedangkan perbuatan kedua beliau namakan “pensucian diri dengan klaim belaka“.[3]
Bukankah perasaan itu manusiawi?
Perasaan diri suci, pasca upaya untuk mensucikan diri, bukankah itu suatu yang bersifat manusiawi? Alias wajar-wajar saja? Mengapa dilarang?
Perlu diketahui bahwa sesuatu yang manusiawi itu belum tentu islami. Misalnya, ketertarikan kepada lain jenis, ini jelas sesuatu yang bersifat manusiawi. Terlebih karena memang sejalan dengan dorongan syahwat yang ada dalam diri manusia. Namun hal yang manusiawi tadi, bila disalurkan tanpa aturan maka akan menjadi tidak islami.
Begitu pula perasaan diri suci dan terbaik atau tersalih, ini merupakan gejala yang tidak islami. Sebab;
Pertama:
Akan menyeret kepada seabreg penyakit hati yang amat berbahaya. Antara lain: kesombongan, keangkuhan, takjub dengan diri sendiri, memandang remeh orang lain dan yang semisal. Jika seorang telah terjangkiti penyakit sombong, walaupun kadarnya hanya sebesar debu, dia terancam untuk terhalang masuk surga. Sebagaiaman telah diingatkan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,
“لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ”
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar debu” HR. Muslim dari Ibnu Mas’ûd.
Perasaan sombong amat bertolak belakang dengan konsep ibadah dalam Islam. Sebab makna dasar ibadah itu sendiri adalah merendahkan diri di hadapan Allah. Maka jika ada orang rajin beribadah, namun justru kemudian yang muncul dalam dirinya adalah perasaan sombong, berarti dia telah gagal untuk mencapai tujuan utama dari ibadah.
Dari sini kita bisa memahami mengapa seorang ahli ibadah tersohor; Mutharrif bin Abdullah asy-Syikh-khir (w. 95 H) pernah bertutur, “Aku lebih suka bila ketiduran sehingga tidak bisa bangun malam, lalu menyesal di pagi harinya, dibandingkan bila aku bisa bangun malam, namun kemudian di hatiku muncul perasaan takjub!”.[4]
Kedua:
Tidaklah pantas kita merasa suci. Mengapa? Sebab jika kita mau merenungi sejauh mana kesempurnaan upaya kita untuk mensucikan diri, niscaya kita bisa berkaca, alangkah jauhnya kita dari potret kesucian! Maka akan sangat naïf bila kita merasa suci.
Sekedar contoh, shalat lima waktu yang selalu kita kerjakan secara berjamaah di masjid, tepat pada waktunya. Selama sekian puluh tahun kita menjalankannya, pernahkah kita menunaikannya dengan kekhusyuan sempurna, sejak dari takbiratul ihram hingga mengucapkan salam? Sekali saja dalam kurun waktu yang amat panjang itu?! Silahkan masing-masing dari kita menjawabnya dengan jujur.
Ini baru ibadah shalat yang kita bedah. Bagaimana jika kita telusuri kualitas ibadah kita lainnya, semisal puasa, zakat, haji, dzikir dan lain-lain?
Belum jika kita introspeksi deretan maksiat yang setiap hari kita kerjakan. Entah dosa yang terlihat, semisal mata yang jelalatan serta tutur kata yang tidak jujur. Atau dosa yang tersembunyi, seperti iri-dengki, riya’ dan buruk sangka.
Di situlah kita akan menyadari betapa jauhnya kita dari potret ideal seorang yang suci. Maka mengapa kita masih juga merasa sok suci?
Karena itu, bila kita mencermati perjalanan hidup kaum salih terdahulu, maka kita akan dapatkan mereka adalah orang-orang yang begitu jauh dari perasaan sok suci. Mereka adalah generasi yang begitu tekun di dalam beribadah, namun demikian, mereka amat rendah hati. Bahkan cenderung merasa khawatir dengan nasib akhir mereka kelak di akhirat.
Allah ta’ala merekam jejak menakjubkan mereka dalam firman-Nya,
“وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ . أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ”.
Artinya: “Mereka yang memberikan sedekah dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya. Mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya”. QS. Al-Mukminun (23): 60-61.
Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu’anha saat membaca ayat di atas beliau terheran-heran, lalu bertanya kepada Nabiyullah shallallahu’alaihiwasallam, “Wahai Rasulullah, siapakah yang dimaksud dalam ayat ini, orang yang merasa takut kepada Allah. Apakah ia adalah orang yang minum khamr dan mencuri?”.
“Bukan wahai putri Abu Bakr! Ia adalah orang yang menunaikan shalat, berpuasa dan bersedekah, namun ia juga merasa takut amalannya tidak diterima”. HR. Tirmidzy dan dinilai sahih oleh al-Albany.
Ya, begitulah potret ideal orang yang beriman! Gemar beramal, namun hatinya tetap diliputi dengan perasaan khawatir mengenai nasib amalannya. Bukan orang yang amalannya pas-pasan, bahkan cenderung kurang. Tapi begitu ‘pe de’ memandang dirinya suci!
Tutup pintu itu rapat-rapat!
Saking menjaga supaya tidak muncul perasaan ‘sok suci’ tadi, sampai Nabi kita Muhammad shalllallahu’alaihiwasallam merasa perlu untuk merubah nama yang berkonotasi demikian.
Dikisahkan dalam Shahîh Muslim bahwa salah satu sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam menamakan anak perempuannya “Barroh”, yang kurang lebih maknanya adalah: wanita yang sangat berbakti. Maka Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun menasehatinya, “Janganlah kalian menganggap diri kalian suci. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui siapakah yang sejatinya berbakti di antara kalian”. Lalu beliau memerintahkan agar namanya diganti dengan “Zainab”.
Mari kita berusaha meneladani Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam menutup setiap celah yang mengantarkan kepada perasaan buruk tersebut.
Jadikan slogan kita: “Sucikan diri, namun jangan merasa sok suci”!
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 15 Shafar 1434 / 29 Desember 2012